Bagaimanakah Cara Marah yang Indah dan Berestetika? - Jurnal Darul Azis

Bagaimanakah Cara Marah yang Indah dan Berestetika?

Bagaimanakah Cara Marah yang Indah dan Berestetika?


Sorot Mata David Beckham yang menyiratkan kemarahan/Foto via hhttp://www.fansshare.com/


Marahnya orang yang berbudaya itu beda dengan marahnya orang yang tak paham budaya.

Sampai sekarang aku masih sangat ingat dengan kalimat itu. Aku pertama kali mendengarnya dari seorang guruku dalam sebuah pertemuan kelas. Kalau tah aku tak melihat secara langsung bagaimana kemudian kalimat itu bekerja dengan nyata, barangkali aku tak akan percaya pada apa yang dikatakan oleh sosok sederhana itu. Bahkan, contoh itu begitu dekat dalam kehidupanku karena bapakku sendirilah yang melakukannya.


Seiring usianya yang semakin menua, lidah Bapak semakin sensitif dengan rasa pedas. Kesukaannya pada rasa pedas saat ia masih muda sama sekali tak menolongnya di masa kini, sebab sepertinya tubuh telah memiliki sistem dan pertahanannya sendiri.


Sialnya kondisi itu kadang kurang ditangkap oleh para juru masak di rumah kami : Emak, Ayuk, ataupun Kakak, bahkan kadang aku sendiri. Rasa masakan sering kali hanya didasarkan pada lidah juru masak. Sementara sudah menjadi kebiasaan di rumah kami bahwa setiap rasa masakan haruslah pedas.

Hingga ketika tiba waktunya makan malam, bisa ditebak apa yang akan terjadi kemudian. Alih-alih merasakan nikmatnya masakan, Bapak justru berjibaku dengan rasa pedas yang membakar. Dan pada saat-saat seperti itulah ungkapan penyesalan akan terlontar. 'Seharusnya tadi masakan untuk bapak dipisah' atau 'Besok-besok lagi jangan terlalu pedas-pedas masaknya'.

Namun demikian, walau kepedasan, Bapak tidak akan marah kepada juru masak. Apalagi jika yang memasak adalah menantunya. Ia akan lebih pandai menjaga sikap dan reaksinya. Bagaimanapun, ia tetap bisa menghargai perasaan juru masak.
Tapi makan tetaplah makan, yang harus dilakukan ketika rasa lapar melanda. Dan karena rasanya terlalu pedas, biasanya Bapak akan langsung mengambil gula lalu dicampur dengan nasi. Mungkin maksudnya untuk mengurangi rasa pedas. Keruan saja itu dilakukan di depan kami, atau setidaknya kami pasti melihatnya sehingga rasa penyesalan pun semakin menjadi-jadi.
Itu adalah cara Bapak memprotes para juru masak. Dalam kesempatan lain, Bapak juga pernah melontarkan protes dengan cara yang lebih elegan. Ini masih soal masakan yang terlalu pedas. Malam itu, selepas makan, ia menaruh beberapa buah cabai di piringnya dan ditata rapi. Anak menantunya yang masih beberapa hari tinggal di rumah pun bertanya-tanya karenanya.

"Perasaan tadi masakannya udah pedas, kok Bapak masih lalap pakai cabai ya?" tanya Ayuk ipar kepada suami dan ibu mertuanya.

Yang ditanya terseyum kecut. Keduanya saling pandang, lalu sang suami memberikan sebuah jawaban.

"Besok-besok lagi, masakannya jangan terlalu pedas ya. Atau kalau mau masakan pedas, pisahkan untuk Bapak terlebih dahulu."

"Marahnya orang yang paham budaya, biasanya diungkapkan melalui simbol-simbol atau isyarat. Sementara marahnya orang yang tak paham nilai budaya dan estetika, sering kali diungkapkan dengan aksi kekerasan." kata guruku menjelaskan.


Please write your comments