Candi Cetho, Simbol Kemesraan Antara Alam, Manusia, dan Dewa (Tuhan) di Lereng Gunung Lawu - Jurnal Darul Azis

Candi Cetho, Simbol Kemesraan Antara Alam, Manusia, dan Dewa (Tuhan) di Lereng Gunung Lawu

Candi Cetho, Simbol Kemesraan Antara Alam, Manusia, dan Dewa (Tuhan) di Lereng Gunung Lawu

Jika Anda ingin berwisata di alam pegunungan sekaligus menggali kekayaan budaya, religi, dan sejarah bangsa Indonesia, maka pergi ke Candi Cetho adalah jawabannya. Bangunan peninggalan Hindu ini berlokasi di lereng Gunung Lawu, berada di ketinggian 1496 meter di atas permukaan laut. Karena berlokasi di ketinggian itulah, kawasan Candi Cetho menawarkan keindahan yang khas dan berbeda dengan destinasi wisata lainnya. Di sini, Anda akan dibuat kagum oleh keapikan arsitektur candi dan pemandangan kota Solo dan Karanganyar dari atas ketiggian tanah Jenawi yang bersejarah itu. Untuk mengetahui sejarah Candi Cetho, silakan baca Sejarah Singkat tentang Candi Cetho Karanganyar.

Mengingat sejarah, usia, dan keidentikan Candi Cetho dengan zaman kerajaan Hindu itulah, menjadikan kunjungan ke Candi Cetho semakin lekat dengan nuansa spiritual, sejarah, dan keluhuran budaya nenek moyang bangsa Indonesia. Beberapa hari yang lalu, secara khusus kami mengunjungi tempat tersebut. Dan berikut ini catatan perjalanan kami ketika ketika berkunjung ke Candi Cetho, Karanganyar, Jawa Tengah.  

Perjalanan menuju Candi Cetho kali ini kami tempuh dari Jogja, berangkat sekitar pukul 13.00 dengan mengendari sepeda motor. Butuh waktu sekitar 3 jam (dengan kecepatan rata-rata 60km/jam) untuk sampai ke Candi Cetho dengan rute Klaten-Solo-Karanganyar-Candi Cetho. Untunglah, cuaca siang itu cukup bersahabat, tidak terik tidak pula hujan. Sehingga perjalanan pun jadi terasa lebih santai. Kami melewati Klaten dan Solo dengan lancar tanpa ada hambatan apa pun hingga memasuki Kabupaten Karanganyar. 



Sekitar pukul 15.10 kami sampai di Kabupaten Karanganyar, kami baru menempuh 1/3 dari total jarak perjalanan. Ini kali pertama kami mengunjungi Kabupaten Karangnyar. Beruntungnya, kunjungan kami bertepatan dengan momen hari ulang tahun DPRD Kabupaten Karanganyar, sehingga di sepanjang perjalanan kami bisa menyaksikan pesta rakyat setempat, selain itu ada berbagai macam hiburan di kantor Bupati dan Kantor DPRD Kabupaten Karanganyar yang tentu saja menggoda mata kami untuk menyaksikan barang sejenak. 
Pemandangan di jalan Lawu.  (Dok. Pribadi)

Sselanjutnya, setelah menyaksikan sejenak pesta rakyat Karanganyar, kami melanjutkan perjalanan menelusuri jalan Solo-Tawangmangu. Sampai di sini, udara sudah mulai terasa dingin meski masih berada di kawasan perkotaan. Kami terus melajukan kendaraan di jalan provinsi yang selalu ramai itu dengan  hati-hati. Sesampainya di Jalan Lawu, jalanan mulai menanjak dan berliku. Namun meski demikian, di saat yang sama kami juga disuguhi pemandangan hamparan sawah dan pegunungan nan elok dan menggoda kami untuk berselfi ria. Alhasil, kami pun berhenti sejenak untuk mengabadikan momen tersebut. Lalu melanjutkan perjalanan menuju Candi Cetho yang hanya tinggal beberapa puluh kilo meter lagi. 

