Berbicara Indonesia maka harus pula berbicara tentang keberagaman, karena tanpa keberagaman seolah tak akan ada Indonesia. Sebaliknya, tak ada keberagaman yang dijunjung selain di Indonesia.
Kondisi ini secara sosiologis telah memengaruhi kepribadian masyarakat yang secara perlahan terintegrasi dalam pola budaya sosial, yakni sifat pluralistis dalam kehidupan sehari-hari.
Keberagaman di Indonesia mencakup isu persatuan dan kesatuan bangsa, oleh sebab itu untuk mencapai kehidupan ideal sebagai bangsa dengan tingkat keberagaman kebudayaan suku bangsa dan agama yang tinggi, harus mampu berjalan beriringan dengan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, mewarnai perilaku dan aktivitas sehari-hari.
Pola kehidupan demikian itu saling melengkapi, saling mengisi, tidak terpecah-pecah, saling menyesuaikan (fleksibel) dalam kehidupan sosial dan memperkuat kesatuan bangsa Indonesia.
Seiring dinamika yang terus berkembang, maka sudah bukan saatnya lagi berbicara keberagaman sebagai suatu ancaman konflik karena selama satu abad lebih, yakni sejak tahun 1908 dan Sumpah Pemuda tahun 1928 bangsa Indonesia terbukti mampu bersatu dalam bingkai keberagaman.
Komitmen kebangsaan dan semangat bersatu itulah yang pada akhirnya menjadikan bangsa ini meraih kemerdekaan sebagai bangsa yang berdaulat.
Saat ini keberagaman di Indonesia seyogianya mulai dipandang sebagai suatu potensi besar bagi pembangunan nasional. Sebagai prasyarat, diperlukan pemahaman pemerintah serta segenap masyarakat tentang makna keberagaman secara holistik dan nilai-nilai keindonesiaan.
Komitmen kebangsaan dan semangat bersatu itulah yang pada akhirnya menjadikan bangsa ini meraih kemerdekaan sebagai bangsa yang berdaulat.
Saat ini keberagaman di Indonesia seyogianya mulai dipandang sebagai suatu potensi besar bagi pembangunan nasional. Sebagai prasyarat, diperlukan pemahaman pemerintah serta segenap masyarakat tentang makna keberagaman secara holistik dan nilai-nilai keindonesiaan.
Pemahaman keberagaman dan nilai-nilai keindonesiaan tersebut hendaknya mampu merangsang seluruh elemen bangsa agar memberikan ruang kepada masing-masing etnis, pemeluk agama, dan kebudayaan agar eksistensi masing-masing kelompok dapat terjaga dengan baik.
Pada saat yang sama, kelompok masyarakat tersebut harus memahami diri dan konsisten terhadap status kewarganegaraan dan terintegrasi dalam kesatuan bangsa.
Dengan adanya harmonisasi ini, kesuburan, keberlangsungan, dan berkembangnya budaya lokal dan stabilitas negara dapat terjaga. Penekananannya, terletak pada pemahaman ciri khas nasional dan kearifan budaya daerah dalam kehidupan yang majemuk guna menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan keberlanjutan pembangunan nasional.
Untuk menjaga konsistensi semangat keberagaman secara ideal, kita masih dihadapkan pada pertanyaan besar yang belum terjawab secara gamblang, terutama instrumen yang hendak digunakan beserta rumusannya?
Menengok pada sejarah, awal munculnya kebangsaan Indonesia dimulai sejak adanya kesatuan proyek kesadaran untuk membuat elemen-elemen di Indonesia mampu keluar dari ikatan-ikatan culture nationalism ke political nationalism, sehingga dapat diperoleh gambaran bahwa ciri kebangsaan Indonesia bukan atas culture nationalism melainkan political nationalism. Atas pilihan tersebut pada akhirnya membawa Indonesia pada satu sistem kebangsaan paling modern menjauhi zamannya.
Deskripsi di atas diperjelas oleh peristiwa rapat Besar Pemuda Indonesia II di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1928 yang kemudian secara sadar para perwakilan pemuda ini mengaku bertanah air satu yakni tanah air Indonesia.
Dengan demikian identitas kebangsaan yang telah berhasil mempersatukan keberagaman di Indonesia bukanlah atas suku-suku, agama, melainkan identitas teritorial.
