Dari Seorang Cucu Kepada Semesta Cucu - Jurnal Darul Azis

Dari Seorang Cucu Kepada Semesta Cucu

Dari Seorang Cucu Kepada Semesta Cucu



Untuk cucu-cucuku
Di zaman yang entah bagaimana
(Hanya Tuhan Yang Tahu)

Cucu-cucuku, sebagai seorang tua suntuk yang sedang dalam proses kembali  ke masa kanak, rasanya sangat wajar jika simbahmu ini jadi rewel, sering uring-uringan, dan banyak omong ke sana kemari. Apa-apa terasa kurang pas, enggak enak, dan salah. Begitulah rasanya jadi orang tua Cu. Kelak, kalau kalian diberi umur panjang oleh Yang Memberikan Umjuga akan mengalaminya. Jadi, maklumilah.
Poto by Tefa
Cucu-cucuku, ketika menulis ini, simbah sedang berada di zaman yang –untuk ukuran kemampuan akal simbah- sangat sulit untuk menggambarkannya. Zaman yang simbah jalani sekarang ini, pokoknya semua kudu bernilai materi. Misalnya nih ya Cu, sawah di pinggir jalan besar yang ramai dilintasi orang, ndak boleh dibiarkan terus-menerus jadi sawah, karena hasilnya tak akan seberapa. Mendingan dijadikan ruko, minimarket, hotel, restoran, atau mungkin mall, bukan pasar tradisional. Dengan begitu, hasilnya (baca : uangnya) akan lebih banyak ketimbang ditanami padi. Demikianlah Cu gambarannya. Ah simbah yakin banget, kalian sudah bisa menangkap apa yang sebenarnya simbah ingin sampaikan. Karena simbah juga sangat yakin, otak kalian sekarang lebih canggih ketimbah otaknya simbah. Simbah sungguh kesulitan menggambarkannya kecuali dengan ilustrasi tadi. Itu pun karena simbah kebetulan ingat kemarin ada tetangga yang menjual tanahnya kepada seorang kaya dari ibukota negara. Hehe
Cu, simbah jadi pengin bercerita padamu. Cerita simbah kali ini tentang batu akik yang telah menjadi pembicaraan semua orang, di semua tempat, pada semua kesempatan. Batu akik yang mereka perbincangkan itu, muahal-muahal banget lo Cu. Kalau simbah taksir, harga paling murahnya saja ada yang bisa buat makan simbah selama setahun. Ada yang bisa buat membeli 32 gigi palsu untuk 10 orang ompong seperti simbah, sehingga bisa makan rempeyek kedelai lagi. Bahkan, kemarin simbah dengar, ada batu akik yang harganya bisa untuk menyewa 1000 lahan tanah kota berukuran 2 x 1,5 meter untuk kuburan orang-orang tua seperti simbah sampai berpuluh-puluh tahun lamanya. Muahal banget kan Cu. Angka nolnya berapa ya Cu? Buanyak nian pasti. Hehe, pikiran simbah ndak nyampe kalau suruh mikir nilai mata uangnya.
Karenanya, kini orang-orang beramai-ramai menyerbu hutan-hutan, sungai-sungai, dan goa-goa ; untuk mencari batu. Media massa cetak, online, elektronik, berbondong-bondong memberitakan batu akik. Pemerintah juga tak mau ketinggalan, tahu itu akan jadi sumber uang untuk kasnya, mereka gencar mempromosikan batu unggulannya masing-masing. Pameran batu akik digelar di mana-mana. Di hotel, di pinggir jalan, dan di alun-alun. Hingga kemudian batu akik diobral dengan harga yang sangat mahal. Diobral dengan harga yang sangat mahal. Itu bagaimana logikanya Cu?
Di balik semua itu Cu, tak banyak di antara kami yang ingat, emas-emas kami terus-menerus dikeruk habis, ikan-ikan di lautan diangkut dengan kapal-kapal raksasa entah oleh siapa (karena kami tak mau tahu), pangan-pangan kami secara perlahan hendak diganti dengan pangan impor yang tentu bukan kami yang menanamnya sendiri, waktu kami banyak terenggut untuk hal-hal yang hanya menyenangkan diri sendiri, sesaat, dan lagi-lagi : semu. Pula pikiran dan tenaga kami, habis untuk hal-hal yang kami sendiri tidak apa manfaat dan mudharatnya.
