Buat Apa Sekolah? Nggak Usah Sekolah, Apalagi Kuliah - Jurnal Darul Azis

Buat Apa Sekolah? Nggak Usah Sekolah, Apalagi Kuliah

Buat Apa Sekolah? Nggak Usah Sekolah, Apalagi Kuliah

Buat apa sekolah, buat apa kuliah, kalau pada akhirnya kau malah semakin bodoh, terpenjara, dan lemah (tidak bisa menolong diri sendiri)?

Buat apa sekolah, buat apa kuliah, kalau pada akhirnya kau mengingkari ilmu yang kaudapatkan dari bangku sekolahmu. Tak pernah menggunakannya di kehidupan nyata?

Buat apa sekolah, buat apa kuliah, kalau pada akhirnya kau bahkan tak merdeka atas dirimu sendiri? Kau bekerja tidak sesuai dengan keinginanmu. Kau hidup penuh tekanan. Kau hidup penuh ketakutan.
 

*******

Saat menulis ini, sebenarnya saya tak begitu yakin tulisan ini nantinya akan dapat memberikan sesuatu yang berarti. Pun bagi kau wahai para pembaca, saya tidak memaksa kalian untuk memercayai apa yang saya tuliskan di sini karena toh saya ini bukan siapa-siapa. Namun, satu hal yang sebaiknya kita semua percaya, bahwa tulisan ini telah ditakdirkan oleh Tuhan untuk saya tulis dan untuk kaubaca. Hanya itu takdir yang tidak dapat kita ingkari.

Tujuan saya menulis ini pun, sebenarnya juga bukan karena ingin mengubah sesuatu menjadi sesuatu. Tujuan saya hanyalah agar saya tidak terus-menerus merasa gelisah dan stres. Karena jujur, belakangan ini pikiran saya sangat terganggu oleh beberapa hal yang akan saya sampaikan nanti. Harapan tertinggi saya, setelah berhasil menuliskannya, saya bisa merasa plong dan terhindar dari ketidakwarasan itu. Perkara tulisan ini berpengaruh atau tidak, itu urusan lain. Biarkan takdir (tulisan itu sendiri) yang akan menjawab.


**********

Saya akan memulainya dengan sebuah cerita.
 

Dulu, ketika masih kelas satu SD, nilai rapor saya sangat buruk. Nyaris tidak ada angka 7. Bahkan, angka lima -angka paling aib waktu itu- berjejer rapi untuk dua mata pelajaran penting : Matematika dan Bahasa Indonesia. Tentu, kenyataan itu kemudian mengundang murka orang tua dan kakak-kakak saya.

 
 
Sejak saat itulah, saya mulai digembleng oleh orang tua saya agar menjadi anak yang pintar dan menyabet peringkat di kelas. Sejak saat itu pula, di hari-hari sekolah saya tak ada lain selain belajar. Waktu itu, yang tertanam dalam benak saya bahwa bermain, jajan, makan di sekolah, adalah hal-hal yang akan membuat saya bodoh dan tidak bisa mendapatkan peringkat di kelas.

 
 
Hasilnya, memang tidak mengecewakan, dari kelas dua SD hingga kelas tiga SMP saya selalu membawa pulang tulisan “peringkat I, II, III dari ...siswa” di buku rapor saya. Tentu, orangtua saya sangat senang karenanya, teman-teman saya pun demikian, hingga kemudian mereka menjuluki saya sebagai anak yang pintar. Namun tak lama setelah itu, tepatnya ketika saya mulai duduk di bangku SMA, sesuatu hal buruk menimpa saya. Tepat ketika seorang guru bertanya apa cita-cita saya ke depan, saya bungkam. Tak tahu harus menjawab apa, karena memang waktu itu saya tidak punya cita-cita, apa pun!  
 
