Kioson, Solusi Pemberdayaan Sosial dan Kesenjangan Digital di Indonesia - Jurnal Darul Azis

Kioson, Solusi Pemberdayaan Sosial dan Kesenjangan Digital di Indonesia

Kioson, Solusi Pemberdayaan Sosial dan Kesenjangan Digital di Indonesia

Kioson Sebagai Jembatan Kesenjangan Digital UMKM di Indonesia
Kioson Sebagai Solusi Pemberdayaan Sosial dan Jembatan Kesenjangan Digital UMKM di Indonesia

Krisis Ekonomi 98 adalah tragedi tak terlupakan dalam sejarah perjalanan bangsa kita. Kalimat tersebut sering kali saya dengar saat mengikuti diskusi-diskusi ekonomi dalam berbagai kesempatan. Seolah semua orang memang telah benar-benar sepakat dan memiliki pemahaman seragam akan hal itu. Pada saat itu, menurut kesaksian mereka, kondisi negara benar-benar bergejolak dan mengkhawatirkan. Kepercayaan masyarakat terhadap perbankan menurun drastis sehingga mengakibatkan penarikan dana besar-besaran dan serempak dari bank. Banyak perusahaan besar tumbang dan PHK terjadi di mana-mana. Padahal dari sanalah selama ini mesin perekonomian digerakkan. Tak ayal, kondisi tersebut kemudian memicu munculnya gejolak sosial dan menimbulkan efek konflik horizontal di berbagai daerah. 


Namun meski demikian, ternyata saat itu ada satu sektor ekonomi yang masih tetap bertahan di tengah gejolak yang bahkan telah menumbangkan banyak perusahaan raksasa di Indonesia itu, yakni sektor informal atau yang biasa disebut UMKM. Layaknya antioksidan dalam dunia kesehatan, UMKM mampu menangkal dampak krisis global yang pernah melanda Indonesia pada tahun 1998. Demikian halnya dengan krisis yang terjadi pada 10 tahun berikutnya, yakni 2008. 


Tak hanya tahan terhadap krisis, UMKM juga terbukti banyak menyumbang PDB nasional dan menjadi mesin penggerak perekonomian nasional. Pada tahun ini saja, kontribusi sektor UMKM terhadap produk domestik bruto meningkat dari 57,84 persen menjadi 60,34 persen dalam lima tahun terakhir. Serapan tenaga kerja pada sektor ini juga meningkat, dari 96,99 persen menjadi 97,22 persen pada periode yang sama (Kompas, 29 Januari 2016). Dan yang lebih dari itu sebenarnya adalah UMKM mampu menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat sekitar atau sekurang-kurangnya bagi para pelakunya sendiri. Toko kelontong adalah salah satu contohnya. "Hanya" dengan menjual produk kebutuhan sehari-hari secara eceran, dapur pun jadi bisa terus ngebul setiap hari. Bahkan banyak di antara mereka yang bisa sampai menyekolahkan anaknya ke jenjang perguruan tinggi. Tetangga saya, Pak Mustajab, sekarang telah menjadi orang terkaya di kampung kami "hanya'' dari warung kelontong yang dirintisnya sejak berpuluh-puluh tahun lalu.


Fakta di atas seharusnya sudah cukup menjadi alasan mengapa kita harus berpihak, membela, dan memberdayakan keberadaan UMKM. Namun kenyataannya, perhatian kita (termasuk pemerintah) terhadap UMKM di Indonesia sampai saat ini masih dirasa kurang. Salah satu contoh misalnya, semakin tidak terkendalinya pembangunan toko-toko ritel modern-berjejaring, mengalahkan UMKM dalam skala terkecil yakni warung atau toko kelontong dan ini didukung pula oleh kebiasaan sebagian besar masyarakat yang cenderung lebih senang belanja di toko ritel modern dibandingkan berbelanja di toko kelontong. Sampai kemudian muncul gerakan membeli di warung tetangga; warung-warung kelontong itu beberapa bulan yang lalu.


Terkait hal ini, penulis jadi ingat  pada peristiwa tahun sembilan tahun yang lalu (2007), saat sebuah toko modern berjejaring masuk ke kampung kami. Saat itu, karena iming-iming diskon yang bombastis dan isu harga lebih murah, banyak masyarakat yang berlomba-lomba berbelanja di toko ritel modern tersebut. Jarak lokasi yang tak lebih dari 300 meter dari pasar pun kemudian membuat pasar menjadi sepi karena sebagian besar kebutuhan sudah dibeli di toko tersebut. Orang-orang yang biasanya belanja semua kebutuhan rumah tangganya di pasar, berubah drastis jadi jarang ke pasar kecuali hanya untuk membeli sayuran yang harganya tak seberapa itu. 



