Cagar Budaya dan Jati Diri Bangsa - Jurnal Darul Azis

Cagar Budaya dan Jati Diri Bangsa

Cagar Budaya dan Jati Diri Bangsa



Gambar diambil dari  Harian Jogja


Oleh : Darul Azis*
Sebagai daerah dengan tata pemerintahan berbasis kultural, keistimewaan DIY tidak dapat dipisahkan dari eksistensi nilai lokal, nilai religiusitas, nilai spiritual, nilai filosofis, nilai estetika, dan nilai sejarah serta budaya. Nilai-nilai tersebut tercermin melalui  benda dan bangunan bersejarah (cagar budaya) yang tersebar di berbagai wilayah di DIY.
Kita  mafhum, benda dan bangunan cagar budaya di DIY bukanlah benda dan bangunan mati belaka, melainkan sarat dengan nilai-nilai kearifan budaya dan jejak leluhur. Bahkan lebih dari itu, keberadaannya dapat dijadikan sebagai dasar pembangunan ekonomi, tata kelola pemerintahan, kepribadian, serta benteng ketahanan sosial budaya masyarakat DIY, di masa sekarang dan yang akan datang. Dalam hal ini kita bisa ambil contoh betapa tata arsitektur Kraton Ngayongyakarta Hadiningrat yang dirancang sedemikian rupa, merepresentasikan hubungan antara raja, rakyat, dan Tuhan secara seimbang.
Namun sayang, di antara sekian banyak cagar budaya di DIY baru sekitar 56 bangunan dan benda budaya yang telah resmi ditetapkan melalui SK Menteri sebagai warisan budaya dan 800 bangunan baru masuk rekomendasi untuk ditetapkan menjadi bangunan cagar budaya melalui SK Gubernur. Sementara jika dilihat dari kesiapan sumber daya manusianya, dari lima kabupaten/kota di DIY, baru Kabupaten Bantul yang memiliki jumlah tim ahli cagar budaya yang ideal. (Harian Jogja, 15/06).  

Kepribadian Bangsa
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, salah satu tujuan dasar pelestarian cagar budaya adalah untuk memperkuat kepribadian bangsa (Pasal 3). Hal inilah yang harus menjadi pijakan dalam upaya pelestarian cagar budaya.  Apalagi saat ini, kita seolah semakin kehilangan jati diri kebangsaan karena tergempur arus globalisasi di berbagai dimensi kehidupan.
Mengingat pentingnya pelestarian cagar budaya ini, maka pemerintah perlu bertindak tegas terhadap aksi perusakan benda dan bangunan cagar budaya, seperti aksi coret-coret (vandal) di bangunan cagar budaya, pendirian bangunan baru yang merusak bangunan cagar budaya seperti yang terjadi di Jalan Pajeksan, Gedongtengen beberapa waktu lalu. Selain itu, jika selama ini kendala terbesar dalam pelestarian cagar budaya adalah keterbatasan sumber daya manusia, pemerintah hendaknya mulai menggandeng akademisi, peneliti, dan lembaga swadaya masyarakat untuk menyelenggarakan penelitian dan  pengembangan  warisan budaya dan cagar budaya.  
Upaya lebih lanjut dapat ditempuh dengan menyediakan informasi  warisan budaya dan  cagar budaya  untuk masyarakat secara lebih luas dan terbuka, menyelenggarakan promosi cagar budaya secara lebih masif, memfasilitasi setiap orang yang ingin memanfaatkan, memelihara, dan mempromosikan cagar budaya,  dan mengalokasikan dana yang cukup untuk kepentingan  pelestarian  warisan budaya dan cagar budaya ini sebagai perwujudan Perda DIY Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya.
Di samping itu, upaya lain yang juga tak boleh dilupakan adalah mengenalkan benda dan bangunan yang dinilai layak untuk disebut sebagai cagar budaya kepada peserta didik di DIY. Agar benda dan bangunan tersebut setidaknya tercatat terlebih dahulu di benak mereka, generasi penerus masa depan. Agar warisan budaya tersebut semakin dikenal oleh generasi mendatang, sehingga semakin pahamlah kita tentang siapa sebenarnya kita ini : bangsa besar yang masih tertidur lelap. 
(Esai ini pertama kali terbit di kolom Suara Mahasiswa Harian Jogja,  23 Juni 2015)
Please write your comments