Perlindungan bagi konsumen [Ilustrasi: CitizenMatters] |
Banyak yang percaya dengan isu tersebut, namun banyak juga yang secara tegas menolak untuk percaya. Sehingga kemudian pembicaraan di media sosial menjadi ramai oleh perdebatan tentang telur palsu. Setelah aparat kepolisian mengusutnya, barulah benar-benar diketahui bahwa isu telur palsu merupakan kabar bohong alias hoaks [1].
Setelah isu telur palsu mereda, kemudian muncul isu baru lagi. Yakni soal peredaran ikan sarden kaleng yang mengandung cacing. Berbeda dengan isu sebelumnya, kali ini ternyata kabar tersebut benar adanya. Temuan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI menegaskan hal tersebut. Sebanyak 27 merek ikan sarden kalengan positif mengandung parasit cacing atau cacing jenis Anisakis Sp. Produk ikan sarden kalengan yang mengandung cacing itu pertama kali ditemukan di Riau [2].
Langkah sigap BPOM dalam menindaklanjuti kasus tersebut patut diapresiasi. BPOM segera menarik produk-produk tersebut dari peredaran. Meskipun kabar tersebut beredar luas dan sempat membuat masyarakat gelisah sebagaimana kasus telur palsu, namun langkah sigap BPOM cukup memberikan efek ketenangan bagi masyarakat.
Dua contoh kasus di atas merupakan fenomena betapa masih rendahnya literasi konsumen di Indonesia; begitu mudah terbawa informasi-informasi yang belum jelas kebenarannya dan menjadi panik karenanya. Isu telur palsu kemarin dikabarkan membawa dampak yang sangat besar. Omset penjualan para pedagang turun hingga 40 persen [3].
Namun di sisi lain, dua contoh kasus di atas juga menunjukkan betapa sangat pentingnya perlindungan bagi konsumen. Baik dari informasi-informasi yang menyesatkan maupun dari produk-produk yang tidak layak edar. Apalagi jika melihat kondisi saat ini di mana kesadaran masyarakat akan hak-haknya sebagai konsumen masih sangat rendah. Bahkan yang sudah paham pun tidak sedikit yang kemudian enggan mengadukan permasalahannya [4].
Posisi Konsumen-Pelaku Usaha Harus Seimbang
Pada era globalisasi seperti sekarang ini, posisi konsumen cenderung lebih lemah dibandingkan dengan para pelaku usaha, baik secara ekonomis maupun kekuasaan. Sekarang ini para pelaku usaha dapat bersaing dengan begitu bebasnya untuk memperebutkan hati pelanggan.
Berbagai macam strategi dan taktik pemasaran mereka tempuh demi dapat menguasai pasar. Termasuk dalam hal ini cara-cara yang curang seperti penyesatan informasi melalui iklan, label, metode pembayaran, dan lain sebagainya. Sementara kondisi tersebut tidak diimbangi dengan literasi hak-hak dan kewajiban konsumen. Konsumen hanya menjadi sasaran pasar bagi para pelaku usaha dengan segenap risiko besar yang mengintainya setiap saat.
Pelaku dan konsumen seharusnya berada dalam posisi yang sejajar [Ilustrasi: Researchgate.net] |
Berbagai macam strategi dan taktik pemasaran mereka tempuh demi dapat menguasai pasar. Termasuk dalam hal ini cara-cara yang curang seperti penyesatan informasi melalui iklan, label, metode pembayaran, dan lain sebagainya. Sementara kondisi tersebut tidak diimbangi dengan literasi hak-hak dan kewajiban konsumen. Konsumen hanya menjadi sasaran pasar bagi para pelaku usaha dengan segenap risiko besar yang mengintainya setiap saat.
Apabila hal itu dibiarkan terus berlanjut, maka bukan tidak mungkin akan terjadi ketimpangan yang tinggi antara para pelaku usaha dan konsumen. Konsumen akan menjadi pihak yang paling dirugikan karena tidak mendapatkan hak-haknya. Inilah alasan mengapa konsumen perlu terus diadvokasi dan dan dilindungi hak-haknya.
Di Indonesia sebenarnya sudah terdapat perangkat hukum yang menjamin hal tersebut, yakni Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Menurut Undang-undang ini, beberapa upaya perlindungan konsumen meliputi peningkatan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri dan peningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya.
