Ilustrasi/Sumber gambar |
Misal
Misalkan Aku datang ke rumahmu.
dan kau sedang khusyuk berdoa,
akankah kau keluar dari doamu
dan membukakan pintu untukKu?
(Jokpin, 2016)
Pada suatu Sabtu pagi yang lucu, Kau pernah berfirman melalui tangan seorang penyair, dengan sebuah surat bernama Misal.
Aku percaya, Kau memang bisa sekali-kali bercanda dan belaku serius dalam satu waktu. Dan kurasa, Kau sudah sangat tepat memilih penyair bertubuh kurus itu. Ia bisa serius dan bercanda dalam satu syair.
Kau memang keren sekali.
Maka pagi ini pula, melalui tanganku Kau sekaligus memberi kemungkinan-kemungkinan jawaban atas firman-Mu itu. Meski aku sebenarnya cukup ragu, adakah pilihan-Mu sudah tepat karena kemungkinan jawaban itu akhirnya lahir dari tanganku?
Astaga, maaf. Aku terlalu lancang. Tak selayaknya aku meragukan-Mu barang sedikit pun. Sekali lagi maaf.
Tapi kuakui, sejujurnya aku memang orang yang senang menjadi orang lain dan sangat menggemari segal hal yang berbau misal dan mungkin. Sebab Kau selalu berada di antara keduanya. Jadi,......
Misal aku adalah orang yang ngeyel tapi jujur
Kau pasti tahu, aku tak pernah khusyuk dalam berdoa. Ah, aku lupa, ini kan misal. Tapi, berhubung aku adalah orang yang ngeyel, apalagi untuk sebuah kejujuran, jelas aku akan tetap mengatakannya pada-Mu.
Aku sepenuhnya sadar, aku ini tak pernah khusyuk dalam berdoa. Kekhusyukanku dalam berdoa tak sebanding dengan ketika aku bermaksiat. Maka tentu saja tatkala aku mendengar ketukan pintu itu, aku akan bergegas membukakannya. Sebab aku tak ingin Tamuku meninggalkan rumahku tersebab sudah tiga kali mengetuk pintu dan tak kunjung dibukakan pintu.
Bukankah memuliakan Tamu itu adalah sebuah kewajiban? Dan aku selalu percaya, bahwa setiap Tamu pasti akan membawa berkatnya masing-masing untuk tuan rumahnya.
Bukankah memuliakan Tamu itu adalah sebuah kewajiban? Dan aku selalu percaya, bahwa setiap Tamu pasti akan membawa berkatnya masing-masing untuk tuan rumahnya.
Misal aku adalah orang miskin yang sedang berhemat
Tapi mungkin akan lain cerita jika aku tahu yang mengetuk pintu itu adalah sesosok manusia peminta-minta yang miskin lagi lemah. Hidupku selama ini saja sudah cukup susah, dan itu membuatku sedikit harus berhemat.
Salah satunya caranya tentu dengan mengeliminasi pengeluaran-pengeluaran yang tak penting, termasuk memberi recehan kepadanya. Yang padahal ia adalah diri-Mu sendiri yang sedang iseng menyamar sedang aku sama sekali tak tahu.
Salah satunya caranya tentu dengan mengeliminasi pengeluaran-pengeluaran yang tak penting, termasuk memberi recehan kepadanya. Yang padahal ia adalah diri-Mu sendiri yang sedang iseng menyamar sedang aku sama sekali tak tahu.
Misal aku adalah seorang lajang dengan kesepian yang panjang
Namun situasi lain pasti akan mendorongku untuk bertindak lain pula. Aku jelas akan bergegas membukakan pintu jika Kaudatang merupa gadis yang selama ini kudamba.
Kesepianku sudah terlampau panjang dan menyedihkan. Seperti Adam, aku juga butuh teman untuk berbagi rasa. Tapi tidak untuk terlalu lama berdoa menyesali dosa dan bertobat atas sebuah kesalahan saja--sebagai laku prihatin untuk dapat berjumpa lagi dengan Hawa.
Kesepianku sudah terlampau panjang dan menyedihkan. Seperti Adam, aku juga butuh teman untuk berbagi rasa. Tapi tidak untuk terlalu lama berdoa menyesali dosa dan bertobat atas sebuah kesalahan saja--sebagai laku prihatin untuk dapat berjumpa lagi dengan Hawa.
