Masyarakat Kampung Way Tuba Asri yang Pandai Berharap - Jurnal Darul Azis

Masyarakat Kampung Way Tuba Asri yang Pandai Berharap

Masyarakat Kampung Way Tuba Asri yang Pandai Berharap

Masyarakat Way Tuba Asri yang Pandai Berharap

Alhamdulillah, beberapa waktu lalu saya  berkesempatan untuk pulang ke kampung halaman, meskipun  hanya untuk dua hari saja. Tentu, saya sangat senang, sebab bagaimanapun udiknya kampung halaman saya itu, rasanya di sanalah kelak saya akan menghabiskan sisa umur saya bersama anak cucu (Kalau umurnya nyampe sih).

Bagaimana kondisi kampung halaman saya sekarang, saya merasa perlu menuliskan di sini. Penting tidaknya bagi Anda, itu lain soal, tapi saya yakin, Anda akan sangat ingin tahu bagaimana kampung yang telah membuat saya seperti sekarang ini.

Baiklah, saya perkenalkan nama dusun saya (sebelum menjadi kampung) yakni Talang Kangkung Asri. Nama yang sangat ndesa dan naif. Iya, begitulah, saya tak akan menampiknya jika Anda berpikir demikian. Dusun saya itu sudah berdiri sebelum Indonesia ada (baca : merdeka).

Oleh karena itulah, meminjam istilahnya Mbah Nun, Indonesia itu bagian dari dusun saya. Jadi tidak selayaknya, dusun saya itu minder ataupun menganggap Indonesia lebih gagah darinya. Justru dusun sayalah yang menopang Indonesia selama ini. Dusun saya lebih segala-galanya dari Indonesia. Iya, lebih nggak jelas.

Dusun saya adalah salah satu dari lima dusun di Kampung Way Tuba -kampung yang Kepala Kampungnya betah menduda dan mengasuk cukup banyak anak angkat (Pemimpin yang sangat langka, bukan?).

Kampung Way Tuba juga sekaligus menjadi ibukota kecamatan Way Tuba, menjadi perlintasan kereta api Lampung-Sumsel, serta menjadi semacam tempat nongkrong supir-supir Jawa-Sumatera yang ganas-ganas itu setelah berkali-kali menaklukkan Jalan Lintas Sumatera agar bisa membelikan gulali untuk anak-istrinya.

Bahasa yang dipakai penduduk Way Tuba lebih sering bahasa Palembang, bukan Lampung. Kemungkinan penyebabnya adalah  karena letak kampung tersebut berbatasan langsung dengan Provinsi Sumsel.

Begitu pun pergaulan penduduk setempat, lebih sering ke ibukota kabupaten sebelah, ketimbang ke ibukota kabupatennya sendiri-tepatnya karena nggak punya kota. Informasi yang diterima, juga lebih banyak tentang Sumsel, melalui beberapa stasiun radio besar di Kabupaten Oku Timur. BKM, RDB, dan Maspero.

Namun, kalau aroma kelampungan masih tetap kental di Kampung Way Tuba, minimal jika dilihat dari nama kampungnya. Nama kampung yang sangat mengerikan sebenarnya. Way (Lampung) dalam bahasa Indonesia berarti air. Tuba berarti racun. Way Tuba berarti air racun. Tapi tenang saja, penduduk Way Tuba tidak ada yang menjadikan air racun sebagai senjatanya. Malahan, kami seringkali tidak bisa membedakan mana racun mana madu, jadi sering keracunanlah kami –keracunan film porno, togel, tuak, etc.  

Selain itu, Kampung Way Tuba juga menjadi kampung yang sangat bergengsi karena di sana bercokol ratusan ribu pokok kelapa sawit milik seorang Bos Besar di Ibukota Indonesia. Perkebunan kelapa sawit itu dulunya adalah hutan.

Setelah masyarakat setempat banyak yang membabat alas tersebut dan menjelma lahan pertanian, entah kenapa tiba-tiba si Bos Besar datang untuk mengambil alih lahan tersebut untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Atas nama plasma. Itu terjadi pada awal tahun 90an. Dulu waktu SMK, saya sempat PKL di perusahaan ini, jadi dikit-dikit ngertilah bagaimana perusahaan ini.

Penduduk yang dulu punya lahan, diberi sejumlah uang bulanan (plasma), yang sekarang jumahnya berkisar Rp. 250 ribu/ha/bulan. Meski pihak perusahaan menyebut pemilik lahan adalah petani plasma, namun masyarakat tidak dilibatkan sebagaimana seharusnya. Melainkan ya itu tadi, hanya diberi sejumlah uang tiap bulannya.

Perkebunan kelapa sawit itulah yang kemudian menjadi saksi bisu kenakalan anak-anak sekolah dan suami/istri bermuka mesum; lahan perkebunan kelapa sawit sangat sejuk dan cocok untuk dijadikan tempat bercinta pacaran.

Lahan kelapa sawit itu juga sering menjadi Tempat Pembuangan Mayat (TPM) yang entah dibunuh oleh siapa. Sering menjadi tempat para begal amatiran beroperasi. Sering menjadi tempat persembunyian paling aman untuk para maling sapi dan motor.