Menurut Undang-undang ini pula, hak-hak konsumen meliputi:
- Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
- Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
- Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
- Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
- Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
- Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
- Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
- Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Hak-hak konsumen [Ilustrasi Bapenas] |
Sementara selain mempunyai hak-hak di atas, konsumen juga memiliki kewajiban antara lain:
- Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
- Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
- Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
- Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Tak hanya berhenti sampai di situ, upaya perlindungan terhadap konsumen juga diperkuat oleh kewajiban bagi para pelaku usaha di antaranya sebagai berikut:
- Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
- Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
- Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
- Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
- Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
- Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
- Memberi kmpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Setelah melihat banyaknya hak-hak dan kewajiban konsumen serta hak pelaku usaha tersebut di atas, yang kemudian menjadi pertanyaan adalah: apakah pemahaman terhadap hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha tersebut sudah dipahami dengan baik?
Jawabannya: belum.
Di Yogyakarta saja yang notabene merupakan kota pelajar kesadaran konsumen masih sangat rendah. YLKI menyebut tingginya konsumsi di kota ini tidak diiringi dengan daya kritis terhadap produk [5].
Jawabannya: belum.
Di Yogyakarta saja yang notabene merupakan kota pelajar kesadaran konsumen masih sangat rendah. YLKI menyebut tingginya konsumsi di kota ini tidak diiringi dengan daya kritis terhadap produk [5].
Hal ini tentu menjadi keprihatinan kita bersama karena biar bagaimanapun pemahaman konsumen terhadap hak-hak dan kewajibannya akan menjadi penentu berimbangnya posisi antara konsumen dengan pelaku usaha.
Untuk itu kiranya, upaya sosialisasi tentang hal ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, para pelaku usaha, YLKI, dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat di Indonesia agar konsumen dan pelaku usaha dapat berjalan beriringan dalam hubungan yang saling menguntungkan, bukan sebaliknya.
Untuk itu kiranya, upaya sosialisasi tentang hal ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, para pelaku usaha, YLKI, dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat di Indonesia agar konsumen dan pelaku usaha dapat berjalan beriringan dalam hubungan yang saling menguntungkan, bukan sebaliknya.
Zaman terus bergerak maju dan teknologi semakin canggih. Kini penjualan suatu produk/jasa tidak hanya dilakukan secara konvensional melainkan juga telah dilakukan secara online. Seiring dengan itu, praktik penipuan pun juga kerap terjadi dalam jual beli online.
Namun meski demikian di saat yang sama, dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi, media sosial misalnya, kini konsumen juga dapat mengungkapkan keluhannya secara terbuka. Di zaman digital ini penyampaian keluhan kini tidak hanya bergantung pada media massa atau Layanan Pelanggan.
Bahkan dalam beberapa kasus, keluhan di media sosial terbukti lebih ampuh ketimbang media lain. Media sosial terbukti lebih efektif untuk menjadi media penyampaian praktik penipuan, aspirasi, dan keluhan atas ketidaksesuaian layanan/produk sebagaimana telah dijanjikan oleh pelaku usaha. Selama keluhan disampaikan dengan jujur dan didukung oleh fakta dan data-data yang valid dan bisa dipertanggungjawabkan.
Di samping itu, kehadiran e-dagang juga memberikan dampak yang cukup signifikan karena di sana konsumen dapat langsung memberikan ulasan dan kesannya secara langsung dan jujur setelah barang pesanannya diterima. Pada platform ini, posisi konsumen dan penjual dapat dikatakan sudah cukup seimbang.
Pada situs e-dagang seperti Tokopedia, Bukalapak, Traveloka, dan Lazada misalnya, konsumen memiliki peran yang sangat kuat dalam mengontrol para pelaku usaha selaku penjual melalui rating yang diberikan. Semakin baik rating yang didapatkan toko, maka akan semakin ramai pulalah pesanan pada toko tersebut karena telah terbukti sebagai toko yang terpercaya.
