Suasana Desa Bagelen, Gedong Tataan, Pesawaran Lampung, pada 2007. Desa ini merupakan daerah transmigrasi tertua di Indonesia. (dok. Kompas) |
Terhitung sudah hampir 7 tahun meninggalkan kampung halaman atas nama ilmu pengetahuan. Numpang di tanah tanah Ngayogyakarta Hadiningrat sembari belajar menjadi pemimpin layaknya Sultan Hamengkubuwono IX.
Saya jadi ingat ketika dulu masih kanak-kanak, menyaksikan orang-orang dewasa merantau menuntut ilmu (mondok) itu sepertinya keren sekali. Apalagi jika merantaunya ke Jawa, tanah hampir semua orang-orang di kampung saya berasal.
Anak-anak muda yang merantau ke Jawa akan selalu dicatat dan diingat oleh hampir semua orang di kampung kami. Kepulangannya selalu dinantikan. Keberangkatannya selalu diiiringi doa dan harapan. Martabat orang tua mereka pun secara perlahan juga terangkat, karena terbukti mampu mengirim anaknya ke Jawa.
Jawa, bagi kami dulu adalah tanah impian yang harus dikunjungi, minimal sekali seumur hidup. Baik untuk keperluan menengok sanak saudara, menuntut ilmu, bekerja, ataupun sekadar mencari jimat dan kesaktian. Bagi kami, tanah Jawa begitu hebat, subur, dan sentosa.
Sentimen itu pulalah yang kemudian membuat kami sangat terbuka dengan orang-orang yang berasal dari tanah Jawa. Dari tanah Jawa bagian mana pun, entah itu timur ataupun tengah.
Khusus bagi mereka yang berasal dari Jawa Barat, kami juga menerima dengan tangan terbuka. Tapi kemudian akan kami arahkan agar mereka bertemu dengan orang-orang dari Jawa Barat pula yang juga sangat banyak dan hidup berdampingan dengan kami.
Ada banyak sekali kisah mengenai hal ini. Salah satunya, keluarga kami dulu pernah menerima seorang tamu dari Jawa. Ia datang ke Sumatera untuk mencari salah seorang keluarganya yang namanya sama dengan nama Bapak saya, sehingga oleh tukang ojek kemudian diantar ke rumah kami.
Tapi ternyata bukan bapak saya yang ia cari. Ia salah orang, dan salah tempat. Sementara uangnya sudah habis. Ia kemudian tinggal beberapa hari di rumah kami, ikut bekerja ke ladang untuk mencari ongkos pulang.
Sampai kemudian, ketika ia pamit pulang, saya yang saat itu masih berumur antara 3-5 tahun, menangisinya di pojokan ruang tamu karena merasa nelangsa. Terlebih selama ia tinggal di rumah kami, saya cukup dekat dengannya.
Pariyah (94), warga keturunan transmigran di Dusun Bagelen IV, Lampung, berdiri di depan rumahnya, 2011. (dok. Kompas) |
Sampai sekarang, siapa pun orang dari tanah Jawa yang datang, maka tangan kami akan sangat terbuka. Bahkan jika kedatangan mereka untuk mencari hidup sekali pun. Asal diiringi dengan niat baik, kejujuran, dan kesungguhan, maka dapat dipastikan mereka akan diterima dengan baik pula.
Setiap kali pulang ke kampung halaman, saya masih sering mendengar ucapan para tetangga, khususnya orang-orang tua, yang menyiratkan kerinduannya pada tanah Jawa.
Oleh mereka, termasuk sanak keluarga sendiri bahkan, saya sering disebut "Wong nJowo". Saya juga sering ditanya, "Kapan balik neng nJowo?", bukan "Kapan mangkat neng nJowo?". Seakan mereka menganggap bahwa rumah saya saat ini adalah di Jawa, bukan di Sumatera.
Saya sering mengoreksi, tapi nyatanya pertanyaan dan pernyataan itu tetap muncul. Hingga kemudian saya memakluminya, karena barangkali itu merupakan cerminan dari kerinduan mereka pada tanah leluhurnya, tanah Jawa. Mereka senantiasa menganggap tanah Jawa sebagai rumah, meskipun saat ini mereka sudah tinggal di pulau lain.
