Sampai September ini, peserta program JKN di Indonesia baru berjumlah 168.8 juta jiwa. Dari total jumlah tersebut, 91 juta jiwa masih menjadi tanggungan APBN (atau yang dikenal sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI) APBN dan 14 juta jiwa menjadi tanggungan APBD. Dengan kata lain, saat ini beban pemerintah untuk menanggung iuran masyarakat miskin masih terbilang cukup tinggi, yakni untuk 115 juta jiwa. (Infografik BPJS per 9 September 2016).
Gotong Royong Indonesia Sehat BPJS Kesehatan (sumber gambar : kompasiana.com) |
Tingginya beban tersebut, jika hanya dipahami sepintas lalu memang tak akan terlihat sebagai suatu masalah. Karena kesehatan masyarakat seyogianya memang menjadi tanggungjawab pemerintah sebagaimana telah diamanatkan UUD 1945. Namun jika kita melihat dari sudut pandang lain, maka angka-angka di atas akan tampak sebagai persoalan serius. Yakni betapa besar beban pemerintah dalam menanggung beban iuran peserta jaminan sosial, yang bisa jadi salahsatu faktor penyebabnya adalah masih minimnya kesadaran ‘masyarakat (yang sebenarnya) mampu dan kaya’ untuk menjadi peserta BPJS.
Di sisi lain, kondisi fasilitas kesehatan kita terutama di daerah-daerah terpencil, terluar, dan terdepan masih sangat memprihatinkan. Meski anggaran kesehatan tahun 2016 ini cukup banyak, yakni 5 persen dari APBN atau sekitar 67,2 triliun, namun itu belum mampu mencukupi kebutuhan masyarakat kita di bidang kesehatan. Kita masih dihadapkan pada banyak persoalan seperti kurangnya tenaga medis, tidak memadainya infrastruktur kesehatan, dan masih minimnya upaya promosi kesehatan yang berakibat pada rendahnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan diri dan lingkungan.
Karena itu, kembali lagi kita kaitkan dengan program jaminan kesehatan nasional tadi, perlu dipahami bahwa yang ditanggung oleh pemerintah sebagai peserta jaminan sosial ini sebenarnya hanyalah para fakir miskin dan mereka yang tidak mampu membayar iuran. Sedangkan mereka yang kaya dan mampu, wajib hukumnya untuk menjadi peserta. Sehingga pada tahun 2019 nanti, diharapkan seluruh rakyat Indonesia sudah ter-cover BPJS; masyarakat mampu dan kaya dengan kepesertaan mandirinya dan masyarakat miskin dan kurang mampu dengan bantuan pemerintah. Cukup adil, bukan? Dan ini harus tercapai.
Mengapa?
Karena saya pikir ini akan menjadi modal besar kita dalam menyongsong bonus demografi tahun 2020 kelak, di mana jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) mencapai sekitar 70 persen, sedangkan usia tidak produktif (usia 14 tahun ke bawah dan usia di atas 65 tahun) hanyalah 30 persen dari total jumlah penduduk di Indonesia. Bonus demografi yang akan kita nikmati selama 10 tahun itu (sampai tahun 2030), jika tidak didukung dengan pondasi kesehatan (tenaga medis, infrastruktur, dan jaminan) yang memadai, maka justru dapat menimbulkan masalah. Sebab produktivitas masyarakat akan berbanding lurus dengan kondisi kesehatannya. Karena itulah, upaya perlindungan dan penjaminan kesehatan masyarakat melalui BPJS menjadi sangat penting, agar usia produktif dapat benar-benar bermanfaat karena tiadanya gangguan kesehatan.