Tata Krama Meja Makan dan Kecurigaan Saya Tentang Muasalnya - Jurnal Darul Azis

Tata Krama Meja Makan dan Kecurigaan Saya Tentang Muasalnya

Tata Krama Meja Makan dan Kecurigaan Saya Tentang Muasalnya

Image Source: mariefranceasia

Usai makan, ketika saya masih makan, Rahmat bersendawa. Saya, yang saat ini sudah terpapar pengetahuan ihwal tata krama di meja makan, langsung menegurnya. Tindakan Rahmat, bagi saya dan juga Guru Faruq yang menjadi teman makannya, telah melanggar tata krama meja makan. 

Sebenarnya, sebelum saya mendapatkan pengetahuan tentang manner di meja makan, saya juga sering melakukan hal yang Rahmat lakukan. Namun kini, saya jadi merasa risih ketika mendengar orang bersendawa, sementara saya sedang makan. Puncaknya, rasa risih saya itu bahkan hadir ketika ibu saya yang melakukannya. Bedanya, saya tidak langsung menegur langsung atau melarang ibu saya bersendawa. Saya hanya merasa risih. Itu saja. Dan itu disebabkan oleh pengetahuan saya ihwal konsep abstrak bernama tata krama meja makan itu.

Bangsat memang, tapi itulah kenyataannya. Hal itu kemudian membuat saya berpikir ulang tentang tata krama di meja makan.

Tapi sebelum itu, saya ingin mengulik tentang bersendawa dengan kacamata sosiologi terlebih dahulu, setidaknya mengacu pada latar sosial saya sebagai orang miskin. 

Bersendawa, bagi orang miskin itu merupakan sebuah kenikmatan. Mengapa? Karena hidup mereka selalu diancam oleh keadaan susah dan rasa lapar. Mereka tidak selalu bisa bersendawa setelah makan, karena makanan pun jauh dari cukup. 

Maka ketika mendapatkan kesempatan untuk makan, mereka mengekspresikan rasa senangnya dengan cara bersendawa, bukan memakan semuanya. Toh perut juga punya batas daya tampung. 

Itu kemudian menjadi kebiasaan orang-orang miskin, bahkan meskipun kehidupan mereka telah berubah. 

Sementara di tempat lain, bersendawa masuk dalam salah satu tindakan yang dilarang dalam tata krama meja makan. Saya jadi curiga, pencetus larangan bersendawa ialah masyarakat dari golongan kaya. Mereka tahu bahwa itu adalah bersendawa merupakan kebiasaan orang miskin. Dan itu tidak patut ada di tengah acara makan mereka. Kecurigaan saya ini tentu saja bisa salah, dan oleh karena itu pula, sangat terbuka untuk dibantah.

Lanjut soal tata krama. Setelah saya ulik, ternyata tata krama atau sopan santun merupakan sebuah fiksi yang diciptakan oleh manusia agar mereka tidak mengatakan yang sebenarnya. Kita, pada dasarnya, boleh-boleh saja kok makan sambil dengan sendok yang bergelotakan, atau makan dengan begitu lahap seperti orang kelaparan, apalagi kalau memang sudah kelaparan. Itu ekspresi, yang bebas untuk diungkapkan. 

Tapi bayangkan, kalau orang yang tidak pernah kelaparan melihat kita makan dengan cara seperti itu? Mereka pasti bakalan illfeel. Kehilangan selera makan. Dengan demikian, nalar misantropis saya kembali mencurigai bahwasanya pihak yang mula-mula menciptakan fiksi bernama tata krama itu tak lain adalah manusia yang berasal dari pusat kekuasaan. 

Tata krama meja makan tidak muncul dari tengah-tengah rakyat yang sering kelaparan, melainkan dari dalam keraton/istana yang terjamin stok makannya. Tentu saja, istana yang dimaksud di sini ialah istana yang juga diisi oleh kalangan manusia terpelajar/pujangga/pemikir. Mereka menciptakan tata krama, agar tetap ada gap kuasa. 

Demikian.
Please write your comments