Tak sedikit pun terlintas dalam pikiran kami, betapa senangnya jika kalian juga turut menikmati indahnya batu-batu mulia itu. Sebisa mungkin, kami menghabiskan apa yang ada di hadapan mata. Tak sedikit pun terlintas dalam pikiran kami, jika sebenarnya semua itu adalah milik kalian, yang meskipun begitu kalian tetap mengizinkan kami untuk mengambil manfaat seperlunya, bukan semaunya. Simbah merasa, generasi kami adalah genarasi yang paling jahat, serakah, dan laknat dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya. Maafkan kami, cucu-cucuku. Karena hanya itu yang akan meringankan siksa di kehidupan kami berikutnya.
Soal batu akik semacam itu, simbah sebenarnya juga punya loh Cu. Tapi bukan jenis batu-batu mulia yang harganya selangit tingkat tujuh itu. Nama batunya, simbah malah ndak tahu itu batu jenis apa. Maka ketika banyak orang yang bertanya itu batu apa. Simbah jawab, itu batu kali. Itu saja. Tentu bukan jenis batu mahal dan mulia. Batu akik itu merupakan pemberian ibunya simbah (buyut kalian), yang dulu juga merupakan pemberian dari sang ayah. Simbah sangat bangga memasangnya di jari manis sebelah kanan, meskipun bukan tergolong sebagai batu mulia. Semua itu tak lain karena batu akik tersebut merupakan pemberian turun-temurun dari simbahnya simbah.
Pesan ibunya simbah saat memberikan batu akik itu,  agar jangan sampai dibawa masuk ke kakus. Kalau hendak buang hajat, batu akik harus dilepas – letakkan di tempat yang aman lagi tinggi. Batu akik itu, sebaiknya juga sering dicuci dengan air bersih, syukur-syukur lima kali sehari (setiap kali berwudhu). Batu akik itu, jangan sampai dijual, ditaksir harganya pun jangan. Kepada batu akik itu, juga jangan berpikir macam-macam (punya kemampuan gaib misalnya). Batu akik tetaplah batu akik. Bukan malaikat, bukan setan, bukan pula Tuhan. Batu akik itu, adalah karya alam dan waktu yang sebaiknya juga dirawat, diperlakukan, dan digunakan sebagaimana mestinya, bukan keinginannya. Begitu pesannya. Simbah berusaha untuk terus mengingat dan menjalankan pesan itu Cu. Apapun risikonya.
Hihi, Simbah jadi ingat masa kecil simbah dulu Cu. Sebagaimana pernah simbah saksikan sendiri, dulu batu akik sangat tak ternilai harganya bagi sebagian besar orangtua. Bagi mereka, memiliki batu akik adalah sebuah anugerah, takdir, dan amanah. Batu akik tidaklah untuk dipamerkan, meskipun memang dipasang di jari tangan. Begitu pun dengan batu-batu lainnya yang tidak dijadikan sebagai batu akik. Mereka sepenuhnya sadar, batu (akik) adalah harta berharga yang juga menjadi hak anak cucu mereka. Maka ketika mereka sudah tua renta, batu-batu (akik) yang dimilikinya pasti akan diserahkan ke anak cucunya. Batu (akik) adalah benda yang ternilai karena uang, tapi ternilai karena siapa yang memberi, karena bagaimana cara mendapatkannya (lelaku apa yang telah ditempuh), karena merupakan warisan turun-temurun, karena sakralitas, harkat dan martabatnya sebagai karya alam, dan perenungan mendalam dari pemegangnya. Bukan seperti sekarang, batu (akik) hanya akan bernilai kalau sudah berdaya jual tinggi. Bukan hanya kepada batu akik saja kami berpikir seperti itu, kepada seluruh kekayaan alam yang ada di depan mata kami, kami berpikir sama. Berdaya jual tinggi, habiskan!
Hingga akhirnya, simbah membuat sebuah kesimpulan ini : Di zaman simbah sekarang ini sakralitas, filosofi, seni, dan hasil perenungan mendalam, telah tergeser dengan nilai materi, keinginan semu, dan keingininan untuk mengonsumsi. Demikian itu terjadi terus-menerus tanpa bisa berhenti dan kami pun tak punya kuasa untuk menghentikannya, kecuali kami dihentikan oleh segumpal tanah di mulut kami. Sekali lagi, kami minta maaf, karena keserakahan kami itu, kalian tidak bisa menikmati apa yang sudah kalian titipkan kepada kami; kami sudah menghabiskannya.
Yogyakarta, 20 Maret 2015
Simbahmu.
Please write your comments