Tahun 2016 ini, rasanya menjadi tahun yang teramat istimewa bagi saya. Ada banyak keberkahan, kegembiraan, dan hal-hal menyenangkan yang membuat saya tak berhenti bersyukur kepada Tuhan. Hal itu, secara perlahan membuat saya semakin yakin dengan keputusan saya untuk terjun di dunia kepenulisan-online; keputusan yang setahun yang lalu banyak menuai pertentangan batin, juga protes dan ketidakpercayaan dari orang-orang terdekat saya.
Sedikit berbagi kisah-keluh-kesah, ternyata pilihan untuk terjun di dunia kepenulisan-online secara full membawa konsekuensi yang tidak mudah. Ya, benar kata orang-orang, tak ada pekerjaan yang mudah, kecuali kalau kamu senang dan mencintai pekerjaan tersebut. Untunglah, karena memang saya sangat mencintai dunia saya saat ini, saya pun merasa enjoy karenanya.
Saya yakin ini ada hubungannya dengan usia saya yang kini sudah berada di angka dua puluh empat. Setiap orang pasti punya goal yang ingin dicapai di usianya yang terus bertambah. Tak terkecuali dengan saya, dan Anda. Ada doa-doa yang diam-diam saya panjatkan. Ada doa-doa yang diam-diam oleh orang-orang terdekat saya, panjatkan. Dan tentu, ada usaha-usaha yang diam-diam juga saya upayakan dengan sepenuh hati. Kini, perlahan-lahan, goal-goal itu terasa semakin dekat. Dunia kepenulisan-online yang saya geluti secara penuh sejak setahun yang lalu, kini telah banyak memberikan hasil, baik melalui iklan Google Adsense, penawaran review, maupun lomba blog atau lomba menulis yang saya ikuti.
****
2, 7 Tahun Menjadi Penjaga Kos di Jogja
Oh iya, sebagai informasi, sambil bergiat dalam dunia kepenulisan online, saat ini saya bekerja sebagai penjaga kos. Sejak April 2014 lalu, saya mendapatkan amanah untuk menjaga kos milik dosen saya di bilangan Seturan Depok Sleman. Sebagai imbalannya, saya mendapatkan sebuah kamar sederhana dan sejumlah uang. Ini tentu sangat menolong saya sebagai seorang perantauan, karena tidak perlu lagi mengeluarkan uang untuk sewa kos, sehingga uangnya bisa untuk keperluan yang lain. Di kamar kecil inilah saya dapat melakukan banyak hal. Atau dengan kata lain, kamar kecil inilah yang kemudian sampai sekarang menjadi kantor saya. Tempat saya berkarya dan mewujudkan cita-cita, bersama laptop, buku-buku, gula-kopi-teh, dan tentu saja jaringan internet.
Sedikit flashback, pada tahun pertama saya menjadi penjaga kos saya banyak menerima usulan dari anak-anak kos agar memasang jaringan wifi. Karena tak pelak lagi, wifi telah menjadi kebutuhan dasar mahasiswa, baik untuk keperluan mengerjakan tugas, menambah pengetahuan, maupun sebagai sarana hiburan. Karena itu merupakan bagian dari tugas saya, maka aspirasi itu pun kemudian saya tindak lanjuti. Berkali-kali saya ke kantor Telkom Jogja yang berada di bilangan Kotabaru untuk menanyakan perihal pemasangan jaringan wifi di kos. Namun berkali-kali itu pula saya harus bersabar, sebab menurut petugas yang melayani saya, saat itu jaringan belum sampai di Seturan. Sehingga kami pun harus bersabar dan menunggu.
Selama dalam masa dalam masa penantian itu, sebenarnya kami banyak menerima penawaran dari perusahaan penyedia jasa telekomunikasi, baik yang lokal maupun nasional. Tapi kemudian ada satu pertimbangan yang tak bisa kami nafikan, yakni masalah harga. Ya, sebagai anak kos, soal harga tetaplah merupakan pertimbangan utama karena berkaitan dengan jatah kiriman per bulan. Dan rata-rata tawaran mereka jauh di luar kemampuan kami yang hanya berjumlah dua belas orang ini (sebenarnya ada lima belas kamar, tapi ada tiga orang yang enggan ikut memasang wifi). Karena biar bagaimanapun juga, tujuan utama kami memasang wifi itu adalah agar budget internet jadi lebih irit. Maka dari itu, kami tetap bertahan dan menunggu pemasangan jaringan wifi dari Telkom. Kami bertahan dengan kuota data internet seluler atau sesekali keluar kos untuk mencari jaringan wifi gratisan. Baik di kampus terdekat, warung kopi, wifi.id corner, perpustakaan daerah, ataupun di kos/kontrakan teman.