Bagi Anda yang belum pernah pergi ke Candi Cetho, di sepanjang perjalanan menuju lokasi Candi Cetho berada, Anda terlebih dahulu disuguhi pemandangan pegunungan teh Kemuning yang sejuk dan indah. Jalanan yang berliku dan naik turun, akan membuat perjalanan Anda semakin berkesan. Setidaknya, ada 26 tikungan tajam dan naik-turun di sepanjang jalan tersebut yang tentu saja akan dapat menantang adrenaline Anda. Jadi pastikan sebelum berkunjung ke Candi Cetho kondisi kendaraan Anda prima terutama rem, ban, dan lampu. Pastikan juga perut Anda sudah terisi, baik oleh nasi maupun air putih, agar fokus. 
Seperti yang kami lakukan kemarin, sebelum menaiki jalanan berkelok menuju Desa Gumeng, kami mampir sejenak di sebuah warung makan, menikmati masakan pepes ikan patin dan burung puyuh goreng serta teh khas pegunungan Kemuning. Segar dan wangi. Hmmmmm.
Kebun Teh Kemuning (Foto oleh  Tetra Faa)
Pintu masuk menuju kawasan Candi Cetho

Kami tiba di Desa Gumeng, tempat Candi Cetho berdiri, pukul 16.45. Lalu memarkirkan kendaraan di dekat pintu masuk Candhi Cetho yang hanya perlu dibayar dengan uang senilai Rp2000 saja. Selanjutnya, kami mendaftarkan diri ke loket masuk dengan tarif kunjungan untuk pengunjung dalam negeri sebesar Rp7000/orang dan untuk pengunjung dari mancanegara sebesar Rp25.000/orang. Setelah memperoleh tiket, sesuai dengan ketentuan pengunjung, kami harus mengenakan kain kampuh dengan memberi uang seikhlasnya. Barulah setelah semua urusan tersebut selesai, kami berjalan memasuki kawasan candi yang berundak tinggi itu.


Lingga dan Yoni di kawasan pelataran Candi Cetho/ dok. pribadi

Kabut tampak mulai turun, menyelimuti kawasan Candi Cetho dan sekitarnya. Sinar matahari sore mengintip malu-malu di ufuk barat. Saat cuaca cerah, bisa dipastikan dari tempat ini Anda akan dapat melihat indahnya cahaya menjelang tenggelamnya matahari. Beberapa pengunjung terlihat sedang berfoto ria. Ada juga yang hanya duduk-duduk di bibir candi sembari bercakap-cakap lirih. Sementara dari puncak candi, serombongan orang berbaju putuh terlihat menuruni tangga. Ya... mereka adalah umat Hindu yang telah selesai berdoa di sana. Tak lupa, mereka pun menyempatkan diri untuk berfoto bersama dengan menggunakan jasa foto kilat yang memang setiap harinya mangkal di sana.


Bagi umat Hindu, Candi yang berada tepat di Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah ini tentu sudah tak asing lagi. Karena hingga sekarang, candi ini masih dijadikan sebagai salah satu tempat peribadatan bagi umat Hindu. Bau dupa dan bunga akan menyeruak ke indra penciuman Anda tatkala memasuki area Candi Cetho. Karena berfungsi sebagai tempat beribadah itu pulalah, rasa toleransi, solidaritas, kedewasaan Anda benar-benar akan diuji. Candi yang sangat Indonesia!


Belum puas kami menikmati keindahan pemandangan di Candi Cetho, suara adzan magrib telah berkumandang. Hari sudah semakin gelap, dan kami harus segera turun. Sembari menuruni undakan candi, saya berusaha menancapkan setiap bebatuan candi Cetho itu ke dalam ingatan. Berharap ia bisa tertanam kekal di dalamnya. Saya kembali  mengamati seluruh bangunan candi, betapa takjub hati saya kemudian. Bahwa ternyata, Candi Cetho, yang tampak di hadapan saya itu jika dilihat secara lebih teliti dan mendalam lagi, ia menyimbolkan romantisme alam, manusia, dan para dewa (Tuhan) di lereng Gunung Lawu. Oh.. jagat bathara dewa!


Please write your comments