Kisah Masa Kecil : Di Antara Hujan dan Petir - Jurnal Darul Azis

Kisah Masa Kecil : Di Antara Hujan dan Petir

Kisah Masa Kecil : Di Antara Hujan dan Petir

Hujan dan Petir
Di Antara Hujan dan Petir/Ilustrasi via www.incrediblesnaps.com


Kemarin sore, menjelang hujan saya motoran dari Seturan menuju arah selatan bilangan pasar Telo untuk suatu keperluan lanjutan ke Imogiri. Sebelum berangkat, mantel dan sandal jepit sudah siapkan, sehingga saya merasa cukup percaya diri untuk tetap melakukan perjalanan meski nanti turun hujan misalnya.

Sesampainya di Gowok hujan mulai turun. Normal, tidak begitu deras. Namun begitu sampai di jalan Kusumanegara, kondisi cuaca mendadak berubah, di luar dugaan dan kendali saya sebagai bekas calon pawang hujan amatiran. Hayyyuh.

Air, angin, dan petir tampil dengan begitu garangnya. Nyali saya pun menciut seketika dan perasaan menjadi was-was karenanya. Di Jogja, kita tahu belakangan banyak pohon-pohon tumbang dan tak jarang sampai memakan korban.
Dan lagi, biar bagaimanapun juga, saya ini belum menikah. Juga naik haji. Saya melanjutkan perjalanan dengan penuh rasa waspada sambil terus komat-kamit. 

Bermaksud menghindari jalan yang banyak pohonnya, saya memilih jalan Glagah. Dan lhadala, di jalan tersebut saya mendapati pemandangan yang belum pernah saya temui selama di Jogja lima tahun ini. Air tinggi menggenang sampai selutut. Sementara petir juga tampak semakin galak. Bahkan sampai ada yang serasa berada di dekat saya. Kontan saja membuat saya benar-benar kaget. Begitu juga dengan teman saya di belakang. Oh iya, saya berdua dengan seorang teman. Khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, saya kemudian berhenti sebentar untuk mematikan hape.

Selamat dari jalan Kusumanegara, saya terus mengarahkan kendaraan ke arah barat melewati bekas terminal (Eks T Sekuer). Hujan masih deras, petir juga masih sering terdengar. Kilat terlihat sedang bernafsu-nafsunya untuk menjilat. Maka di sepanjang perjalanan saya selalu berusaha mendekatkan diri dengan mobil-mobil yang tentu saja lebih tinggi dari saya. Jika banyak pohon di sebelah kanan, saya mengambil posisi di sebelah kiri dan sebaliknya. Karena terus terang saja, membayangkan hingga kemudian melihat dahan patah dan akar tumbang sejak dari jalan Kusumanegara tadi, membuat saya benar-benar harus waspada, untuk tidak mengakui kalau saya takut.

Sampai di jalan Sisingamangaraja, kondisinya semakin parah. Jalanan banjir sampai membuat beberapa motor mati. Ada sebatang pohon tumbang pula di sana, sehingga menutupi jalan. Saat itu saya merasa saya sudah berada di Jekardah. Hal itu juga saya sampaikan kepada teman saya di belakang. Dia membenarkan. Padahal saya sama sekali belum pernah merasakan kebanjiran di Jakarta. Apalagi sejak Jokowi jadi gubernur, kemudian presiden, dan DKI-1 dipimpin Ahok.

Saya semakin dekat dengan tempat tujuan saya. Perasaan was-was pun berangsur mereda. Perlahan berubah menjadi rasa senang karena bisa bermain air. Puji Tuhan, akhirnya saya selamat sampai tujuan.

Peristiwa mencekam ini (setidaknya menurut saya sendiri), sama persis dengan yang saya alami sewaktu masih kelas tiga SD. Keinginan untuk mendapatkan ikan gabus di rawa hari itu terpaksa kandas dan hanya menyisakan rasa kecewa lantaran hujan dan petir yang bertindak jumawa.

Ia turun tepat saat saya bersama Anton Iwan Pribadi tetangga saya masih berada di tengah-tengah rawa yang sama sekali tanpa ada tempat berlindungnya. Rawa itu termasuk yang terluas di desa kami. Cukup dalam, banyak ularnya, juga ikannya.

Alhasil, selama satu jam lebih kami hanya ndepipil di tepi rawa dengan perasaan takut masing-masing. Sesekali kami saling beradu pandang tanpa banyak bicara. Kedinginan? Pasti. Belum lagi membayangkan sesampainya di rumah pasti bakalan kena damprat.

Maka begitu hujan mulai reda dan petir mulai menyingkir, kami pun langsung mentas dan ngiyup di gubuk. Kemudian pulang dengan tangan hampa.

Empat tahun kemudian, saya baru tahu kalau yang kami lakukan kala itu benar adanya. Setelah Pak Mukti, guru fisika paling dibenci di SMP saya, menerangkan bab tentang panduan selamat dari bahaya hujan dan petir. Saat mendengar penjelasannya kala itu, saya merasa sebagai manusia paling beruntung di dunia. Saya lantas juga tidak ikut-ikutan membenci beliau seperti yang lainnya.

Panjang umur Pak Mukti. Sehat selalu.
Please write your comments