Kalau benteng kejujuranmu telah tembus untuk pertama kali, engkau akan menyerah. Terus menyerah pada nafsu-nafsumu dan engkau tidak akan dapat memiliki bentengmu lagi. Cuma tenaga di luar dirimu saja yang bisa menolongmu.
Demikianlah Pram, sastrawan besar Indonesia berpesan melalui sebuah novel anggitannya, Korupsi.
Novel ini bercerita tentang kisah seorang pegawai pemerintahan bernama Bakir yang kemudian tergoda melakukan korupsi di usia senjanya.
Karir, nama baik, dan martabat yang selama berpuluh-puluh tahun ia pelihara, seketika luruh setelah ia menenggelamkan dirinya ke kubangan yang nista (korupsi).
Sebagai pegawai pemerintahan dengan jabatan tinggi, Bakir memang punya banyak kesempatan untuk melakukan korupsi.
Tapi dulu hal itu ditepisnya, dan ia rela hidup dalam kemiskinan, asalkan tetap ada kejujuran di dalam hatinya.
Namun ternyata godaan yang begitu besar akhirnya membuat ia luluh juga dan ia rela menukar integritasnya itu dengan kesenangan sesaat.
Di zaman yang kian edan ini, bolehlah kita berkata bahwa harta paling mahal yang dimiliki manusia ialah kejujuran.
Kejujuran yang bebar-benar murni.
Kejujuran yang benar-benar tangguh. Bagai karang.
Kejujuran yang tak terkalahkan oleh badai godaan sekuat apa pun.
Kejujuran yang tidak hanya dipelihara karena tiadanya kesempatan untuk berbuat curang, melainkan juga tetap terjaga di saat-saat terbuka peluang yang begitu lebar untuk berbuat licik.
Kejujuran yang berani dipertaruhkan dengan nyawa diri sendiri maupun nyawa keluarga.
Kejujuran yang berani dihadapkan pada upaya pengucilan oleh lingkungan sekitar, olok-olok, dan hinaan.
Itulah kejujuran yang benar-benar mahal.
Siapa yang memilikinya, maka dunia dan seisinya tidaklah akan mampu membelinya.
(2018)