Oleh : Darul Azis
Eksekusi mati terpidana kasus narkoba pada Minggu, 18 Januari lalu, hingga saat ini masih hangat diperbincangkan. Protes pemerintah Brasil dan Belanda yang dilanjutkan dengan menarik sementara duta besarnya, ternyata tak membuat pemerintah gentar sedikit pun. Bahkan, eksekusi hukuman mati masih akan berlanjut. Menurut Jaksa Agung, HM Prasetyo, masih ada 60-an terpidana kasus narkoba lainnya yang akan dieksekusi pada masa mendatang, tentu setelah seluruh proses hukum selesai.
Banyak pihak berpendapat, hukuman mati bertentangan dengan UUD 1945 dan Hak Asasi Manusia (HAM) karena menghilangkan hak dasar manusia secara paksa, yakni hak untuk hidup. Telaah kritis Maruarar Siahaan, (2009) adalah salah satunya. Ia mengkritik argumen yang selama ini kerap dikemukakan pemerintah maupun BNN, bahwa pidana mati memiliki daya tangkal terhadap pelaku kejahatan, sehingga sangat dibutuhkan untuk mencegah semakin merajalelanya kejahatan narkoba. Dalam keadaan pidana mati masih berlaku pun, tingkat kejahatan narkoba di masih begitu tinggi. Menurutnya Maruarar, masalah daya tangkal tidaklah semata-mata hasil yang hanya dapat dicapai dengan pidana mati. Penyelesaian dan cara yang cenderung membenarkan sikap kekerasan yang hendak diperlakukan terhadap pelaku kejahatan narkoba sebagai metode yang efektif, justru akan menghadapkan kita pada ujian seraham dalam mencapai peradaban bangsa yang tinggi.
Banyak pihak berpendapat, hukuman mati bertentangan dengan UUD 1945 dan Hak Asasi Manusia (HAM) karena menghilangkan hak dasar manusia secara paksa, yakni hak untuk hidup. Telaah kritis Maruarar Siahaan, (2009) adalah salah satunya. Ia mengkritik argumen yang selama ini kerap dikemukakan pemerintah maupun BNN, bahwa pidana mati memiliki daya tangkal terhadap pelaku kejahatan, sehingga sangat dibutuhkan untuk mencegah semakin merajalelanya kejahatan narkoba. Dalam keadaan pidana mati masih berlaku pun, tingkat kejahatan narkoba di masih begitu tinggi. Menurutnya Maruarar, masalah daya tangkal tidaklah semata-mata hasil yang hanya dapat dicapai dengan pidana mati. Penyelesaian dan cara yang cenderung membenarkan sikap kekerasan yang hendak diperlakukan terhadap pelaku kejahatan narkoba sebagai metode yang efektif, justru akan menghadapkan kita pada ujian seraham dalam mencapai peradaban bangsa yang tinggi.
Di saat yang sama, kejahatan gembongnarkoba juga semakin merajalela di Indonesia. Tingginya angka pengguna narkoba di Indonesia yang saat ini mencapai 4,2 juta jiwa (BNN, 2014), boleh jadi karena andil bandar narkoba, yang dapat dengan bebas menyelundupkan barang haram itu ke Indonesia. Selain itu, dampak narkoba juga akan mengancam kelangsungan generasi bangsa dan kedaulatan negara. Maka pantaslah jika pasal 28 UU Narkotika mengancam hukuman mati bagi produsen, pengolah, pengekstraksi, pengonversi, perakit, penyedia, pengekspor, penyalur, penjual, dan perantara jual beli narkoba, terlebih lagi jika kejahatan tersebut dilakukan secara terorganisir.
Bagi pemerintah, kontroversi hukuman mati yang berkembang saat ini hendaknya jangan terlalu dihiraukan. Selama proses hukum telah dilaksanakan dengan benar, selektif, hati-hati, bersih, dan dapat dijamin tidak adanya keteledoran, hukuman mati dapat terus dilanjutkan. Hal ini semata-mata demi menjaga kedaulatan negara, melindungi generasi bangsa, dan tegaknya hukum di Indonesia.
Kesatuan Sistem
Pada dasarnya, hukuman mati bagi terpidana kasus narkoba hanyalah bagian dari keseluruhan upaya pemerintah dalam memberantas aksi penyalahgunaan narkoba. Selama ini pemerintah telah cukup intens mencegah penyalahgunaan narkoba melalui metode promotif dan preventif, bagi mereka yang belum begitu paham nama, jenis, dan bahaya narkoba. Selain itu, pemerintah juga telah berupaya mengobati para pengguna melalui cara yang lebih manusiawi, yakni metode kuratif (penyembuhan) dan rehabilitasi (pemulihan) bagi para pengguna. Dari beberapa upaya di atas, selanjutnya, upaya lain yang juga harus diambil adalah dengan menggunakan metode represif. Metode ini diperlukan untuk menindak tegas para produsen, bandar, pengedar dan pemakai narkoba secara hukum.
Jika upaya-upaya di atas dilaksanakan secara konsisten, berkesinambungan, terpadu, dan sinergis, maka pertanyaan mampukah hukuman mati memutus mata rantai peredaran narkoba di Indonesia dapat segera terjawab. Karena, menurut hemat penulis, memberantas aksi penyalahgunaan (berikut peredaran) narkoba harus dilaksanakan secara proporsional dan sesuai dengan tingkat permasalahannya. Ibarat penyakit, tentu perlu penanganan yang berbeda, sesuai dengan tingkat kekronisannya. Demikian pula dalam memberantas aksi penyalahgunaan narkoba, hukuman mati adalah langkah proporsional yang harus pula diambil.