 
 
Oh iya, ada hal lain yang juga perlu Sampean tahu. Tuntutan untuk menjadi anak yang pintar dan memperoleh peringkat di kelas dari orangtua berikut saudara-saudara saya, sebenarnya sungguh membuat saya tertekan. Ketika ujian catur wulan/semester tiba, saya seringkali merasa stres dan takut mendapatkan nilai jelek. Tak jarang, setelah ujian selesai saya pun jatuh sakit untuk beberapa hari lamanya, sampai dibawa ke dokter segala. Selain itu, saya juga merasa kehilangan momen untuk bermain, bernakal, berusil, dan berakrab-akrab ria dengan teman-teman saya. Saya kurang pandai bergaul, pemalu, dan cenderung suka menyendiri.
 
 
Hingga pada akhirnya, ketika saya duduk di kelas XII, saya melepas atribut “anak pintar” itu dari pundak saya. Saya mulai membenci mata pelajaran Matematika dan IPA ; mata pelajaran yang sebelumnya sangat saya tekuni. Sebagai pelampiasan, saya mulai belajar mengarang sendiri, berburu koran, cerita pendek, puisi, dan berbagai pengetahuan umum lainnya, yang penting bukan matematika. Begitu pikir saya waktu itu. Untuk melampiaskan rasa dendam yang terpendam sejak lama, saya juga beralih pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, PKN dan Sejarah.


 
 
(Meskipun begitu, hingga saat itu saya tetap belum tahu, atau lebih tepatnya belum menyadari, apa sebenarnya kesukaan saya, apa yang dapat membuat saya senang dan gembira. Yang saya lakukan di atas baru sebatas pelampiasan).


 
 
*********

 
 
Setelah lulus sekolah, saya merasa sangat beruntung karena diberi kesempatan oleh Tuhan untuk kuliah. Di Jogja. Bertemu dengan mahasiswa/i dari berbagai penjuru nusantara. Namun celakanya, tujuan saya kuliah tak lebih baik dari cita-cita seorang kuli bangunan : ingin menjadi orang yang kaya raya di kemudian hari, kelak punya jabatan dan kedudukan, dan dihormati banyak orang. Mengingat itu kadang saya merasa pekok sepekok-pekoknya.

 
 
Lucunya lagi, ternyata saya tak sendiri. Ketika saya sharing-sharing dengan teman-teman mahasiswa/i yang lain, tujuan mereka ternyata sama. ASU! 
 
Mirisnya lagi, ternyata banyak di antara mereka yang sebenarnya salah jurusan. Kebanyakan kasusnya begini : pada mulanya mereka mendaftarkan diri di kampus negara, tapi tidak diterima. Setelah itu,  mereka mendaftarkan diri di kampus lain (swasta), tapi celakanya, tidak di jurusan yang sama sebagaimana yang diinginkannya ketika mendaftar di kampus negara. Contoh, si A berminat mengambil jurusan Psikologi di UGM, karena tidak diterima, kemudian si A mendaftar di kampus lain, diterima di jurusan Akuntansi. Sehingga dengan sangat terpaksa, ia kuliah di jurusan akuntansi; yang sama sekali tak digemarinya.

 
 
Jadi, saya mohon, kalian jangan heran kalau bertemu dengan banyak mahasiswa yang salah jurusan, banyak lulusan sarjana nganggur karena susah mendapatkan kerja (istilah kerennya menjadi pengguran terdidik), banyak lulusan perguruan tinggi yang mendurhakai jurusannya (bekerja tidak sesuai spesialisasi pendidikan atau tidak mau mengamalkan ilmunya). Dan menemukan berbagai fenomena lucu lainnya. Soal kacaunya sistem pendidikan kita.
 
 
Apakah mereka salah? Tentu saja tidak, saya tidak sebegitu beraninya menyalahkan mereka. Karena pada dasarnya mereka semua adalah korban. Ya, korban dari sistem pendidikan kita.

 
 
Baiklah, tulisan ini pada akhirnya akan menjurus pada kenyataan betapa buruknya sistem pendidikan di negara kita. Tapi, ah, rasa-rasanya  bukan buruk lagi, tapi bobrok sebobrok-bobroknya.