Begitu juga dengan, misalnya, penggunaan transportasi online seperti Gojek. Di sini, pengguna dapat langsung memberikan reward and punishment kepada driver selaku penyedia jasa. Sehingga hukum "siapa yang menanam pasti akan memanen" pun menjadi berlaku. Pelaku usaha benar-benar dituntut untuk dapat memberikan yang terbaik bagi konsumennya, sebab kalau tidak demikian mereka akan tumbang sendiri.
Rating menentukan omset [ilustrasi via Hisense] |
Begitu juga dengan, misalnya, penggunaan transportasi online seperti Gojek. Di sini, pengguna dapat langsung memberikan reward and punishment kepada driver selaku penyedia jasa. Sehingga hukum "siapa yang menanam pasti akan memanen" pun menjadi berlaku. Pelaku usaha benar-benar dituntut untuk dapat memberikan yang terbaik bagi konsumennya, sebab kalau tidak demikian mereka akan tumbang sendiri.
Dari sinilah kiranya upaya penguatan peran konsumen di era digital dapat dilakukan. Yakni disediakannya bermacam akses dan sarana bagi konsumen untuk memberikan respon atas produk atau layanan yang diterimanya secara langsung. Dengan tersedianya berbagai macam sarana dan akses tersebut, maka konsumen di Indonesia akan memiliki posisi yang kuat, setara dengan para pelaku usaha.
Menjadi Konsumen Cerdas di Era Digital
Sambil terus menunggu dan memanfaatkan berbagai macam akses yang tersedia saat ini, menjadi konsumen yang cerdas dan kritis terhadap produk yang kita beli juga bisa dilakukan dengan cara lain.
Berikut ini beberapa hal yang biasa saya lakukan sebelum membeli barang atau memilih layanan.
1. Sesuai kebutuhan
Membeli barang atau memilih layanan jasa, bagi saya merupakan sesuatu hal yang sangat prinsip. Oleh karena itu, keduanya selalu saya lakukan berdasarkan kebutuhan, bukan keinginan semata. Dalam upaya pemenuhan kebutuhan pun, sering kali masih saya tetapkan lagi apakah itu merupakan kebutuhan mendesak atau bukan. Jika mendesak maka harus segera dipenuhi, jika tidak maka masih bisa ditunda esok hari.
2. Mencari testimoni terlebih dahulu
Karena tak mau salah beli/pilih layanan jasa, maka mencari testimoni orang lain selalu saya lakukan sebelum kemudian menetapkan pilihan.
Cara ini sangat berguna untuk meminimalisasi risiko salah beli, ketidakcocokan, atau penipuan. Dengan adanya teknologi informasi seperti sekarang ini, maka saya biasanya saya Googling terlebih dahulu dan membaca berbagai macam testimoni atas produk/layanan jasa yang sedang saya ingin tahu. Atau jika produk/layanan jasa yang akan saya butuhkan pernah dibeli/dipakai oleh orang yang saya kenal, maka saya akan menanyakan langsung kepada yang bersangkutan untuk meminta testimoni.
3. Membeli dalam keadaan kenyang
Saya mengetahui trik ini ketika diminta seorang teman wanita saya untuk menemaninya membeli suatu barang. Sebelum masuk ke toko, ia mengajak saya untuk makan terlebih dahulu.
"Jangan membeli barang ketika lapar. Belilah barang ketika perut sudah terisi." katanya.
"Kenapa?" tanya saya saat itu karena benar-benar tidak mengerti apa maksudnya.
"Ketika perut sedang lapar, maka biasanya kita akan terburu-buru dan emosional. Berbeda ketika perut sudah kenyang, maka kita akan cenderung lebih tenang dan rasional." jelasnya. Saya mengangguk tanda mengerti dan pesan itu sampai sekarang terus saya ingat dan saya terapkan.
Alhasil, saya tidak pernah kalap dalam membeli barang. Alhamdulillah!
4. Rajin Membaca dan Meneliti
Perintah pertama dalam Al-Quran yang disampaikan kepada Nabi Muhammad adalah membaca. Hal ini juga selalu saya terapkan ketika akan membeli barang/memilih layanan jasa. Karena di samping untuk keperluan keamanan dan kenyanan, saya sendiri memang tipe orang yang cukup gemar membaca atau bisa disebut kepo. Apalagi jika produk/layanan jasa tersebut tergolong baru dan unik bagi saya. Maka tingkat keingintahuan pun akan menjadi lebih tinggi.