Aku hidup di zaman yang serba mudah dan cepat, mana bisa aku bersusah payah untuk waktu yang lama seperti itu?
Misal aku adalah seorang penganggur di ambang rasa bosan dan putus asa
Atau jika Kau datang menjadi sebuah kabar, untuk-Mu pintu itu pasti akan segera kusambar dan kubuka lebar-lebar. Tentu kabar gembira, bukan kabar buruk yang hanya dapat menyisakan luka dan kecewa.
Kabar itu misalnya, aku diterima bekerja di sebuah perusahaan besar yang selama ini memang kudamba-damba. Karena di sela-sela kesepianku yang memanjang itu, adakalanya aku berpikir, barangkali status ketidakbekerjaanku adalah satu penyebabnya.
Kabar itu misalnya, aku diterima bekerja di sebuah perusahaan besar yang selama ini memang kudamba-damba. Karena di sela-sela kesepianku yang memanjang itu, adakalanya aku berpikir, barangkali status ketidakbekerjaanku adalah satu penyebabnya.
Di zaman yang uang bukan segala-galanya tapi segala-galanya butuh uang ini, rasanya memang mustahil aku bisa mengobati kesepianku itu selama aku tak punya pekerjaan. Soal ini Kau pasti tahu, aku memercayai kemustahilan melebihi ketidakpercayaanku kepada: bahwa di dunia ini tak ada yang mustahil jika Kau telah berkehendak.
Misal aku adalah orang yang kaya, raya, dan jaya
Sebagai seorang kaya, raya, dan jaya, aku tak pernah lelah berdoa agar diriku ini selalu terjaga. Aku butuh jaminan dan perlindungan agar senantiasa merasa aman. Maka jika Kaudatang menjelma sebuah momen kejatuhanku, aku jelas tak akan membukakan pintu untuk-Mu. Sampai aku benar-benar merasa siap untuk jatuh—meski tak tahu kapan rasa siap itu akan tiba.
Misal aku adalah seorang perintis bisnis yang ingin segera eksis
Maka kubukalah pintu itu lebar-lebar dan kusambut Kau dengan begitu hangat, jika Kaudatang sebagai sesosok investor yang akan menanam modal untuk usaha rintisanku itu.
Sama jika Kaumerupa sebongkah keuntungan yang meruah. Sebab itulah yang selama ini kucari siang, malam, dan pagi. Bukankah sebuah kewajaran jika aku-yang-manusia-ini punya sedikit ambisi?
Misal aku adalah seorang ahli ibadah
Apa yang diharapkan oleh seorang ahli ibadah, selain kabar gembira bahwa ibadah-ibadahnya telah diterima oleh Sesembahannya?
Sebab kabar gembira itu adalah yang memang kudamba, maka sudah selayaknyalah aku bersuka cita.
Misal aku adalah seorang ahli ilmu
Aku sering merasa bergembira jika ada seseorang yang bertanya tentang suatu perkara padaku. Atau saat seorang teman meminta petunjukku atas suatu masalah yang dihadapinya. Lalu setelahnya, sebagai manusia biasa aku lantas merasa telah menolong dan berjasa kepadanya.
Aku juga kerap merasa bangga, jika bisa berbicara kepada banyak orang untuk berbagi motivasi dan inspirasi. Sambil terus berharap agar mereka semua dapat memahamiku. Mengikutiku. Juga memujiku, pun walau hanya dalam hati.
Maka datanglah menjadi sesosok murid yang takzim, bukan sebagai seorang guru yang alim.
Misal aku adalah seorang penulis pemula
Bagaimana mungkin aku akan khusyuk berdoa, sementara Kaudatang mewujud mensyenan di media sosialku yang terus-menerus menderu, mengumandangkan puji-pujian untukku karena tulisanku ini telah dimuat di sebuah media ternama.
Terlebih jika pujian dan ucapan selamat itu datang dari sosok penulis-penulis idolaku yang memang sangat aku dambakan perhatiannya.
Terlebih jika pujian dan ucapan selamat itu datang dari sosok penulis-penulis idolaku yang memang sangat aku dambakan perhatiannya.
Lalu kepada mereka, aku berucap terimakasih dan berkata ‘segala puji hanya bagi-Nya’, sementara aku merasa sangat bangga karenanya.
Jogja, 01 April 2016
*Interpretasi lepas atas puisi “Misal” karya Joko Pinurbo