Setelah sekian lama diasuh Kampung Way Tuba, akhirnya waktu jualah yang semakin mendewasakan dusun Talang Kangkung Asri. Kini ia, bersama dusun Talangkangkung Baru, dusun yang berada di utara sungai yang menjadi pembatas keduanya, telah menyatu menjadi sebuah Kampung yang gagah perkasa bernama Way Tuba Asri. Nama yang sangat filosofis menurut saya (walaupun saya tidak tahu penamaan ini memang didasarkan pada filosofi-filosofi tertentu atau tidak).

Sebagai seorang anak, adalah bakti yang teramat tinggi ketika mereka dengan sangat bangga menyebut nama orang tuanya di antara namanya. Dan sebagai orang tua, adalah puncak kasih sayang dan kebanggaan tatkala mencantumkan namanya di antara nama anaknya.

Demikianlah  kampung Way Tuba Asri, ia adalah anak yang sangat berbakti dengan orangtuanya, Kampung Way Tuba. Sampai sejauh ini, saya juga belum tahu benar, siapa yang memberi nama itu, sang anak atau sang orang tua. Entahlah, terlepas dari semua itu, semoga ini akan menjadi berkah bagi keduanya.

Untuk menjadi dewasa dan berotonomi menjadi kampung sendiri, membutuhkan perjuangan "berdarah-darah" bagi Kampung Way Tuba Asri. Tiga bidang tanah dusun, yang rencananya akan dijadikan makam massal masyarakat setempat, raib, (baca: dijual) untuk "membiayai oknum-oknum" yang mengawal pemekaran dusun di pemerintah daerah. Ini masyarakat sendiri yang bilang.

Bahkan kini lapangan sepak bolanya pun juga sudah dijual kepada salah satu sekolah menengah pertama milik negara. Terlepas dari untuk apa uangnya, di sini saya melihat betapa cerdasnya masyarakat Kampung Way Tuba Asri (yang diwakili pemerintah desa), bahwa otonomi dan pendidikan adalah yang lebih penting daripada sebidang dua bidang tanah.

Kampung Way Tuba Asri kini dipimpin oleh seorang muda yang merupakan anak dari salah satu tetua dusun Talangkangkung Asri. Beliaulah sosok yang paling pantas untuk menjadi Kepala Kampung waktu itu. Pendidikan memadai, pergaulan luas, pandai berbahasa Lampung, humoris, dan memasyarakat. Pemilihan Kepala Kampung –yang sebenarnya hanya sekadar formalitas pun- dimenangkan secara mutlak oleh Pak Meseni (Kepala Kampung Way Tuba Aktif). 

Masa kepemimpinannya yang baru berumur sama dengan masa tibanya penyapihan bayi, Beliau sudah mampu membawa Kampung Way Tuba Asri –berikut masyarakatnya- menjadi Jawara lomba kampung tingkat kecamatan.

Waktu saya pulang kemarin, masyarakat Kampung Way Tuba Asri terlihat sangat kompak. Mereka bergotong royong membuat parit di setiap lorong kampung. Di depan rumah-rumah mereka, juga dibuat pagar dan patok dari bambu, yang dicat dengan dua warna: merah dan putih.

Pengorbanan yang sangat luar biasa menurut saya, di tengah musim paceklik (beras mahal, harga karet murah, pekerjaan semakin sulit) yang sedang dialami masyarakat Kampung Way Tuba Asri.

Kesemuanya itu tak lain karena ada harapan agar Kampung Way Tuba Asri dapat memenangkan lomba kampung se-Kabupaten Way Kanan yang akan dihelat bulan April nanti. Semoga saja.

Pada beberapa tahun belakangan, sebenarnya Kampung Way Tuba Asri juga pernah  kedatangan makhluk-makhluk ekspresif ilmu pegetahuan bernama mahasiswa, dari salah satu Perguruan Tinggi Negara paling bergengsi di Lampung, untuk (katanya) Kuliah Kerja Nyata (KKN).

Namun tahulah kita, apa kerja mahasiswa di zaman yang kian jahanam ini: bermain gedjet, cinta-cintaan, galau-galauan, dan sibuk ke sana kemari tanpa orientasi yag jelas.

Program yang dijalankan pun tak ada yang lebih baik dari program Pengurus Osis ketika merayakan Hari Guru Nasional. Ya cuma begitu-begitu saja. Kedatangan mereka baru sebatas memberi hiburan dan cuci mata bagi pemuda-pemudi setempat karena wajah dan gaya kekotaannya.

Kedatangan mereka belum mampu memberi manfaat yang cukup berarti bagi masyarakat maupun Kampung Way Tuba Asri. Semoga ke depan jadi lebih baik lagi lah.

Untuk urusan pertanian, sawah-sawah milik masyarakat Way Tuba Asri sekarang sedang hijau-hijaunya. Padi-padi mulai bunting. Begitu juga dengan tikus-tikus (kali ini tanpa dasi), mulai ikut merasakan manisnya batang padi.