Sering kali hal pertama yang saya baca adalah perusahaan mana yang memproduksi, di mana diproduksinya, kontak yang bisa dihubungi, baru kemudian tentang kapan barang tersebut akan kadaluarsa, apakah halal dan aman atau tidak.
Sampai di sini, saya merasa sangat bersyukur karena kegemaran membaca itulah saya banyak mendapatkan informasi dan inspirasi mengenai produk yang saya beli. Juga karena itu pula, saya tidak pernah keracunan makanan apa pun. Kecuali malah kripik jengkol buatan ibu saya sendiri. haha
Karena rajin membaca pula saya jadi sering menemukan banyak hal dari produk/layanan jasa, mulai dari permainan kata-katanya, kaidah bahasanya, merk, logo, tagline, dan permainan harga dan diskon yang mereka lakukan. Sering kali apa yang mereka lakukan juga lucu-lucu. Menemukannya, merupakan keasyikan tersendiri bagi saya. Haha
5. Menjalin Hubungan Baik dengan Penjual
Meski hidup di era dunia dalam genggaman, sampai saat ini saya masih termasuk sebagai tipe pembeli "Yang Kalau Tidak Memegang Barangnya Tidak Marem" alias pembeli offline. Saya belum pernah membeli barang secara online, kecuali pulsa internet. Maka dari itu, saya punya cukup banyak langganan penjual untuk masing-masing barang kebutuhan saya.
Memiliki hubungan baik dengan penjual, bagi saya, merupakan salah satu cara paling aman ketika akan membeli barang/jasa. Apabila penjual sudah kenal baik dengan kita, maka biasanya mereka juga akan lebih respect terhadap kita. Tidak akan memberikan barang yang buruk kualitasnya. Tidak menetapkan harga yang tinggi. Mereka tidak akan menipu kita. Malahan mereka tidak akan sungkan-sungkan untuk memberikan diskon atau bahkan memberikan utang kepada kita.
Sejauh ini, kelima cara di atas cukup efektif dalam melindungi diri saya dari segala macam bentuk ketidakamanan dan ketidaknyamanan dalam membeli barang/memilih layanan jasa. Saya tidak pernah tertipu, kecewa, ataupun keracunan makanan akibat salah beli. Alhamdulillah.
Jadi sebenarnya menjadi konsumen cerdas di era digital itu tidaklah berat. Buktinya, saya bisa melakukannya.
Nah, sekarang bagaimana dengan Anda? Jika punya tips-tips jitu seputar menjadi konsumen cerdas di era digital mari saya undang Anda untuk berbagi melalui kolom komentar. Semoga itu akan memberikan manfaat bagi para pembaca.
Menjadi Konsumen Cerdas di Era Digital
Sambil terus menunggu dan memanfaatkan berbagai macam akses yang tersedia saat ini, menjadi konsumen yang cerdas dan kritis terhadap produk yang kita beli juga bisa dilakukan dengan cara lain.
Berikut ini beberapa hal yang biasa saya lakukan sebelum membeli barang atau memilih layanan.
1. Sesuai kebutuhan
Membeli barang atau memilih layanan jasa, bagi saya merupakan sesuatu hal yang sangat prinsip. Oleh karena itu, keduanya selalu saya lakukan berdasarkan kebutuhan, bukan keinginan semata. Dalam upaya pemenuhan kebutuhan pun, sering kali masih saya tetapkan lagi apakah itu merupakan kebutuhan mendesak atau bukan. Jika mendesak maka harus segera dipenuhi, jika tidak maka masih bisa ditunda esok hari.
2. Mencari testimoni terlebih dahulu
Karena tak mau salah beli/pilih layanan jasa, maka mencari testimoni orang lain selalu saya lakukan sebelum kemudian menetapkan pilihan.
Cara ini sangat berguna untuk meminimalisasi risiko salah beli, ketidakcocokan, atau penipuan. Dengan adanya teknologi informasi seperti sekarang ini, maka saya biasanya saya Googling terlebih dahulu dan membaca berbagai macam testimoni atas produk/layanan jasa yang sedang saya ingin tahu. Atau jika produk/layanan jasa yang akan saya butuhkan pernah dibeli/dipakai oleh orang yang saya kenal, maka saya akan menanyakan langsung kepada yang bersangkutan untuk meminta testimoni.
