Kado Buat Kekasihku
tiada laik kulakukan, berdoa di hari Jum’at
di hari kau memasrahkan diri
membangun jalan yang akan kau ikuti arahnya
mengabdikan diri
menjadi rumah tempat berpulang jiwa yang resah, raga yang lelah
hatiku menengadah rendah
memunguti kisah-kisah lalu dan membungkusnya dalam bingkai syukur
atas bunga yang kau taburkan dari dalam hatimu
di belantara gelap
membuatku mampu meraba arah perjalanan
menyisakan cahaya selewat kakiku
sebagaimana guru bermahkota budi
kuulurkan tanganku pada semesta alam
yang berpasangan
yang beranak pinak
yang melenturkan hati menjadi sungai suci yang panjang dan mengalirkan jernih air
ku rangkai tangan-tangan dan menggerakkan bibir
menjelma muara-muara munajat
tiada kado istimewa dari seorang kekasih
selain doa dan keihklasan
merestui takdir yang lebih bijak
merelakan kaki yang terus berpijak
menebar benih cinta, di sepanjang dunia
kau yang pernah mendengar resahku, meneriakkan rintih kepala yang tertindih, layak jadi kekasih, tukar menukar asih.
Peminangan
Begitu banyak sajak-sajak yang belum kau bacakan
Tidak kau dengar tangsinya yang sendu
Kakiku mengeja rindu bidadari pada sang pangeran
Kau mengajakku berjalan sama-sama
Menuju rumah yang kau yakini berwarna terang
Kau bersama aku aku yang lainnya
Tapi aku aku itu hanya bersamamu
Aku aku mengimani goda syahwati
Aku aku mengimani bujuk duniawi
Aku-aku memperingatkanmu
Di kanan kiri jalan, semak-semak, jalan lurus, tanjakan, turunan dan belokan bertubi
Aku aku memaklumi kau manusiawi
Di tengah perjalanan
Kau bertemu banyak saudara kembar
Siapa kau ini? mungkinkah kurawa
Sedang kita hidup di dunia nyata
Ada aku aku dan kau kau
Kau kau berjalan bersama aku aku
Ada perbincangan ringan
Antara kau kau ketika aku aku terlelap
memilin mimpi-mimpi menjadi gulungan kasur
perjalanan ini melelahkan, aku aku tak ada yang mampu mendengar bisik
ultrasonik dibalik bilik
Ah... aku aku bingung
Di jalan kau bisa memeras panas matahari
Kau kau menawarkan dingin
Tukarlah dengan kehormatanmu “pinta kau kau
Aku aku semakin bingung
Kau kau dapat mematikan rembulan, bintang dan melegamkan gelap
Kau kau menawarkan lilin
Tukarlah dengan nyawamu”
Aku aku sadar, untuk hidup perlu mati
Aku aku semakin sedikit
Perjalanan belum juga sampai
Aku aku bergelimpangan kelaparan
Dari darahnya yang beku, mayat aku aku mengabarkan
Kau kau pandai memanjangkan jalan
Pantaslah aku aku tak pernah sampai
Pawang Hantu
: Kepada Caleg
bertandanglah ke kampungku
berbekal buku kumpulan mimpi
yang belum kau jilid, aku punya dua bilah duka
aku punya batu, semen, kerikil
kita dirikan sebuah prasasti
bukti darahmu pernah menetes berpadu keringat
bulan ini dan seterusnya, agar kampungku tak lagi angker
agar hantu-hantu di pohon-pohon itu merasa malu
agar anak-anak kecil di kampung ini gemar mengaji lagi
bermain gobak sodor
menjadi hantu pura-pura
mengarang cerita selayak sutradara
di bawah gelap malam, tanpa takut diculik setan
dan kita saksikan
malam menjelma cinta
yang memabukkan berpasang-pasang mata
menjelang subuh
pohon tua di samping rumahku rubuh
termakan takut
ternyata, sejak kedatanganmu
hantu-hantu di tubuhnya benar-benar pergi
hingga ia tersiksa sepi, tak dihirupnya lagi wewangi kembang tujuh rupa penebak angka
menjelang subuh, ku panjatkan doa.
Siapa sebenarnya hantu itu, dia atau kamu?
*Puisi-puisi di Banjarmasin Pos (30 Maret 2014)