********

 
 
Mari kita telisik dari awal.  Ketika masa kanak-kanak, kita tentu sering ditanya cita-cita, iya bukan? Saat menentukan cita-cita itulah, antara anak dan orangtua kadang-kadang berseberangan. Orangtua pengin anaknya menjadi karyawan bank, namun si anak sebenarnya malah pengen jadi pengusaha. Si anak pengen jadi musisi, orangtua pengen anaknya jadi dokter. Biasanya kalau sudah seperti itu -jika orangtuanya tak mau ngalah- anaklah yang nantinya akan menjadi korban. Dari sini, kita jadi tahu, betapa banyak orangtua yang telah mendzalimi anaknya. Kenapa anak tidak diberi kebebasan untuk memilih apa yang disukainya. Oke, orangtua berhak untuk mengarahkan, tapi ya jangan saklek dan membabi buta gitu dong, tanpa melihat apa sebenarnya bakat dan kesukaan si anak. Bukankah “paksaan” yang disabdakan orangtua itu tujuannya adalah untuk kebahagiaan anak? Nah, kalau begitu, biarkan anak melakukan apa yang disukainya, menentukan cita-citanya sendiri, itu akan lebih membahagiakan anak sejak dini bukan?

 
 
Selanjutnya, kita melangkah ke sekolah dini dan sekolah dasar. Di sekolah dini (TK), oke saya sangat setuju dengan konsepnya : bermain sambil belajar, belajar sambil bermain. Tetapi ketika di SD, si anak kembali rusak, atau dengan kata yang lebih jelas, kembali rusak kebahagiaannya, meski kadarnya belum terlalu parah. Rasanya hingga sekarang, SD merupakan cikal bakal  rusaknya sistem pendidikan formal di negara kita, dan berperan penting dalam merebut kebahagiaan anak setelah 1-2 tahun mereka merasakan bahagia (di PAUD/TK). Lihatlah, berapa banyak guru SD yang peduli dengan masa depan (meliputi cita-cita, kesukaan, bakat dan kemampuan) anak? Sekolah SD, hingga kini hanya bertugas mengantarkan anak-anak untuk naik ke jenjang yang lebih tinggi, yakni SMP.

 
 
Di SMP, kebahagiaan anak-anak kembali terkikis. Lihatlah, berapa banyak guru SMP yang peduli dengan –sekali lagi- masa depan (meliputi cita-cita, kesukaan, bakat dan kemampuan) siswanya?
 
Mereka hanya menjejali mata pelajaran-mata pelajaran umum yang sangat jarang disukai siswa. Ditambah lagi, cara mengajar guru-guru di sekolah tersebut sangatlah membosankan, bahkan membodohkan. Kegiatan ekstrakulikuler? Cukup ramai sih, tapi ya itu, berapa banyak guru yang peduli dengan kegiatan ekstrakulikuler siswa? Berapa banyak? Bagaimana dengan kepala sekolahnya, peduli nggak? Bagaimana dengan pemerintah daerahnya, memfasiitasi nggak? Hingga akhirnya, kegiatan ekstrakulikuler tak lebih sebagai tempat untuk melampiaskan rasa bosan, bukan tempat untuk mengasah bakat, kemampuan, dan memahat cita-cita. Dan, SMP tak lebih hanya sebagai pengantar untuk siswa naik ke jenjang pendidikan selanjutnya.

 
 
Di SMA/sederajat, kita cukup bergembira karena sudah ada spesialisasi jurusan. Namun di sini, kita bisa lihat, bagaimana proses penjurusan itu berlangsung, sudahkan sesuai dengan keinginan siswa? Orangtua, guru, dan sekolah seringkali terlampau otoriter untuk menentukan jurusan yang dipilih anak. Mari kita lihat, berapa banyak siswa yang meskipun bertahun-tahun belajar bahasa Inggris, tapi untuk menanyakan mau ke mana saja tidak bisa? Berapa banyak siswa yang bercita-cita jadi hakim, malah kesasar di jurusan IPA. Kita lihat berapa banyak siswa yang puyeng duluan melihat soal logaritma? Mari kita lihat, berapa siswa yang merasa sedih kalau jam pelajaran berakhir? Mari kita lihat, berapa siswa yang merasa senang ketika jam pelajaran dimulai? Agaknya, bagi anak-anak SMA/sederajat, tak ada kegiatan yang lebih menyenangkan baginya selain olahraga, pramuka, istirahat, dan pulang. Di kelas? Nol !