Tinggal menunggu sekitar satu setengah bulan lagi, masyarakat Kampung Way Tuba Asri akan berpesta panen padi –kalau tikus-tikus itu berbaik hati untuk tidak menghabiskan semua batang padi yang sangat yummi baginya.

Lain padi, lain pula karet. Harga karet per kilo di sana masi bertahan di angka Rp. 5.500. Kebun karet yang pada tujuh tahun lalu menjadi idola karena harga karet mencapai belasan ribu, kini banyak yang dilelang dengan harga yang sangat murah, itu pun tak ada yang berminat untuk membelinya. Banyak pengusaha karet gulung tikar, selain karena ketatnya persaingan bisnis, juga (mungkin) karena mahalnya biaya kelakuan (judi, merempuan, mabok).

Karena harga karet yang dirasa amat murah itulah, kini tidak ada perbedaan kelas sosial yang amat mencolok di Kampung Way Tuba Asri. Semua sama : mengeluh karena musim paceklik tahun ini.

Jarang di antara mereka yang bernafsu membicarakan batu akik. Mereka lebih memilih untuk menuruti Petuah Sang Presiden Yang Lembut itu : kerja kerja kerja. Iya, yang penting bisa kerja di pagi hingga sore hari, istri di rumah bisa menanak nasi, sayur, plus beberapa lauk untuk dinikmati pada malam hari sambil menonton sinetron keparat di tipi, itu pun kalau tidak mati listrik.

Karena di sana, listrik lebih lama padam daripada nyala hingga kemudian muncullah plesetan PLN yang kepanjangannya berubah menjadi Padamnyo Lamo Nian (padamnya lama banget).

Namun di balik sering padamnya listrik di Kampung Way Tuba Asri, kesabaran, ketabahan, dan keimanan masyarakat semakin teruji. Ini terbukti, tidak ada lagi umpatan serupa Kampang, Dancuk, Kacuk Umak,  Anjing, Binatang, Bajingan, Jangkrik atau semacamnya ketika mati listrik. Hanya senyumlah yang terukir di wajah mereka. Entah itu senyum getir atau senyum tulus, saya sungguh tidak bisa membedakannya.

Mati listrik, bagi para orang tua, lebih menguntungkan dan menyelamatkan anak-anak mereka dari pengaruh kotak berukuran 21” bernama tipi yang berlakangan kian bangsat itu. Iya, anak-anak di sana tidak terlalu terpengaruh dengan andorid, game, ataupun internet –lebih karena akses untuk ke sana sangat terbatas. Tapi, mereka sangat terpengaruh oleh tipi berikut siaran-siaran setan yang disajikan. 

Untunglah, para orang tua kebanyakan masih sangat peduli dengan anak-anak mereka. Masih disuruhnya anak-anak mereka itu untuk ngaji di sore hari, dibiarkannya anak-anak main-main ke ladang berburu burung, bermain sepeda, perang-perangan, sepak bola, belajar berkelompok, dan aktivitas-aktivitas positif lainnya. 

Saya melihat ada masih harapan yang amat besar dari para orangtua kepada anak-anaknya, itulah yang sangat menggembirakan bagi saya. Artinya, di Kampung Way Tuba Asri, masyarakatnya hampir tidak ada yang putus harapan. Sebagai bukti, tidak pernah ada kasus anggota masyarakat yang bunuh diri, keluar dari keyakinannya, ataupun nge-narkoba karena putus asa.

Kini, harapan itu semakin besar adanya. Dalam waktu dekat, Kampung Way Tuba Asri diharapkan bisa memenangkan lomba Kampung. Kampung Way Tuba Asri, diharapkan bisa bertambah maju setelah dana kampung dikucurkan pada bulan April nanti. 

Masyarakat Kampung Way Tuba Asri, juga masih sangat berharap kelak hasil panen padi dapat mereka pergunakan untuk membiayai  sekolah anak-anaknya, untuk persediaan makan sambil menunggu musim panen selanjutnya tiba. Pemuda-pemudi Kampung Way Tuba Asri yang berada di perantauan, juga sangat diharapkan untuk segera pulang mengamalkan ilmunya. 

Masyarakat Kampung Way Tuba Asri, juga berharap ada terobosan-terobosan terbaru menyangkut bagaimana mengendalikan hama tikus, wereng, gulma jawan, dan adanya sistem pertanian berbasis teknologi. 

Masyarakat Kampung Way Tuba Asri juga sangat berharap, sekolah-sekolah yang berada di dalam kampung tersebut bisa benar-benar mencerdaskan anak cucunya. 

Masyarakat Kampung Way Tuba Asri, juga masih sangat berharap musholla-musholla masih tetap ramai oleh suara alunan merdu ayat suci al-qur’an yang dilantunkan anak-anak mereka setiap hari. 

Masyarakat Kampung Way Tuba Asri, juga masih sangat berharap, mereka bisa merasakan manisnya hidup bermasyarakat dan bergotongroyong. Mereka juga masih sangat berharap untuk bisa menikmati makanan enak sebelum pada akhirnya pergi ke liang lahat. 

Salam rindu untuk Kampung Way Tuba Asri.

Yogyakarta, 20 Maret 2015


2 comments