3. Membeli dalam keadaan kenyang
Saya mengetahui trik ini ketika diminta seorang teman wanita saya untuk menemaninya membeli suatu barang. Sebelum masuk ke toko, ia mengajak saya untuk makan terlebih dahulu.
"Jangan membeli barang ketika lapar. Belilah barang ketika perut sudah terisi." katanya.
"Kenapa?" tanya saya saat itu karena benar-benar tidak mengerti apa maksudnya.
"Ketika perut sedang lapar, maka biasanya kita akan terburu-buru dan emosional. Berbeda ketika perut sudah kenyang, maka kita akan cenderung lebih tenang dan rasional." jelasnya. Saya mengangguk tanda mengerti dan pesan itu sampai sekarang terus saya ingat dan saya terapkan.
Alhasil, saya tidak pernah kalap dalam membeli barang. Alhamdulillah!
4. Rajin Membaca dan Meneliti
Perintah pertama dalam Al-Quran yang disampaikan kepada Nabi Muhammad adalah membaca. Hal ini juga selalu saya terapkan ketika akan membeli barang/memilih layanan jasa. Karena di samping untuk keperluan keamanan dan kenyanan, saya sendiri memang tipe orang yang cukup gemar membaca atau bisa disebut kepo. Apalagi jika produk/layanan jasa tersebut tergolong baru dan unik bagi saya. Maka tingkat keingintahuan pun akan menjadi lebih tinggi.
Sering kali hal pertama yang saya baca adalah perusahaan mana yang memproduksi, di mana diproduksinya, kontak yang bisa dihubungi, baru kemudian tentang kapan barang tersebut akan kadaluarsa, apakah halal dan aman atau tidak.
Sampai di sini, saya merasa sangat bersyukur karena kegemaran membaca itulah saya banyak mendapatkan informasi dan inspirasi mengenai produk yang saya beli. Juga karena itu pula, saya tidak pernah keracunan makanan apa pun. Kecuali malah kripik jengkol buatan ibu saya sendiri. haha
Karena rajin membaca pula saya jadi sering menemukan banyak hal dari produk/layanan jasa, mulai dari permainan kata-katanya, kaidah bahasanya, merk, logo, tagline, dan permainan harga dan diskon yang mereka lakukan. Sering kali apa yang mereka lakukan juga lucu-lucu. Menemukannya, merupakan keasyikan tersendiri bagi saya. Haha
5. Menjalin Hubungan Baik dengan Penjual
Meski hidup di era dunia dalam genggaman, sampai saat ini saya masih termasuk sebagai tipe pembeli "Yang Kalau Tidak Memegang Barangnya Tidak Marem" alias pembeli offline. Saya belum pernah membeli barang secara online, kecuali pulsa internet. Maka dari itu, saya punya cukup banyak langganan penjual untuk masing-masing barang kebutuhan saya.
Memiliki hubungan baik dengan penjual, bagi saya, merupakan salah satu cara paling aman ketika akan membeli barang/jasa. Apabila penjual sudah kenal baik dengan kita, maka biasanya mereka juga akan lebih respect terhadap kita. Tidak akan memberikan barang yang buruk kualitasnya. Tidak menetapkan harga yang tinggi. Mereka tidak akan menipu kita. Malahan mereka tidak akan sungkan-sungkan untuk memberikan diskon atau bahkan memberikan utang kepada kita.
Sejauh ini, kelima cara di atas cukup efektif dalam melindungi diri saya dari segala macam bentuk ketidakamanan dan ketidaknyamanan dalam membeli barang/memilih layanan jasa. Saya tidak pernah tertipu, kecewa, ataupun keracunan makanan akibat salah beli. Alhamdulillah.
Jadi sebenarnya menjadi konsumen cerdas di era digital itu tidaklah berat. Buktinya, saya bisa melakukannya.
Nah, sekarang bagaimana dengan Anda? Jika punya tips-tips jitu seputar menjadi konsumen cerdas di era digital mari saya undang Anda untuk berbagi melalui kolom komentar. Semoga itu akan memberikan manfaat bagi para pembaca.