Karena itulah barangkali, kepulangan saya dan juga anak-anak muda lain yang merantau di Jawa, kemudian menjadi menjadi "berkah" tersendiri bagi mereka. Karena dengan begitu, pembicaraan tentang tanah Jawa mereka sudah pasti akan segera muncul.
Lalu kami pun bertukar banyak cerita tentang tanah Jawa. Mereka bercerita tentang Jawa di masa lampau, sedangkan saya bercerita tentang tanah Jawa di masa kini.
****
Tidak semua transmigran asal Jawa di Sumatera bisa hidup berkecukupan secar materi. Ada banyak di antara mereka yang sampai sekarang masih hidup pas-pasan, bahkan kekurangan. Apalagi yang mata pencariannya hanya sebagai petani murni.
Cerita saya di atas memang secara subjektif menceritakan orang-orang kelas menengah ke bawah, yang jarang berpergian ke Jawa karena alasan ketidakmampuan secara ekonomi.
Jejak Para Transmigran Jawa di Lampung (Infografis: Tirto.id) |
Bagi orang-orang kelas menengah ke atas hal itu tentu tidak berlaku. Mereka bisa pergi ke Jawa dengan mudah. Mereka juga bisa melakukan panggilan video kepada sanak saudara di Jawa karena punya perangkat HP yang canggih. Artinya, bagi mereka jarak bukan lagi menjadi persoalan dan penghalang. Terlebih jika mereka punya anak, aset, usaha, relasi, atau pekerjaan yang berada Jawa.
Dengan demikian, hubungan mereka dengan tanah Jawa biasanya lebih bersifat material. Jawa adalah peradaban yang menawarkan keuntungan dan kemajuan bagi diri mereka dan keluarganya. Mereka melihat Jawa sebagai peradaban yang telah maju dari Sumatera sehingga dapat dijadikan sebagai menjadi tumpuan masa depan anak cucu.
Tetapi, tidak semua orang-orang kelas menengah ke atas memiliki ikatan sentimentil yang mendalam terhadap tanah Jawa. Mereka adalah orang-orang yang memang dilahirkan di tanah Sumatera. Mereka adalah orang-orang yang sudah tidak punya keluarga kandung di tanah Jawa.
Obore wis mati. Lampunya sudah mati, demikianlah kondisi itu bisa disebut. Dalam menilai tanah Jawa, mereka lebih terlihat realistis. Antara Jawa dan tempat tinggalnya kini, sudah tidak ada lagi perbedaan. Kalau perlu ya dikunjungi, kalau tidak ya tidak lantas menjadi masalah yang berarti.
Penggolongan di atas, sebenarnya saya maksudkan agar pembacaan terhadap orang-orang Jawa bisa sedikit lebih lengkap dan tepat. Itu saja, tidak lebih.
Namun demikian, agaknya saya juga perlu mengabarkan tentang satu hal penting yang bisa membuat semua kelompok masyarakat tadi menjadi seragam dalam memandang Jawa.
Apakah itu?
Menantu.
Ya, menantu.
Bagi orang-orang di Sumatera, menantu dari Jawa amatlah berharga. Sehingga apabila berhasil mendapatkannya, martabat dan sentimen kejawaan mereka akan naik kembali. Terlebih jika mereka berasal dari Jogja, Solo, atau Klaten.
Menantu dari ketiga daerah ini ibarat intan yang tak ternilai harganya. Mereka dipandang sebagai menantu yang sopan, lembut, dan memiliki paras yang indah. Orang tua mana coba yang tidak bangga anaknya punya pasangan seperti itu?
Sebagai orang yang sudah lama tinggal di Jawa, saya pun sering diramalkan akan mendapatkan pasangan dari Jawa. Dalam perbincangan dengan orang-orang di kampung, saya sering dibilang begini: "Sajake arep oleh wong nJowo iki."
Mendengar mereka berkata seperti itu, saya hanya bisa tersenyum.
Yogya, 11-12 Mei 2018