Selama dalam masa dalam masa penantian itu, sebenarnya kami banyak menerima penawaran dari perusahaan penyedia jasa telekomunikasi, baik yang lokal maupun nasional. Tapi kemudian ada satu pertimbangan yang tak bisa kami nafikan, yakni masalah harga. Ya, sebagai anak kos, soal harga tetaplah merupakan pertimbangan utama karena berkaitan dengan jatah kiriman per bulan. Dan rata-rata tawaran mereka jauh di luar kemampuan kami yang hanya berjumlah dua belas orang ini (sebenarnya ada lima belas kamar, tapi ada tiga orang yang enggan ikut memasang wifi). Karena biar bagaimanapun juga, tujuan utama kami memasang wifi itu adalah agar budget internet jadi lebih irit. Maka dari itu, kami tetap bertahan dan menunggu pemasangan jaringan wifi dari Telkom. Kami bertahan dengan kuota data internet seluler atau sesekali keluar kos untuk mencari jaringan wifi gratisan. Baik di kampus terdekat, warung kopi, wifi.id corner, perpustakaan daerah, ataupun di kos/kontrakan teman.
Untuk dua tempat yang saya sebutkan tadi, saya adalah pelakunya. Hampir setiap hari, kalau tidak ke perpustakaan daerah saya nebeng ke kontrakan teman untuk wifi-an. Sampai larut malam, bahkan kadang sampai pagi. Awal-awalnya memang terasa asyik, karena dengan begitu kami jadi bisa berkumpul rame-rame. Namun lama-kelamaan akhirnya malu juga, ditambah lagi kondisi teman saat itu sudah mulai fokus mengerjakan skripsi. Maka dari itu, saya pun mulai sadar diri dan beralih pada kuota internet di hape pintar saya.
Namun lagi-lagi, semua itu tak berlangsung lama karena kantong jualah yang pada akhirnya cepat terkuras. Bagaimana tidak, aktivitas saya dapat menghabiskan kuota data internet hingga 500 mb per harinya, sehingga dalam waktu seminggu saya bisa menghabiskan 2 giga kuota data internet. Pada kondisi itulah muncul rasa putus asa dalam diri saya dalam menggeluti dunia kepenulisan-online.
Saya mulai mencari-cari pekerjaan lain, bahkan yang tidak sesuai dengan minat dan kesenangan saya. Hingga pada April 2015, saya kemudian bekerja di sebuah kafe herbal dan hanya mampu bertahan selama 8 bulan, itu pun sudah sangat ngempet kalau kata orang Jawa bilang.
Hingga akhirnya, karena sudah merasa tidak maksimal lagi dalam bekerja tersebab tidak dari hati, pada akhir tahun 2015 saya memutuskan untuk resign dan balikan dengan dunia saya yang dulu ; dunia kepenulisan-online (Saya memang sengaja menyebut demikian, karena saya lebih suka menyebut diri sebagai penulis blog, bukan blogger).
Gayung bersambut, sekitar dua bulan kemudian hal yang kami nanti-nantikan sejak lama akhirnya terwujud juga. Kabel jaringan fiber optik Indihome akhirnya terpasang di kos-kosan kami dengan nomor pelanggan 146131109610. Paket Indihome berkecepatan 20 Mbps pun akhirnya kami ambil (setelah melalui rapat kecil-kecilan di kos), mengingat kebutuhan yang lumayan besar.
Router di depan kamar kos Karunia Baru, tempat kami semua berproses (dok. Pribadi) |
Beberapa bukti pembayaran Indihome yang kadang bisa menjadi pengingat agar memanfaatkan internet dengan sebaik-baiknya. (dok.pribadi) |
Sejak saat itulah, saya bisa kembali bergelut dengan dunia saya yang dulu. Fokus menulis konten-konten positif untuk berbagai keperluan, sambil tetap menjalankan tugas sebagai penjaga kos, karena tak perlu lagi berburu jaringan wifi keluar. Dan pada akhirnya, segala sesuatu yang dilakukan secara terfokuslah yang akan menampakkan hasilnya. Seperti halnya yang saya rasakan selama berada di tahun 2016 ini.
****
Kawan, saya ingin mengajukan pertanyaan penting untuk kalian.
Momen apa yang paling membuat kalian bahagia dalam hidup ini, khususnya yang berkaitan dengan orangtua?
Melihat mereka tersenyum bahagia?
Ya! Betul.
Dan itu pasti! Tak ada senyum yang paling membahagiakan diri kita selain senyum orangtua kita, dua sosok manusia yang sangat kita cintai dan hormati.
Dan itu pasti! Tak ada senyum yang paling membahagiakan diri kita selain senyum orangtua kita, dua sosok manusia yang sangat kita cintai dan hormati.
Melihat mereka senantiasa sehat walau di usianya yang kian menua?
Itu juga pasti!
Pedih rasanya ketika melihat orangtua terbaring sakit, lemah, dan tak berdaya di ranjang. Padahal seharusnya mereka dapat bermain-main kembali bersama anaknya, atau sekadar turut merasakan jerih payahnya dalam membesarkan sang anak.