Menengok pada sejarah, awal munculnya kebangsaan Indonesia dimulai sejak adanya kesatuan proyek kesadaran untuk membuat elemen-elemen di Indonesia mampu keluar dari ikatan-ikatan culture nationalism ke political nationalism, sehingga dapat diperoleh gambaran bahwa ciri kebangsaan Indonesia bukan atas culture nationalism melainkan political nationalism. Atas pilihan tersebut pada akhirnya membawa Indonesia pada satu sistem kebangsaan paling modern menjauhi zamannya.
Deskripsi di atas diperjelas oleh peristiwa rapat Besar Pemuda Indonesia II di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1928 yang kemudian secara sadar para perwakilan pemuda ini mengaku bertanah air satu yakni tanah air Indonesia.
Dengan demikian identitas kebangsaan yang telah berhasil mempersatukan keberagaman di Indonesia bukanlah atas suku-suku, agama, melainkan identitas teritorial.
Sumpah Pemuda adalah pengejawantahan atas kebutuhan entitas kolektif yang harus diangkat dan menjadi konsensus nasional yang semakin mendesak pada waktu itu. Bersatunya keberagaman di Indonesia setidaknya didasari oleh 3 instrumen fundamental yakni rasa kebangsaan, tanah air, dan bahasa, sehingga di era sekarang ini Indonesia masih memerlukan instrumen yang berfungsi sebagai pondasi penopang kebangsaan dan pembangunan Indonesia ke depan.
Sebagai bangsa yang besar tentu tidak menginginkan adanya stagnasi sejarah dan hilangnya komitmen kebangsaan, maka kontinuitas entitas nasional merupakan ide relevan yang harus diusung kembali agar kemajemukan di Indonesia menjadi potensi besar pembangunan nasional, bukan hanya sebuah retorika belaka, gerak pembangunan berwawasan pluralisme sebaiknya turut mengintervensi rumusan visi pembangunan sebagai kesatuan cita-cita rakyat Indonesia.
Sebagai interpretasi, sampai saat ini penulis melihat masih belum optimalnya fungsi dan peran alat utama (main instrument) pemersatu bangsa yang sekaligus mampu mewadahi keberagaman di Indonesia pasca kemerdekaan, sebagaimana Pancasila dan Bhienika Tunggal Ika.
Meski semangat kehidupan pluralisme (baca: keberagaman) terus digaungkan, namun ternyata justru semakin mendekatkan masyarakat dengan berbagai konflik dan berbagai macam gesekan, karena bukan di sana letak permasalahannya.
Selama ini pluralisme masih dipandang melalui paradigma primordialistik, sehingga mengundang gerak radikal baik dari intern maupun ekstern bangsa. Dari sinilah perlunya usaha merumuskan strategi yang mampu membimbing proses modernisasi dan pembangunan berbasis kearifan lokal sehingga dapat serta merta menjaga dan memperkuat kepribadian nasional, kontinuitas kebudayaan, dan kemampuan berdikari, sekaligus memperkuat persatuan nasional.
Selama proses kemerdekaan, pasca kemerdekaan dan orde baru, instrumen paling vital sebagai pemersatu bangsa adalah Bhienika Tunggal Ika dan Sumpah Pemuda tahun 1928 dan NKRI. Pasca kemerdekaan, Pancasila juga menjadi acuan nasional sebagai pemersatu keberagamanan di Indonesia di samping fungsinya sebagai dasar negara dan satu-satunya ideologi nasional.
Persatuan di sini dimaksudkan untuk membangun bangsa yang semakin bermartabat di mata internasional, namun sayangnya sejak era reformasi, eksistensi Pancasila seolah diabaikan karena implementasi nilai-nilai Pancasila pada masa Orde baru yang sangat politis telah menyisakan trauma terhadap Pancasila.
Dalam upaya merevitalisasi konsep persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam bingkai pembangunan yang belum selesai, maka perlulah merevitalisasi entitas kolektif sebagai main instrument pemersatu keberagaman agar dapat diolah sebagai potensi pembangunan Indonesia yang berkelanjutan dengan tanpa meninggalkan entitas kolektif yang telah ada, karena selama ini yang terjadi bukan pada relevan tidaknya instrumen yang kita pakai, melainkan terletak pada optimalisasi serta pemahaman bersama yang masih kurang terhadap Pancasila.
