Kapal-kapal Duka - Jurnal Darul Azis

Kapal-kapal Duka

Kapal-kapal Duka

Kapal Tenggelam

Kapal-Kapal Duka

Pada hujan di matamu. kubaca kalimat miskin
seraya kubuka lipatan-lipatan gelap yang
membungkusmu
agar beku darahku meleleh
pasir dan tanah itu yang kan menyaringnya
menjadi air
atau sekedar perawat doa di perjalanan menuju
muara.
Mulutku kau kunci dengan dongeng-dongeng
basahmu
tentang kapal-kapal yang berangkat di malam
hari
yang kau tandai dengan segores luka di wajah, kaki, dan
leher jenjangmu

kau buat aku membisu. Menumpuk tanya di
dinding rumahku.
Sembari menyiram bunga. Kau tak luput
menyemai cerita
lihatlah, ia beranak pinak. Berwajah air yang
bergelombang tenang
pengabar kapal-kapal yang tak pernah kembali
lagi
sampai pagi ini.
Aku tak habis pikir. Kau tega mencurigainya
bunga-bunga itu pantang membisu
ia bernyanyi dengan segenap wangi
sampai tubuhnya lunglai
di malam hari, tatkala kau bermimpi
bersetubuh dengan penantian yang tak kunjung
kau akhiri
sedang kapal-kapal itu, tak pernah kau tanyai.

Kau, Pohon dan Putri
Semata Wayangmu

Pohon yang kini berdiri megah di depan
rumahmu itu
tak layak kau pertanyakan penanamnya
lihatlah lambaian daunnya mendendangkan
lagu kesukaan putri semata wayangmu
ia lah pelipur kesendirian
ketika kau memecut kuda agar berlari
melebihi angin.
Ia tak layak kau cemburui
sebab, cintanya tulus pada takdir
putri semata wayangmu tak mungkin jatuh cinta pada
sebatang pohon
meski setiap siang ia terlelap dalam
timangannya
cobalah, sekali-kali kau pulang sejenak
merapal dongeng tentang pepohonan jua
agar lelap mimpi keduanya.
Tak layak kau membencinya sebagaimana bekas istri
yang kau cerai
kehidupan yang berpisah tak pernah salah
kau tahu, setiap yang hilang selalu diganti
pandangilah pohon itu, tangannya
merahimkan kemuliaan
pelukmu tak jua datang
sedang ia segera pulang
sebelum purnama menjelang.
Pulanglah
sebelum rumahmu semakin basah.

Orang-orang Pengeja Nasib

Sejak pagi ia menyusuri teka-teki, memungut
syair yang bersembunyi di lubang pagi, selayak
balita. Ia mengeja nama di lembaran waktu,
mengeja duka di jilid air mata. Selayak
pengembara, disingkapnya tirai duri yang
tumbuh lebih cepat dari kemampuannya
menghafal nama, di bawah rindang pohon
kesederhanaan, rebahlah tubuhnya, teduhkan
diri dengan tangan tengadah, tiada lagi
mengiba pada matahari, tentang tubuhnya
yang kering menahan luka musim hujan tahun
lalu.

Yang Terasing

Bertahun-tahun kau mengukir prasasti dengan
keringatmu
berguru pada waktu
mengaji pada lembaran-lembaran pulang
tentang orang-orang pintar itu kau membacakan
cerita bernada putih
sekiranya aku ada, berlari dari tetes darah yang
membasuh jalan
seraya mengejar.
Ada sebuah pertanyaan besar yang belum
kujawab
yakni tentang keberadaan segerombolan
penjarah rumah-rumah si kaya dan si miskin
sampai iblis-iblis bergantian menghuni
meminta tumbal gadis perawan dan jabang
bayi
sekiranya aku ada, menutup diri dari apa yang
kuketahui.
Bertahun-tahun kau menjadi pengembara
yang tak kuasa menuruti kehendakmu sendiri
dayamu terpasung di pelataran tirani
kau berada di sebenar-benar rimba
yang terasing.

*Dimuat pertama kali di Radar Surabaya 20 April 2014

Please write your comments