 
 
Okelah, kita anggap mereka sudah lulus, kemudian mendaftar ke perguruan tinggi. Mari kita buka mata, betapa egoisnya perguruan tinggi di negara kita, nggak PTN nggak PTS, semua sama saja. Dalam menerima mahasiswa, berapa banyak yang didasarkan pada analisis kesukaan, kemampuan, dan cita-cita calon mahasiswa, kecuali bagi calon mahasiswa yang memang telah pas menentukan jurusannya.

 
 
Perguruan tinggi, sekali lagi, dengan begitu arogannya, menerima mahasiswa/i baru dan beranggapan akan mampu menjadi penentu masa depan mahasiswanya. Mereka asal terima mahasiswa. Asal cocok uang sumbangannya. Asal mau masuk di kampus tersebut.

 
 
Loh, kalau tidak begitu bagaimana dong seharunya? Strateginya nggak sulit kok sebenarnya, mbok ya penerimaan mahasiswa baru itu didasarkan pada tes psikologi calon mahasiswa, apa kesukaannya, apa bakat dan kemampuannya. Bukan yang lain. Jadi, kalau dirasa nggak cocok dengan jurusan yang akan dipilih, calon mahasiswa masih bisa diarahkan. Karena faktanya, banyak sekali calon mahasiswa yang tidak tahu siapa diri mereka sebenarnya. Karena faktanya, banyak sekali calon mahasiswa yang tidak menyukai apa yang akan diambilnya. Akibatnya, sebagaimana saya sebutkan di muka, banyak juga mahasiswa yang tidak bisa fokus dengan kuliahnya. Karena apa? Ya karena itu tadi, kuliah bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Kuliah, adalah aktivitas membosankan yang terus dipaksakan.

 
 
Oke, kita anggap saja para mahasiswa/i malang itu telah lulus ujian. Kini mereka telah diwisuda dan sedang bersiap mencari kerja. Tapi pertanyaannya, apa yang telah mereka berhasil peroleh dari perguruan tinggi? Oke, kalian benar. IJAZAH. Dengan bermodal ijazah, para lulusan perguruan tinggi melamar kerja ke perusahaan-perusahaan. Tapi, mari kita lihat, perusahaan adalah tempat-tempat orang profesional. The right man in the right place. Itulah prinsipnya. Lah ini kok ujug-ujug (tiba-tiba) datang sarjana muda hanya dengan bermodal ijazah. PD kali kau, Lai! Sang Manajer HRD berkicau.
 
 
Karena putus asa lamaran-lamarannya ditolak semua, akhirnya mereka (Sang Sarjana Pembawa Ijazah) mulai ngawur. Nyaleg, ngebank, ngulang, dan ngentrepreneur –yang terakhir masih mending. Ya, walaupun ndak ngerti apa-apa ya ndak apa-apa, ntar kan kalau sudah terlatih bisa sendiri. Iya, bisa memang. Kayak kebo, sapi, mangki, mereka juga terlatih 'kan? Sampai di sini kita akan menemukan dengan banyak sekali orang mengurusi hal-hal yang bukan bidangnya, tak disukainya.


 
Ahli transportasi kok mengurus masalah ekonomi. Sarjana Hukum kok disuruh menjadi guru seni dan budaya. Kan keparat nian.

 
Dan tiba-tiba jari-jari saya terhenti.  Pikiran saya tertuju pada sebuah petuah dari seorang Nabi Agung Muhammad SAW : "Ketika suatu urusan tidak diurus oleh yang bukan ahlinya, maka tunggu saja masa kehancurannya."
 
Jadi, buat apa kamu sekolah dan kuliah?


Please write your comments