Kita dan Mario Teguh, Berlumur Kata-kata dan Berbalut Citra - Jurnal Darul Azis

Kita dan Mario Teguh, Berlumur Kata-kata dan Berbalut Citra

Kita dan Mario Teguh, Berlumur Kata-kata dan Berbalut Citra

Kehidupan Mario Teguh dan Kehidupan Manusia Indonesia

Sampai saat ini kasus Mario Teguh dan Ario Kiswinar tampaknya masih belum menemukan titik penyelesaian dan masih terus diperbincangkan. Malahan, saya melihat kasus ini semakin berlarut-larut, menguarkan prasangka dan ketidakpastiaan yang seakan sengaja dibiarkan.

Berdasarkan pengamatan saya, ada satu opini umum yang mengemuka saat ini. Yakni kehidupan Mario Teguh ternyata tidak sesuai degan apa yang dikatakannya. Banyak yang kemudian merasa kecewa karena kasus ini (meski kita semua belum tahu kebenarannya). Ini wajar dan bisa dimaklumi, sampai kedua belah pihak dapat bertemu dan menyelesaikan persoalan keluarga yang sebenarnya tak jauh lebih penting dari apa yang akan kita makan hari ini.

Tulisan ini berangkat dari opini umum tersebut dan kita mulai dengan sebuah pertanyaan berikut. 

Jika memang kehidupan Mario Teguh tidak sesuai dengan yang dikatakannya, lalu Anda mau apa?

Pertanyaan ini menjadi penting untuk saya ajukan, guna merespon opini di atas. Pasalnya, saya melihat kini telah terjadi pengkultusan terhadap sosok Mario Teguh si motivator kondang itu. Semacam ada anggapan dan ekspektasi bahwa Mario Teguh pasti melakukan apa yang diucapkannya; ia pasti baik dan sempurna dan semacamnya. Sehingga ketika kemudian didapatinya ada sesuatu yang kurang pas seperti sekarang ini, banyak yang merasakan kekecewaan yang maha lara. Banyak yang kemudian menghujat dan mengutuknya.
 

Tapi masalahnya, Mario Teguh itu ‘kan motivator tenar (tokoh publik) dan ada banyak orang yang rela membayar kepadanya hanya untuk bercuap-cuap!
 

Mungkin kalimat itu yang saat ini terlintas dalam pikiran Anda. Baiklah, itu akan terjawab nanti. Setelah kita menyelesaikan artikel ini. Tidak begitu panjang kok, tenang saja. Jadi santai saja bacanya. Tidak perlu terburu-buru, apalagi terlalu nepsong gitu. Main cantik aja, ya. Biar bisa klimaks bareng-bareng.

Sebelumnya, ada pertanyaan lagi yang harus kita munculkan. Yakni sebagai berikut :
 

Berapa jumlah akun media sosial yang terinstal di hape Anda saat ini?
 

Oke, katakanlah sekurang-kurangnya Anda menginstal 5 (lima) aplikasi media sosial (dan percakapan), yakni Facebook, BBM, Wasap, Twitter, dan Instagram. Lima aja, meski saya yakin ada banyak yang lebih dari itu. Ya namanya aja sekurang-kurangnya. Iya, ‘kan?
 
Selanjutnya, ada pertanyaan lain yang harus kita ajukan.
 

Dari akun-akun media sosial tersebut di atas, dalam sehari berapa kali Anda membagikan status (tulisan) dan foto (atau kata-kata dalam gambar) kepada teman-teman Anda? 

Katakanlah sekurang-kurangnya, Anda hanya membagikan satu status/gambar dalam sehari. Wujudnya bisa bermacam-macam, ada yang berupa aktivitas pribadi (kerja, kuliah, sekolah, dll), kalimat lucu, kalimat motivasi, nasihat-nasihat, atau bahkan kalimat-kalimat galau. Tujuannya pun bermacam-macam. Ada yang ingin terlihat sibuk, rajin, lucu, semangat, bijak, atau biar terlihat galau. 

Untuk Anda ketahui, apa yang Anda bagikan kepada orang lain di media sosial sejatinya akan menunjukkan bagaimana dan sebagai apa Anda ingin dinilai orang. 

