Sambil terus mencoba menulis puisi, aku menyesap kopi yang baru saja kubikin.
"Duh Gusti, siang ini kopi terasa nikmat sekali." Batinku mensyukuri rasa kopi.Tak lama kemudian, suara azan salat Jumat berkumandang, memanggilku untuk segera datang.
Sejenak aku masih hanyut dalam rasa kopi. Tapi semakin lama suara azan terdengar semakin menjadi-jadi, saling susul dan bersahutan. Seolah tahu kalau pendengaranku terkadang membandel dan sering mencoba mengabaikan.
"Tidak Jumatan sekali-kali kan tak mengapa. Menikmati kopi siang-siang begini pasti akan membuatmu banyak menghasilkan puisi-puisi." kata kopi membujukku.Aku nyengir kuda.
"Iya juga ya," kataku dalam batin seraya menyesapnya lagi.
"Duh Gusti, siang ini kopi terasa nikmat sekali." sekali lagi aku membatin mensyukuri rasa kopi. Kali ini sambil memejamkan mata.
"Kau ini bagaimana? Sama-sama hamba tapi malah mau menjerumuskanku." Kataku tiba-tiba, membantah bujukannya.Kopiku menguarkan asap dan aromanya. Cantik sekali.
"Santai saja. Tuhan Maha Mengerti. Menikmati kopi dengan penuh rasa syukur setara dengan duduk di masjid sambil bertafakur." bujuk kopi lagi.Aku tak membantah. Percuma berdebat dengannya. Kesadaranku berkata, ia sedang berilusi karena kebanyakan minum kopi.
Suasana pun menjadi hening. Sementara di luar sana suara azan sudah mereda.
Dalam keheningan itu aku teringat sesuatu. Kupandang kopi sekali lagi. Kali ini ia tersenyum. Manis sekali.
Lalu aku segera berganti baju, mengenakan sarung, dan memakai peci. Kemudian bergegas ke masjid, menyusul kopi yang ternyata sudah berangkat dari tadi.
(Darul Azis, 2017)
Ilustrasi: pixabay