Tak hanya ‘melesukan’ pasar tradisional, toko kelontong yang berada di sekitar toko ritel modern tersebut pun terkena imbasnya. Mbak Hanik, demikian saya memanggilnya, adalah salah satu pemilik toko kelontong yang terkena imbas pembangunan toko modern tersebut. Kepada pelanggannya, termasuk ibu saya waktu itu, ia mengaku warungnya menjadi sepi karena banyak yang lebih memilih membeli di toko modern yang berada tak jauh dari tokonya.



Pengalaman di atas adalah bukti bahwa kesenjangan antarpelaku usaha, antartoko modern dan tradisional, itu terpampang nyata di depan mata kita. Dan ternyata persoalan tak hanya berhenti sampai di situ. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang kian pesat, persoalan lain pun kemudian muncul lagi. Kini mereka juga dihadapkan pada tantangan lain yakni semakin maraknya toko online (e-commerce)  raksasa yang persebarannya mencakup  seluruh wilayah Indonesia. Bisa kita lihat pula sekarang, perdagangan produk eceran sudah ‘dimonopoli’ oleh toko ritel modern-berjaring dan pasar online sudah "dikuasai" oleh e-commerce raksasa. Mulai dari pulsa, token PLN, pembayaran PDAM, tagihan listrik, tiket pesawat, tiket kereta api, hingga pembayaran BPJS, semua bisa sudah diintegrasikan dengan toko ritel modern dan e-commerce raksasa yang notabene memiliki akses, sumber daya, dan modal yang lebih banyak untuk bertransaksi secara digital.

Padahal di saat yang sama, para pelaku UMKM baru saja akan beradaptasi dengan produk kemajuan teknologi—bahkan masyarakat yang berada di wilayah pedesaan masih banyak yang belum mendapatkan akses untuk itu. Ada kesenjangan yang sangat lebar antara masyarakat perkotaan (urban) dan masyarakat pedesaan (rural), yang artinya ini juga pasti dirasakan oleh para pelaku UMKM di kedua wilayah tersebut.


Soal kesenjangan digital ini, saya jadi ingat dengan tulisan lama saya. Berikut kutipannya, "Bagi Anda yang saat ini hidup di kota-kota besar, saya yakin jaringan internet bukan lagi menjadi sebuah masalah. Sinyal kencang, area wifi acces tersebar di mana-mana, dan harga paket data internet cenderung lebih murah. Karena itu, kehidupan Anda pun menjadi sangat terbantu. Setiap hari Anda bisa mendapatkan informasi beragam, aktual, dan berlimpah. Bahkan dalam hitungan detik, Anda dapat dengan bebas mengakses informasi lain secara silih berganti dan sesuka hati


"Tak hanya kebutuhan informasi, Anda juga dimudahkan dalam hal lain, seperti saat ingin berkomunikasi melalui panggilan video, berbelanja, bertransaksi, berbagi data, mengontrol karyawan melalui CCTV, atau mungkin untuk menunjang pemasaran bisnis Anda. Dengan berlimpahnya jaringan internet di tempat tinggal Anda, mobilitas dan segala aktivitas Anda menjadi sedemikian mudah dan cepat. Bahkan bisa dilakukan hanya dengan memainkan jari di hape pintar Anda, sambil minum kopi atau makan roti bersama orang yang Anda cintai.


"Semua itu bisa terjadi karena Anda termasuk kelompok masyarakat “yang memiliki” akses pada teknologi informasi dan komunikasi. Berbeda dengan mereka, saudara-saudara Anda di daerah lain “yang tak memiliki” akses pada teknologi informasi dan komunikasi, jangankan untuk bervideo-call, untuk menelepon saja masih harus memanjat pohon demi mendapatkan sinyal. Atau kadang harus pergi ke kota dengan jarak berkilo-kilo meter dari tempat tinggalnya. Bagi mereka, informasi dan komunikasi menjadi demikian mahal dan mewah. Inilah yang disebut The National Telecommunicaton and Information Administration (NITA) --sebuah badan pemerintahan federal AS yang membidangi telekomunikasi dan informasi—sebagai kesenjangan digital (digital devide)."


"Kesenjangan digital antardaerah di Indonesia masih sangat tinggi dan nyata. Selain karena memang infrastruktur telekomunikasi yang masih sangat terbatas, hal lain yang turut mempengaruhi adalah kondisi geografis yang sangat sulit untuk dijangkau. Kondisi ini biasanya akan semakin diperparah dengan rendahnya taraf ekonomi, demografi, dan daya tawar politik masyarakat di daerah tersebut."


