Pada suatu malam aku berencana menulis puisi.
Setelah mandi, menggosok gigi, menyemprotkan minyak wangi, berdandan rapi dan menyeduh kopi, aku bergegas menuju meja kerja dan kemudian duduk di sana.
Beberapa embusan napas kemudian, aku sudah merasa siap dan percaya diri. Kuambil selembar kertas berwarna biru dan setangkai pena kesayanganku.
Aku mulai menulis.
Aku mulai menulis.
Tidak seperti biasanya, malam itu aku menulis judulnya terlebih dahulu dan aku menulis namamu.
Aku bersemangat sekali dan yakin akan dapat menulis untaian kalimat yang indah tentangmu, untukmu.
Kupanggil semua kata-kata yang selama ini sudah menjadi kolegaku dan kuceritakan pada mereka tentangmu dengan harapan seusainya aku bercerita nanti, satu per satu dari mereka akan mengajukan diri dan membentuk formasi yang oleh para pujangga disebut puisi.
Mereka menyimak dengan penuh perhatian. Aku merasa dihargai dan bercerita dengan tambah percaya diri.
Aku bercerita cukup panjang dan lama.
Dari raut wajahnya, mereka terlihat terpesona dengan ceritaku, eh bukan, lebih tepatnya denganmu. Wajah mereka cerah dan tampak bergairah. Sebagai penceritamu, tentu aku pun menjadi bangga.
Dari raut wajahnya, mereka terlihat terpesona dengan ceritaku, eh bukan, lebih tepatnya denganmu. Wajah mereka cerah dan tampak bergairah. Sebagai penceritamu, tentu aku pun menjadi bangga.
Namun setelah ceritaku selesai, sebuah tragedi terjadi.
Wajah mereka mendadak layu. Mereka kemudian meninggalkanku satu per satu dengan wajah yang dilipat dan kuyu.
"Mengapa kalian pergi?" tanyaku
"Kami merasa tak percaya diri dengannya."
jawab salah satu dari mereka yang dianggap sebagai Juru Bicara.
"Jangan berlebihan begitu dong!" aku berusaha mencegah. Tapi mereka tetap bersikeras dan aku tak bisa lagi berbuat apa-apa.
"Kalau kau sudah punya cerita lagi tentangnya, panggillah kami kembali. Kami pasti akan datang dan mendengarkan ceritamu dengan saksama, karena kami menyukainya." imbuh si Juru Bicara.
Aku hanya bisa menganggukkan kepala dan berjanji dalam hati meski aku agak dongkol juga.
Malam itu, aku hanya mampu menulis namamu di selembar kertas berwarna biru.
Aku terdiam cukup lama. Merenung memikirkan kata, eh kita.
Lalu kupandangi lagi kertas biru itu.
Ajaib! Namamu tak ada di sana lagi.
Aku terkejut.
Ke mana perginya namamu?
Seluruh isi ruangan kuperiksa. Namun tak kunjung kutemukan namamu di sana. Sampai aku kelelahan dan lalu tertidur.
Malam itu aku lupa tak memeriksa hatiku.
Yogyakarta, Januari 2019