Ketika membagikan status/gambar tersebut, teman-teman di media sosial Anda, tidak benar-benar tahu bagaimana sejatinya kehidupan Anda. Mereka hanya mampu melihat sebatas framing yang Anda lakukan (saya yakin, Anda pasti melakukan pembatasan itu). Bahkan kalaupun misalnya Anda membagikan hal yang tidak Anda lakukan pun, mereka tidak akan pernah tahu. Sebagai contohnya di Instagram, Anda bisa check in atau menunjukkan lokasi di mana Anda berada, tanpa harus benar-benar berada di sana. Begitu juga di Facebook, Twitter, dan BBM. Anda bisa membuat status-status yang menunjukkan betapa bijaknya Anda, walaupun sebenarnya tidak. Anda bisa membagikan status sedang membaca kitab suci atau buku, walaupun sebenarnya Anda sedang menonton televisi. Anda bisa terlihat seolah-olah sangat cerdas, walaupun sebenarnya iya. Atau sebaliknya. Anda bisa terlihat seakan-akan bahagia, walaupun sesungguhnya merana. Demikianlah, di era media sosial ini semua hal bisa dimanipulasi dan orang tidak akan tahu itu.

(Dengan demikian, pada tahap ini sebenarnya teman-teman Anda telah berperan sebagai audience dan Anda berperan sebagai tokohnya. Dan perlu dicatat, mereka mengetahui itu semua tidak secara gratis, sekurang-kurangnya mereka harus mengeluarkan uang untuk membeli kuota data internet) 

Hal yang sama, katakanlah bisa juga terjadi dengan Mario Teguh. Ia juga hidup sama dengan Anda, yakni dalam bingkai media sosial dan televisi di mana pasti ada framing atau batasan-batasan yang memang harus ditentukan. Kehidupan yang sebenarnya, hanya dia sendiri dan orang-orang terdekat yang tahu. Orang yang jangkauannya jauh, tidak akan pernah mengetahuinya. Dan sayangnya, tanpa menyadari itu, kita kemudian percaya begitu saja apa yang keluar dari ucapannya. Apa yang menguar di media sosial dan media massa, tanpa pernah berusaha menyaring dan berpikir kritis.
 



Lalu pertanyaannya adalah, apa bedanya kita dengan --misalnya-- Mario Teguh yang kita anggap ucapannya tidak sesuai dengan tindakannya? Padahal di saat yang sama, kita juga berpotensi melakukan manipulasi-manipulasi di media sosial. Kita juga berpotensi tidak melakukan apa yang kita katakan. Kita juga sama-sama sedang berusaha membangun citra diri, untuk kepentingan masing-masing. Kita, Mario Teguh, dan semua orang di dunia ini, di era media sosial ini, nyaris sama. Berkalang kata-kata  dan berbajukan citra.
 

Sekarang semua orang merasa berhak menasihati orang lain, memotivasi orang lain, dan mengingatkan orang lain. Sekarang ini semua orang merasa berhak untuk berbicara. Perkara semua ucapan itu benar-benar dijalankan atau tidak, itu lain soal. Toh tidak semua orang tahu.
 

Hanya saja sampai di sini kita akan tahu, seberapa jujur diri kita yang sesungguhnya? Seberapa munafik kehidupan kita? Dan seberapa rendah derajat kehidupan kita, sampai-sampai kita membutuhkan citra yang tingginya sedemikian hingga dan itu kita upayakan saban harinya.
 

Jujur kepada diri sendiri, itu yang kita butuhkan saat ini. Salah satunya adalah jujur bahwa kita pun sebenarnya tidak terlalu suka dengan nasihat berupa kata-kata (seperti tulisan ini?), melainkan lebih menyukai perilaku dan akhlak yang nyata (ketauladanan).
 

Baca juga : Pidato Petani Ini (Akan) Mampu Menampar Jutaan Manusia di Dunia, Termasuk Anda

Bukan begitu, Pak Pemuka Agama?

4 comments

  1. Setuju... Dari awal aku ga pernah ikut komen meskipun beritanya pak MT wara-wiri di timeline, karena menurutku kita semua ga tau apa yang ada di balik layar.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sip Mbak. Memang harus begitu, karena saya pikir ini di luar jangkauan kita.

      Delete
  2. Kita sama persis dengan beliau, bedanya kita tidak bertarif..

    ReplyDelete