Selengkapnya baca Membangun Indonesia Dari Pinggiran Melalui TIK

Jika demikian, lalu di manakah UMKM akan ditempatkan dan siapa yang akan menguatkan posisinya di tengah gempuran persaingan yang semakin ketat? Terlebih lagi bagi mereka yang berada di wilayah pedesaan dan tak terjangkau oleh fasilitas digital. Bukankah sebenarnya para pelaku UMKM, toko kelontong, dan pedagang kecil lainnya juga berhak untuk menjual lebih banyak barang kepada konsumennya seperti yang dilakukan toko ritel modern dan e-commerce raksasa? Bukankah masyarakat di wilayah tersebut juga ingin mengakses lebih banyak produk-produk yang bisa dinikmati oleh masyarakat perkotaan? Dan, jika kita kaitkan dengan tragedi krisis ekonomi yang pernah terjadi di negeri ini, mengapa "Si kecil nan tahan banting" itu justru terus-menerus diabaikan?


Baca juga : Jamin Stabilitas Pasar, Perkuat UMKM

Permasalahan di atas hanya bisa dijawab dengan satu cara. Yakni dengan mengupayakan persaingan yang setara, apple to apple; business to business. PT Kioson Komersial Indonesia (Kioson) hadir di tengah-tengah kita untuk menjawab persoalan tersebut, yakni untuk menjadi jembatan kesenjangan digital UMKM di Indonesia. Ini terlihat dari visinya, yakni ingin "Membangun jaringan retailer terbesar di Indonesia dengan bekerjasama dengan pihak mitra usaha pedagang kecil dan menengah yang tersebar di seluruh pelosok nusantara." 


Foto via https://www.kioson.com/
Dengan mengusung jargon “Semua Bisa Online” Kioson hadir sebagai jembatan (solusi) kesenjagan digital di Indonesia; antara masyarakat perkotaan dan pedesaan; antara pelaku dagang raksasa dan UMKM. Untuk mencapai visi mulia tersebut, Kioson telah menghadirkan sistem aplikasi yang dapat membantu UMKM di Indonesia dalam mendukung pergerakan ekonomi digital khususnya di area pedesaan yang merasakan kesenjangan digital. Melalui aplikasi tersebut, toko kelontong dan kios-kios kecil dapat menjelma menjadi E-Tailer, yaitu toko yang dapat melakukan transaksi digital.


Sepengetahuan penulis, ini merupakan inovasi pertama yang dilakukan perusahaan startup di Indonesia. Kioson menjadi perusahaan e-commerce pertama yang melibatkan pedagang UMKM dalam sistem belanja online yang aman dan menguntungkan dengan menyediakan tablet sebagai sarana bertransaksi.


Dalam prosesnya transaksi pun, Kioson seolah sangat mengerti akan kondisi masyarakat yang menjadi targetnya, yakni dengan membuka akses bagi masyarakat yang tidak memiliki rekening bank/kartu kredit untuk melakukan transaksi berbelanja online. Cara ini memang penting dilakukan, mengingat sampai saat ini masih banyak masyarakat Indonesia yang belum memiliki rekening bank, apalagi kartu kredit. 


Selain itu, transaksi semacam ini pun jadi lebih aman dan tidak merepotkan untuk jauh-jauh ke ATM/Bank. Dan, ini juga merupakan sebuah upaya menjaga kearifan lokal masyarakat Indonesia dalam berbelanja yaitu tetap ingin berinteraksi langsung dengan penjual; hal yang tidak akan mereka dapatkan ketika berbelanja  di toko online yang lain. Hal itu masih bisa dilakukan, sebab penjual dan pembeli bertemu di Mitra Kioson yang ada bentuk fisiknya (toko/kios)--setelah memilih produk yang akan dibeli Mitra Kioson akan meminta nomor HP calon pembeli dan selanjutnya calon pembeli akan dikonfirmasi oleh Customer Service Kioson. 


Dengan adanya mekanisme seperti itu, masyarakat tetap bisa belanja online di toko yang selama ini sudah mereka percaya. Sedangkan bagi pemilik toko, kiosnya bisa menjual produk yang lebih banyak dan beragam sehingga  dapat meningkatkan omset dan komisi yang lebih banyak dari penjualan barang di Kioson.


Dengan Kioson, toko kelontong pun bisa menjual kulkas, HP, TV, dan barang-barang elektronik lainnya tanpa harus mengeluarkan modal besar ataupun menyediakan tempat yang luas. Ini barangkali yang tak pernah terlintas dalam benak kita. 


