Pagi tadi, saya meninggalkan rumah dengan agak terburu-buru. Seorang teman sudah menunggu untuk COD-an buku di bilangan Tamsis. Momen seperti itu sebenarnya sangat menjengkelkan, rentan membikin semuanya jadi berantakan. Atau, kalau masih beruntung, ya tidak terlalu berantakan banget sih. Cuma ya tetap akan selalu ada saja yang tertinggal. Seperti yang saya alami tadi.
.
.
Saya merasa sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Bubuk kopi sudah saya tuang ke dalam botol. Pun gulanya. Pada saat yang sama, saya juga sudah berpikir akan membawa sebuah alat pengaduk yang biasa saya bawa ke kampus. Dan sejurus kemudian, entah saya mengerjakan apa sehingga saya lupa membawa aduka kopi andalan saya.
Oh iya, sebelumnya perlu saya informasikan dulu. Jadi, di kampus UGM itu ada fasilitas pengisian air minum yang disediakan untuk para mahasiswa. Saya adalah orang yang dengan sangat rajin memanfaatkan fasilitas tersebut, karena ada air panasnya yang suhunya mencapai 99 derajat selsius. Kadang malah sampai angka 100. Ini terus terang saja membuat saya merasa marem, karena artinya sama dengan membikin kopi dengan air mendidih. Jadilah saya sering membikin kopi di sini, dari rumah saya cukup membawa gula dan kopi yang langsung saya ceburkan ke dalam botol. Plus adukannya.
Setelah semuanya saya pikir siap, saya berangkat. COD-an buku di Tamsis. Setengah jam kemudian selesai. Saya langsung ke UGM Press untuk belanja buku. Ada beberapa pesanan yang harus dikirim minggu ini. Tapi nahas, showroom tutup. Para penjaganya sedang ada rapat di sebuah rumah makan.
Tak mau bolak-balik, saya kemudian mendekati area masjid Fakultas Tekni sambil berharap nanti setelah Jumatan saya akan kembali ke showroom untuk membeli buku pesanan pelanggan. Saya penasaran dengan masjid di fakultas Teknik ini. Beberapa waktu yang lalu, saya sempat membaca sekilas tulisan tentang geliat para intelektual muslim di masjid ini. Kono menakjubkan dan karena itu saya ingin membuktikan.
Jarum jam di tangan saya masih menunjukkan pukul 12.30. Saya menuju masjid yang saya maksud, yang ternyata adalah musala. Musala ini terdiri dari dua lantai dan maish baru. Peletakan batu pertama oleh Rektor UGM baru dilakukan pada triwulan ketiga tahun 2018 lalu.
Sekilas tak nampak ada keistimewaan pada musala ini. Lha wong bentuknya juga B aja. Saya pun mulanya juga tidak sadar kalau musala ini terdiri dari dua lantai. Ketika waktu berkhotbah tiba saya baru sadar. Di lantai dasar, saya tak melihat mimbar. Begitu juga dengan muazin.
Namun karena kesalahan itulah, sepanjang khotbah saya jadi banyak mengamati kondisi lingkungan Musala.
Pada bagian depan musala di lantai dasar, terdapat kolam ikan. Di lantai dasar ini sebenarnya juga cocok kalau dipakai buat salat berjamaah. Tapi sangat rentan bagi imam karena akan dapat dengan jelas melihat ikan-ikan berenang.
Di atas kolam, terdapat banyak sekali jenis tumbuhan. Mulai dari pandan, jambu biji, jambu air, talas, dan berbagai tumbuhan bunga-bungaan yang indah.
Saya hitung, ada sekitar 15 jenis tumbuhan yang hidup di sana dan itu membuat saya berimajinasi sedang melakukan salat di Taman Eden.
Musala ini, saya pikir adalah musala paling berkesan bagi saya. Nuansanya begitu asri. Udaranya sejuk. Tumbuhan, binatang, dan manusia bersatu-berdampingan dalam ikatan spiritual. Ini adalah musala yang berwawasan lingkungan. Inilah Islam!
Saya tidak ingat pasti kapan ide ini muncul, tapi sepertinya pada khotbah kedua. Saya melihat-lihat kembali daun pandan yang tumbuh tak jauh dari tempat saya duduk. Saya mengamati tekstur daun itu. Sepertinya kaku. Saya mengamati lagi dan membayangkan, sepertinya kalau dilipat dua akan lebih kaku dan bisa dipakai untuk mengaduk kopi.
Gagasan membikin kopi pun seketika muncul. Terlebih sebelumnya saya juga telah melihat ada fasilitas penyediaan air panas di Fakultas Teknik ini. Biasanya saya hanya menemukannya di Perpustakaan Pusat UGM.
Setelah salat selesai, gagasan untuk menjadikan daun pandan sebagai alat pengganti pengaduk kopi semakin mencuat. Saya menunggu agak sepi. Menunggu orang-orang menyelesaikan dzikir. Beberapa saat kemudian, orang-orang berlalu dan tinggal beberapa saja.
Sat
Set
Saya memetik setangkai daun pandan itu dan kemudian mencucinya. Beberapa orang melihat saya penuh keheranan, namun saya tidak terlalu memedulikannya. Cuek, wong ora kenal wae kok!
Daun pandan sudah ditangan. Saya mencoba melipatnya untuk membikin simulasi. Dugaan saya ternyata benar. Daun pandan ini sangat bisa dipakai untuk mengaduk kopi.
Saya kemudian mendekat ke stasiun pengisian air dan menyeduh kopi di sana. Saya tak langsung mengaduknya, melainkan mencari tempat duduk terlebih dahulu. Saya pengin melakukan eksperimen ini dengan lebih khusyuk.
Saat duduk itulah saya terpikir, ini nanti pasti aromanya akan berbeda. Setelah mengaduk beberapa kali putaran berlawanan dengan arah jarum jam, saya pun membiarkan daun pandan itu terendam cukup lama. Well, saya yakin itu akan memberikan efek aroma pada kopi saya hari ini.
Dan ternyata benar!
Saya menyeruput sedikit, aroma kopi berpadu pandan mengundang gairah saya. Tak lupa, saya memotretnya dan menjadikannya status WA.
****
Ketika menulis ini, saya baru saja meneguk kopi beraroma pandan itu. Masih panas, karena memang botol minum saya awet panas. Jebulnya, rasa dan aromanya malah semakin kuat. Allahu! Saya jadi langsung merasa seperti ilmuwan paling hebat yang berhasil menemukan resep ampuh dan dibutuhkan dunia. Ini harus segera dipatenkan, harus! Harus! Demikian saya langsung berpikir...