Dari uraian latar belakang di atas maka permasalahan yang dapat diidentifikasi adalah belum optimalnya fungsi dan peran entitas kolektif yang dapat mewadahi keberagaman di Indonesia yakni Pancasila, sehingga seringkali pluralisme justru dianggap sebagai faktor penghambat dalam proses pembangunan karena memicu konflik baik vertikal maupun horizontal.
Pancasila dan Kebudayaan Daerah
Sebagai dasar negara, Pancasila digali di bumi nusantara berdasarkan kebudayaan-kebudayaan dan nilai-nilai kearifan lokal di Indonesia, sehingga Pancasila dapat dikatakan sebagai manifestasi keberagaman bangsa baik agama, suku, maupun daerah.
Menilik asal usul Pancasila yang digali dari kebudayaan daerah, maka perlu adanya pembauran kembali antara Pancasila dan Kebudayaan daerah. Melalui pembauran ini akan timbul semangat persatuan antara Pancasila dan kebudayaan daerah serta mempererat hubungan sosial budaya antara negara dan daerah itu sendiri.
Dengan pembauran itu pula budaya daerah di Indonesia akan semakin memperkokoh eksistensinya dan akan menjadi identitas nasional tanpa adanya tindakan dominasi kebudayaan tertentu sehingga kelima sila yang dahulu diangkat dari kebudayaan-kebudayaan di Indonesia kembali pulang kepada sumber-sumber asalnya. Dalam istilah Jawa, Pancasila akan memenuhi darma “Sangkan Paraning Dumadi” yang mengandung arti kesempurnaan hidup karena meleburnya adat dengan tujuan manusia.
Berbagai pendapat pengartian Pancasila sangat beragam. Menurut Ir.Soekarno, Pancasila adalah jiwa bangsa Indonesia, turun temurun sekian abad lamanya. Sedangkan menurut Prof. Mr. Notonegoro, Pancasila adalah dasar filsafat negara Indonesia. Lebih terperinci Panitia Lima juga memberikan pengertian tentang Pancasila, yakni sebagai lima asas yang merupakan ideologi negara, maka kelima sila itu merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Penulis memaknai Pancasila sebagai kesatuan sistem yang mewadahi seluruh komponen-komponen bangsa, dasar pemikiran filosofis pemersatu, serta kepribadian bangsa Indonesia.
Bagaimanapun cara memahami Pancasila, pada dasarnya tidak boleh terlepas dari tiga hal utama, yakni ketuhanan, kemanusiaan, dan demokrasi. Batasan ini harus mampu dipahami oleh seluruh rakyat Indonesia karena ketiga merupakan pemikiran fundamental kehidupan berbangsa dan bernegara bagi Indonesia. Pada sidang BPUPKI Bung Karno pernah mengemukakan bahwa kelima sila yang telah diusulkan sebelumnya sebenarnya masih dapat diperas menjadi Trisila, yaitu sosio nasionalisme, sosio demokrasi, dan ketuhanan, namun kesepakatan peserta sidang pada waktu itu lebih pada Pancasila karena berbagai pertimbangan akan urgensi dan relevansinya dimasa mendatang.
Jika dirunut asal-usul Pancasila yang digali dari berbagai kebudayaan-kebudayaan masa lampau, maka dapat dikonsepsikan bahwa sejatinya Pancasila merupakan rumusan puncak atas ribuan kebudayaan dan keberagaman yang telah ada di Indonesia sejak zaman kerajaan-kerajaan di Indonesia, seperti Kutai Kartanegara, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan lainnya. Baik pada persiapan serta perumusannya Pancasila merupakan hasil penggalian dari kebudayaan Indonesia.
Dari sini kemudian timbul pemikiran bahwa Pancasila dapat dijadikan sebagai kebudayaan nasional bangsa Indonesia. Agar pemikiran tersebut memiliki dasar-dasar relevan serta sarat dengan kajian ilmiah maka perlulah dipahami terlebih dahulu makna kebudayaan nasional itu sendiri.
Manifesto Kebudayaan Nasional
Dalam pengertian klasik, kebudayaan nasional digambarkan sebagai puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Setelah itu kebudayaan nasional Indonesia dipandang perlu diisi oleh nilai-nilai dan norma-norma nasional sebagai pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selain itu termasuk juga nilai-nilai yang menjaga kedaulatan negara dan integritas teritorial yang menyiratkan kecintaan dan kebanggaan terhadap tanah air, serta kelestariannya, nilai-nilai tentang kebersamaan, saling menghormati, saling mencintai dan saling menolong antar sesama warga negara, untuk bersama-sama menjaga kedaulatan dan martabat bangsa.