Kehadiran Kioson di tengah-tengah kita seakan ingin menegaskan bahwa ekonomi digital bukan monopoli masyarakat urban dan toko-toko digital raksasa ; masyarakat rural dan para pemilik toko kelontong juga berhak untuk itu. Dengan demikian, UMKM jadi terberdayakan dan secara perlahan jurang kesenjangan digital antara masyarakat urban dan pedesaan pun dapat diperpendek jaraknya. 


Saat ini sudah ada banyak toko-toko kecil yang telah menjelma menjadi E-tailer sebagaimana yang dicita-citakan Kioson. Yakni sekitar 4 ribu E-tailer dengan konsumen tetap sekitar 400 ribu orang. Sementara itu, supplier Kioson sudah ada 500 supplier dan diyakini akan terus meningkat setiap waktu (Data Kioson per Mei 2016). Angka tersebut tentu merupakan angka yang sangat progresif mengingat usianya yang masih seumur Jagung sejak didirikan pada Mei 2015 lalu. Ini artinya, Kioson sangat diminati, dipercaya, dan memiliki prospek bisnis yang bagus ke depannya. 


Lantas, bagaimana cara bergabung menjadi E-Tailer Kioson?


Bagi Anda yang ingin menjadi Mitra Kioson dan kebetulan sudah memiliki gadget Android, dapat langsung mengunduh aplikasinya di Google Play Store. Setelah itu, isi formulir pendaftaran aplikasi Kioson. Pastikan Anda mengisi dengan cermat dan kolom yang tersedia terisi semua, sehingga Anda mendapatkan ID Kioson Cash Point melalui SMS dan Email dalam waktu 1 x 24 Jam setelah proses pendaftaran. Setelah mendapatkan ID, buka kembali aplikasi Kioson dan pilihlah menu Lupa Password untuk membuat password baru pada aplikasi Kioson Anda (Untuk lebih mudahnya, silakan mempraktikkannya secara langsung karena prosesnya sangat mudah dan tak perlu tutorial yang njlimet).




Setelah selesai, Anda dapat log in kembali dengan password baru dan lakukan Top Up saldo Anda melalui ATM (tonton video di bawah) dan dapat langsung bertransaksi bersama KIOSON. 






Tapi saya belum punya gadget, gimana dong?


Tenang, Kioson sudah menyiapkan solusinya. Dengan hanya cukup membayar Rp 900.000, Anda sudah bisa menjadi Mitra Kioson dan akan mendapatkan satu buah tablet, saldo Rp 100.000, buku panduan, dan banner toko.


Mudah dan murah bukan?

Memang. Kalau ribet dan mahal bukan solusi namanya. 


Tulisan ini diikutsertakan dalam Kioson Blog Competition

P.S. : Ada pertanyaan lebih lanjut? Tenang, karena Anda bisa menghubungi langsung CS Kioson hanya melalui nomor HP saja sehingga Anda tak perlu khawatir pulsa Anda akan jebol karena menelepon telepon rumah sebagaimana Layanan Pelanggan pada umumnya. Nomor-nomor berikut bisa Anda hubungi untuk menjawab pertanyaan, menampung keluhan, dan menerima kritik dan saran.

+62 818 0721 8383 (XL)
+62 899 983 8383 (Tri 3)
+62 857 7625 8383 (Indosat)

Url versi pendek artikel ini adalah https://goo.gl/OueCU4

6 comments

  1. Terima kasih sudah mengenalkan kioson kepada saya.

    Pas baca ini untuk pertama kalinya saya tahu.

    Semoga impian besar kioson mencapai targetnya.

    Beharap begitu kepada kioson.

    Untuk blog kang darul udah jossss

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanks Mas sudah berkunjung. Visi sosial Kioson layak kita dukung, minimal dgn menyebarkan kabar baik ini kpada banyak orang. 😊

      Delete
  2. Kioson emang membantu banget buat para pelaku UMKM. Mereka jadi paham bahwa internet itu bisa mendongkrak pendapatan mereka, sip deh kioson

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Mas Amir. Semoga pula tulisan ini mampu menjadi pendongkrak smakin meningkatnya Mitra Kioson, pelanggan, dan supplier Kioson.

      Delete
  3. Wah ini namanya solusi, bukan sekadar mengeluhkan masalah toko tradisional tergerus minimarket, keren Kioson, startup asli Indonesia ini ya mas? salut utk startup kita, bener2 cari solusi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Mbak. Ini startup asli Indonesia.

      Semoga ke depan ada lbih bnyak lagi startup2 yang seperti Kioson ; pemberi solusi untuk masalah2 rill masyarakat kita.

      Delete