Menggali cerita itu asyik. Itu yang selama ini sering saya lakukan ketika berjumpa dengan orang-orang baru atau ketika ngobrol dengan teman-teman saya. Apalagi jika orang tersebut memiliki aktivitas-aktivitas menarik. Dapat dipastikan, saya akan lebih banyak mendengar, bertanya, merespon, mendengar, bertanya, dan begitu seterusnya.
Ada banyak keuntungan yang didapat. Seperti kita jadi tahu banyak hal, yang suatu saat pasti akan sangat berguna, misalnya ketika bertemu dengan orang yang membicarakan topik serupa.
Atau hal lain, kita jadi sering berimajinasi karena cerita yang disampaikan oleh orang lain. Atau kita jadi lebih berbahagia, jika ceritanya benar-benar menarik, segar, dan lucu.
Karena kebiasaan ini pula, saya jadi sering mirip seorang pembaca acara pertunjukan bincang-bincang (talkshow), haha.
Hari ini, saya berhasil menggali cerita dari teman tinggal di nDalem Kewahanan, Danang.
Dia adalah tenaga pengajar di SD Tumbuh Jogja National Museum. SD Tumbuh, bagi saya adalah institusi pendidikan dengan konsep pendidikan yang menarik. Saya sudah mengenal SD ini sejak lama dan ia berhasil menarik perhatian saya pada perjumpaan pertama.
Dulu ketika saya berkunjung ke sekolah tersebut, berinteraksi dengan siswa-siswinya, juga menyaksikan mereka berinteraksi, saya menyaksikan mereka sedang belajar menjual. Jadi, mereka membawa makanan dari rumah untuk kemudian di jual kepada teman-temannya. Yang terjadi kemudian, mereka seperti sedang bertukar barang jualan, haha.
Sekolah ini mengusung konsep inklusif, sehingga siswa-siswinya pun heterogen. Mereka, sejauh yang saya amati, diperkenalkan dengan konsep-konsep kehidupan multikultur sejak dini.
Kembali ke teman saya Danang.
Ada banyak hal menarik dari cerita pengalaman Danang mengajar di sekolah ini, padahal ia belum lama mengajar di sana. Dan kamu, sangat beruntung karena mengetahuinya melalui tulisan ini.
Berikut ini hal-hal menarik tentang SD Tumbuh yang saya dapatkan dari cerita Danang.
Pertama, soal pakaian.
Ketika mengajar, Danang tidak mengenakan seragam. Dia mengenakan pakaian bebas. Bahkan hari ini tadi, dia mengenakan celana jins.
Di sekolah ini guru tidak harus mengajar mengenakan seragam. Guru boleh memakai kaos, asalkan berkerah. Guru juga tidak harus mengenakan sepatu. Pakai sandal pun tak mengapa.
Tak hanya guru, siswanya pun demikian. Tidak harus mengenakan seragam sebagaimana sekolah pada umumnya. Hanya hari Senin saja siswa memakai seragam batik khas SD Tumbuh. Hari Selasanya mengenakan kaos, dan selanjutnya pakaian bebas.
Tentu ini menarik, karena suasana di sekolah pun jadi lebih santai.
Kedua, tentang proses pengajaran di kelas. Menurut cerita Danang, siswa di SD Tumbuh tidak pernah membawa buku.
“Kalau disuruh nulis, mereka kurang cakap. Tulisannya jelek-jelek.” katanya diiringi tawa.
“Lalu bagaimana proses belajar di kelas?” saya kemudian bertanya.
Dialog dan diskusi, kata Danang. Topiknya bermacam-macam. Tapi lebih ditekankan tentang lingkungan sekitar, tentang kehidupan, dan hal-hal yang berhubungan dengan karakter.
Siswa hanya membawa tas pada saat kelas ada projek tertentu, untuk membawa barang-barang yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran.
"Dua minggu ini, aku kan lagi ada program pembuatan diorama. Jadi siswa ya bawa barang-barang untuk keperluan pembuatan diorama." katanya.
Ketiga, tentang bagaimana siswa diperlakukan dan bagaimana hubungan mereka dengan guru.
Di sekolah ini, siswa juga dilatih untuk jujur dan berani mengungkapkan pikiran dan perasaannya.
Danang katanya pernah mendapatkan teguran dari siswanya. Misalnya ketika bajunya keluar dan pinggang atau celana dalamnya kelihatan.
Dia juga pernah diinterupsi oleh siswa gara-gara masuk kelas tanpa mengetuk pintu. Dia pun kemudian keluar dan mengulangi masuk kelas dengan mengetuk pintu terlebih dahulu.
“Ketika guru ada salah pun, mereka juga berani mengoreksi.” kata Danang.
Keempat, soal jam mengajar. Danang mengajar siswa di kelas tiga. Jumlah siswanya hanya 20. Itu pun gurunya ada dua, sehingga jam mengajarnya sangat sedikit. Dalam seminggu dia hanya mengajar tak lebih dari 12 jam (per jam 35 menit).
Jam belajar di sekolah ini juga hanya sampai jam 1. Tidak seharian penuh seperti di sekolah-sekolah lain di Jogja.
Saya kemudian bertanya kepada Danang tentang lingkungan kerja di SD Tumbuh. Jadi, hal menarik kelima ada tentang lingkungan kerja di SD Tumbuh.
Kata dia, di SD Tumbuh tidak ada kantor. Sehingga antarguru jadi kurang terlalu akrab, kecuali dengan partner mengajar di kelas. Guru datang ke sekolah langsung berinteraksi dengan siswa.
“Sisi negatifnya jadi kurang akrab, tapi ada sisi positifnya juga. Jadi tidak ada gibah.” katanya.
Teman saya, Faruq, yang kebetulan juga seorang guru SD langsung membenarkan Danang.
“Betul, di kantor itu kalau tidak gibah ya ngerasanin Kepala Sekolah.” sahut guru muda yang baru saja keterima sebagai PNS di Kota Yoja ini.
Oh iya, masih ada lagi. Soal pendaftaran ke sekolah ini.
Jadi, menurut cerita Danang, setiap siswa yang didaftarkan ke sekolah ini akan dites kebutuhannya,
"Setiap anak itu kan unik dan punya kebutuhan khusus. Ada yang butuh kemampuan bersosialisasi, ada yang berkebutuhan khusus, ada juga yang butuh kasih sayang lebih, dan lain sebagainya." ujar Danang.
Pendeteksian kebutuhan calon siswa ini nantinya yang akan menjadi dasar bagi guru dan sekolah dalam memperlakukan siswanya.