Gagasan tentang perlunya kebudayaan nasional Indonesia yang menyangkut kesadaran dan identitas sebagai satu bangsa secara tersirat telah ada sebelum bangsa ini merdeka. Hampir dua dekade sesudah Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia telah menanamkan kesadaran tentang identitas Indonesia dalam Manifesto Politiknya (1925), yang dikemukakan dalam tiga hakekat, yaitu: (1) kedaulatan rakyat, (2) kemandirian dan (3) persatuan Indonesia. Gagasan ini kemudian segera direspons dengan semangat tinggi oleh Sumpah Pemuda pada tahun 1928.
Menurut Koentjaraningrat, (1994) masalah kebudayaan nasional menyangkut pula masalah kepribadian nasional dan masalah kepribadian nasional itu tidak hanya langsung mengenai identitas kita sebagai bangsa tetapi juga menyangkut soal tujuan kita bersama untuk dengan susah payah mengeluarkan tenaga banyak untuk membangun dan menyangkut soal motivasi kita untuk membangun.
Syarat mutlak agar suatu kebudayaan nasional didukung oleh sebagian besar warga negara Indonesia adalah sifatnya harus khas dan harus dapat dibanggakan oleh warga negara yang mendukungnya. Hal ini perlu karena kebudayaan nasional harus dapat memberikan identitas kepada warga negaranya tadi. Kebudayaan harus dapat memberi identitas, dibanggakan, sebagai konsekuensinya aspek kebudayaan nasional haruslah bermutu tinggi. Wujud kebudayaan yang bermutu tinggi itu dapat difungsikan untuk :
a. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai norma, peraturan dan sebagainya;
b. Sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat;
c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Dari penjabaran diatas, maka perumusan strategi untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan dalam kehidupan majemuk di Indonesia dihadapkan pada analisa instrumen apakah yang selama ini menjadi identitas nasional, mampu diterima oleh seluruh elemen bangsa, memuat tujuan masa depan, dibanggakan oleh masyarakat, mampu menjadi landasan ide, gagasan, nilai-nilai, norma, peraturan dan pola perilaku kehidupan berbangsa dan bernegara?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka Pancasila secara obyektif dapat dikonsepsikan sebagai budaya dan pembudayaan nilai bagi bangsa Indonesia. Kehidupan harmonis masyarakat plural pada hakekatnya merupakan pengamalan kebudayaan masyarakat itu sendiri, sedang kebudayaan rakyat Indonesia mempunyai akar-akarnya didalam adat-istiadat suku, maka dibawah naungan Pancasila adat istiadat suku-suku hendaknya diberi kesempatan untuk tetap berkembang.
Sampai saat ini Pancasila masih menjadi kekaguman bangsa-bangsa di dunia karena terbukti mampu mempersatukan keberagaman di Indonesia. Konflik sosial yang masih sering mewarnai kehidupan bangsa Indonesia, khususnya terkait dengan pembangunan, karena kemajemukan suku, kebudayaan, dan agama tidak disertakan dalam rencana pembangunan, sehingga antara pembangunan dan kondisi sosial memiliki rentang yang panjang, padahal seharusnya justru berdekatan.
Kita dihadapkan pada satu kenyataan bahwa keberagaman di Indonesia perlu diwadahi oleh suatu sistem yang utuh sebagai suatu strategi khusus untuk menjaga eksistensi bhiennika tunggal ika di Indonesia, agar persatuan dan kesatuan dapat terus dibina di Nusantara. Kita juga tertantang oleh derasnya pengaruh globalisasi, jika terus dibiarkan tanpa adanya filter maka bukan tak mungkin budaya-budaya lokal akan hilang tergerus arus global.
Kebudayaan nasional memiliki peran strategis untuk mengatasi permasalahan tersebut, di satu sisi akan mewadahi seluruh kebudayaan lokal dan disisi lain akan menjadi identitas nasional yang akan menjadi penyaring segala bentuk pengaruh buruk budaya global. Dengan adanya kebudayaan nasional dalam fungsi utama seperti yang telah disebutkan diatas, maka pembangunan di Indonesia akan terkonsentrasi pada visi ke depan serta tidak lagi menyibukkan diri dengan ancaman konflik antar etnis, agama, ras dan lain sebagainya, melainkan pembangunan di Indonesia dapat serta merta mendapat dukungan dari seluruh elemen bangsa meskipun hidup dalam kebinekaan.