Pedih rasanya ketika melihat orangtua terbaring sakit, lemah, dan tak berdaya di ranjang. Padahal seharusnya mereka dapat bermain-main kembali bersama anaknya, atau sekadar turut merasakan jerih payahnya dalam membesarkan sang anak.
Lalu apa lagi?
Ya, ketika kita bisa memberi “sesuatu” yang (mungkin/semoga) bernilai untuk mereka, untuk pertama kalinya. Itu adalah momen paling membahagiakan bagi seorang anak. Saya yakin, kalian pun demikian.
Itulah yang saya rasakan kawan. Tahun ini adalah tahun pertama saya bisa memberikan "sesuatu" yang (mungkin dan semoga) bernilai untuk orangtua saya. Apakah sesuatu itu, tidak perlu saya sebutkan karena setiap anak pasti paham dan kadang memiliki standar yang berbeda dalam mengukurnya.
“Sesuatu” itu, bukan untuk membalas jasa mereka. Bukan. Sebab sampai kapan pun saya tidak akan bisa membalas kebaikan mereka. “Sesuatu” itu hanyalah sebentuk persembahan kecil untuk mereka. Merupakan bagian dari wujud bakti saya untuk mereka, selain doa-doa yang terus-menerus saya panjatkan. Tak ada apa pun yang layak kita sebut sebagai imbalan untuk pahlawan dalam hidup kita : orangtua.
Untuk itu, melalui catatan ini saya ingin berucap terimakasih kepada Telkom yang secara langsung telah membantu saya, sehingga dapat memberikan “sesuatu” yang (mungkin dan semoga) bernilai bagi kedua orangtua saya, untuk pertama kalinya. Karena dengan layanan Indihome yang router-nya kini terpasang di depan kamar kos saya yang sederhana inilah, saya bisa memaksimalkan hobi dan kemampuan saya untuk mencari nafkah dan melanjutkan kuliah.
#IndonesiaMakinDigital, Mari Kita Imbangi Dengan Perbaikan Mental
Kawan, kehidupan dunia kita sekarang ini semakin terdigitalisasi. Indonesia semakin digital. Hari-hari kita pun demikian. Tak pernah lepas dari perangkat digital, internet, dan persebaran informasi elektronik yang membuat dunia kita menjadi tak terbatas. Dengannya, ada banyak hal yang bisa lakukan, baik untuk hal-hal positif maupun hal-hal negatif. Semua tergantung pada diri masing-masing. Namun akan sangat lebih baik, jika internet kita gunakan secara lebih positif. Yakni untuk memaksimalkan potensi dan kemampuan diri. Yakni untuk menyebarkan berita-berita baik, inspiratif, menghibur, dan mencerdaskan (Karena alasan itulah, ketika kita mengakses hal-hal buruk dan menyimpang, maka layanan Telkom akan mengarahkan pada kita situs internet positif. Karena saya yakin sebagai penyedia jasa telekomunikasi, Telkom sadar ada tugas mulia yang harus dilakukan, yakni agar penggunanya dapat tetap berada di jalur yang positif dalam menggunakan internet).
Karena itu mari kawan, mari kita menjadi pahlawan untuk diri sendiri. Mari kita imbangi makin digitalnya Indonesia dengan perbaikan mental kita, yakni dengan menjadikan internet sebagai berkah, bukan musibah. Seperti Astin, penghuni kamar nomor 1 yang kini kebanjiran order pakaian olahraga dari sekolah-sekolah di daerahnya. Seperti Agung, penghuni kamar nomor 2 yang juga sekarang semakin lancar bisnis reparasi laptop berikut penjualannya. Seperti Taqdir, penghuni kamar nomor 5 yang kini berjualan sepatu online di instagram dengan nama akun @amumustore. Seperti Ito, penghuni kamar nomor 8 yang panen uang dengan menjual foto. Seperti Arya, penghuni kamar nomor 11, yang kini tengah bersemangat mengerjakan skripsi. Atau seperti Fadli, programmer yang saat ini juga menjabat sebagai ketua Relawan TIK di daerah asalnya.
Mereka telah berhasil menjadi pahlawan untuk diri mereka sendiri, juga untuk orang-orang terdekatnya.
Menjadi Pahlawan Bersama Telkom dan Indihome (dok. Pribadi) |
Jangan mau kalah dengan mereka.
Karena kita pun juga bisa melakukan hal serupa, sesuai kapasitas masing-masing.
Demikian. Selamat hari Pahlawan untuk kita semua.
Tabik.
Demikian. Selamat hari Pahlawan untuk kita semua.
Tabik.
Dan sampai saat ini setelah 6 tahun saya masih keukeuh dengan speedy paket guru. Harga mininalis dengan koneksi yg tiba2 terupgrade 1 mbps pasca indiehome go louncing
ReplyDeleteWaw...pengguna setia nih. Aku masih kalah setia denganmu berarti Kong.
Delete