Pancasila sebagai Instrumen Pembangunan
Mengingat bahwa keberagaman agama, ras, daerah menyangkut isu persatuan dan kesatuan, maka perlu perhatian serius untuk meminimalkan resiko terhambatnya pembangunan di Indonesia. Van Peursen (1998) memandang perlunya usaha merumuskan strategi kebudayaan yang mampu membimbing proses modernisasi dan pembangunan sehingga menjaga dan memperkuat kepribadian nasional, kontinuitas kebudayaan, dan kemampuan berdikari, sekaligus memperkuat persatuan nasional. Teori Van Peursen melihat kebudayaan sebagai siasat menusia menghadapi hari depan. Dia melihat kebudayaan sebagai proses pelajaran yang terus menerus sifatnya.
Pembangunan di Indonesia dapat berjalan seiring dengan terjaganya semangat kehidupan majemuk sebagai sebuah kekuatan. Untuk memudahkan pemahaman pembaca, Penulis memberikan konsep kerangka berfikir melalui bagan berikut ini:
Sebaiknya kita tak perlu ragu untuk mengoptimalkan Pancasila sebagai kebudayaan nasional dalam rangka mempercepat pembangunan. Pandangan M. Sastrapratedja tentang hal itu dapat kita jadikan referensi ilmiah, diungkapkan bahwa untuk menciptakan budaya bangsa yang berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila diperlukan suatu rekayasa kebudayaan atau suatu strategi kebudayaan. Keberanian menciptakan strategi kebudayaan ini selaras dengan semakin mendesaknya pembangunan di Indonesia, yaitu menilai pembangunan sebagai usaha perwujudan dari nilai-nilai Pancasila. Pembangunan berwawasan kebinekaan tidak hanya merupakan pembangunan sektor-sektor budaya tertentu, tetapi pengembangan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penutup
Keanekaragaman kearifan lokal, bahasa, seni, warisan budaya, religi, falsafah hidup, globalisasi, kemajemukan dalam masyarakat, institusi sosial, dan kemajemukan pola adaptasi adalah sebuah tantangan sekaligus potensi besar bagi bangsa Indonesia dalam kerangka pembangunan. Pengintegrasian keanekaragaman dengan Pancasila dalam bentuk kebudayaan nasional merupakan modal kuat yang menjadi pendukung pembangunan baik dalam bidang ekonomi, sosial, pendidikan dan politik.
Pembangunan model inilah yang pada akhirnya disebut pembangunan berwawasan kebhienikaan sebagai hasil dari harmonisme kehidupan sosial bangsa Indonesia yang mejemuk.
Dalam menghadapi dunia yang semakin bebas ini, maka tantangan budaya di masa yang akan datang adalah bagaimana menjadikan manusia dengan keanekaragaman ciri khasnya bisa menjadi warga suatu bangsa dan warga dunia yang baik. Kebudayaan nasional merupakan kumpulan dari puncak-puncak budaya dari suku-suku bangsa. Pancasila sebagai dasar negara, merupakan sebuah cita-cita kebangsaan berarti akan menemukan titik masa depan (Omega), sampai pada saatnya akan berada kembali di titik Masa lalu (Alpha), dan Pancasila akan memenuhi darma “Sangkan Paraning Dumadi” yang mengandung arti kesempurnaan hidup ditandai dengan meleburnya adat dengan tujuan manusia.
REFERENSI
Panuju, Rendi. Drs. Ilmu Budaya Dasar dan Kebudayaan, 1996 , Gramedia : Jakarta,
Peursen, Van. Kebudayaan, 1998, Kanisius : Yogyakarta.
Prasetya, Joko Tri. dkk, Ilmu Budaya Dasar, 1991, Rineka Cipta, Jakarta
Bakry, Noor Ms, Orientasi Filsafat Pancasila, 1994, Liberty : Yogyakarta.
Suwarno, SH. Pancasila budaya bangsa Indonesia, 1993, Kanisius, Yogyakarta.
Kaelan MS dan Ahmad Zubaidi, Pendidikan Kewarganegaraan, 2007, Paradigma : Yogyakarta.
Gani, Roslan Abdul, Proses Pengembangan Pancasila, 1993, Yayasan Widay Patria : Yogyakarta