Sepasang Kekasih yang Beradu Tangis Saat Senja - Jurnal Darul Azis

Sepasang Kekasih yang Beradu Tangis Saat Senja

Sepasang Kekasih yang Beradu Tangis Saat Senja


Prolog, kesaksian Sebuah Kursi

Ia datang saat orang-orang di kota ini sedang berhamburan keluar dari kantor dan bergegas menuju rumahnya masing-masing. Ia bukan bukan orang asing bagiku. Dulu sekali, aku sering melihat ia datang kemari bersama kekasihnya untuk menikmati pemandangan matahari terbenam. Itu mereka lakukan secara rutin seminggu dua kali, hingga kemudian mereka menghilang entah ke mana.

Hari ini, aku seperti ditarik ke pusaran masa lampau saat kulihat seorang laki-laki berusia awal 30-an datang menghampirinya. Ia bukan orang yang asing pula bagiku. 

“Hai, apa kabar? Sudah lama menunggu?” laki-laki itu menyapanya dan terlihat agak canggung. 

“Kabarku baik dan aku baru saja datang.” perempuan itu menjawab tegas. 

“Syukurlah,” sahut laki-laki itu, “aku pesan minuman dulu.”

“Sudah aku pesankan. Capucino latte kan?"

Laki-laki itu mengangguk. Lalu tersenyum ringan. 

“Ingatanmu begitu baik.” 

Seketika pipi perempuan itu memerah, disusul tatapan nanar dan senyum canggung dari laki-laki yang datang dari masa lalu itu.

Sepasang kekasih itu sore ini berjumpa lagi. 

***
Hari ini adalah pertemuan pertamaku dengannya setelah tiga tahun kami tidak bertemu. Kami bertemu di sebuah kedai  kopi favorit kami ketika dulu masih pacaran. Di kedai kopi ini, dulu kami biasa menyaksikan pemandangan matahari terbenam bersama-sama. 

Ia mengajakku bertemu di sini karena ingin melihat kondisiku yang sekarang. Aku tak kuasa menolak, karena faktanya aku juga merindukannya. Menginginkannya….

Dia masih seperti yang dulu. Tampan dan mengagumkan. Masih seperti saat pertama kami berjumpa pada sebuah acara pameran seni.

Sore ini, aku kembali terpesona dengannya. Lagi dan lagi….

Tapi, ada sesuatu yang sebenarnya telah berubah dan aku merasa pahit untuk mengatakannya. Ia kini sudah beristri, sementara aku masih sendiri.

Empat tahun yang lalu hubungan kami baik-baik saja. Saat itu aku masih cukup muda dan belum memiliki kemampuan mengendalikan emosi dengan baik. Kami menjalin hubungan jarak jauh. Aku sering uring-uringan padanya. Meminta banyak hal yang muaranya adalah curahan perhatian untukku. Sepenuhnya. 

Ia tipe lelaki yang sangat penyayang. Juga penyabar. Ia menghadapi aku yang masih kekanakan tanpa pernah mengeluh. Hanya saja saat itu, ia memang sedang sibuk merintis usaha barunya. Aku kurang memahami hal itu, dan baru menyadarinya sekarang. Betapa bodohnya aku dulu. 

Ia laki-laki yang sangat baik. Di tengah kesibukannya, ia masih menelponku setiap malam untuk bertukar cerita. Kalau saat itu aku sudah mampu berpikir dengan baik, seharusnya itu sudah lebih dari cukup. 

Hubungan kami perlahan mulai memburuk karena aku yang terus-menerus bertingkah kekanakan. Seorang laki-laki datang padaku dan memberikan yang tak ia tak mampu berikan: waktu, perhatian, dan rayuan. Aku mulai terbuai. Tak berselang lama kemudian aku memutuskan hubungan dengannya. 

Dari sinilah malapelata itu bermula. Ketika hubungan kami semakin rekat, laki-laki yang mendekatiku itu pada suatu malam memaksa aku untuk berhubungan badan dengannya. Dia menjebakku untuk masuk ke apartemennya. Aku sempat menolak tapi dia mengancamku dengan pisau dan membenamkan bantal pada wajahku.

Malam itu dia berhasil memperkosaku dan itu adalah seks pertama dan terakhirku sejauh ini. Teringat peristiwa itu, aku merasa hancur. 

Untunglah, meski ketakutan, saat itu aku masih bisa pulang ke rumah. Aku langsung menghubunginya, yang pada saat itu sudah punya pacar, istrinya yang sekarang. Dia kecewa padaku karena kutinggalkan, lalu dia buru-buru mencari pacar baru sebagai pelarian dan pelampiasan rasa kecewanya padaku.

Sambil menangis pedih, aku menceritakan semua kejadian pilu itu padanya. Dia murka dan ingin membunuh laki-laki itu. Tapi aku mencegahnya. Aku tak ingin semuanya menjadi panjang dan runyam. 

Esoknya kami bertemu. Kami berdiskusi tentang sesuatu hal yang amat serius, panjang, dan melelahkan. Keputusan akhirnya adalah ia tidak bisa menerimaku. Baginya keperawanan adalah hal yang sangat berharga. Apalagi, aku melakukan (Apa? Melakukan? Aku tertimpa!) itu setelah kenal dengannya. Jadi baginya itu bukanlah masa lalu yang bisa dimaklumi. Ia menganggap itu sebagai sebuah pengkhianatan. 

Kami berpisah lagi. Berpisah yang benar-benar berpisah. Tak lama kemudian dia menikah, dan aku melanjutkan hidup dengan trauma dan penyesalan. Aku tak kuasa untuk datang ke pernikahannya. Itu terlalu menyakitkan.

Sembari menyembuhkan luka, aku mencoba berhubungan dengan laki-laki baru. Tapi aku sadar aku tak melakukannya sepenuh hati. Aku tak terlalu yakin. Aku sekadar mencari peruntungan.

Perjalananku ternyata tak mempertemukan aku dengan laki sebaik dia. Itu kemudian membuatku menyadari satu hal; dulu aku menggenggam pemata dan dengan sengaja melemparkannya ke jalanan. Kesadaran itu membuatku semakin menyesal.

Sekarang dia sedang menatapku. Lekat sekali. Aku tersipu. Aku berpura-pura membetulkan rambutku, padahal rambutku tidak sedang berantakan. Aku melakukannya karena tahu dia menyukai gerakan itu. 

“Tunggu sebentar ya, aku sebenarnya sedang menulis momen ini.” 

“Dasar!”

Sekarang dia sedang berlinang air mata. 

“Rasa sayangku padamu ternyata masih sama seperti dulu”. 

Aku tak pura-pura tak menghiraukan ucapannya dan terus lanjut menulis. 

“Dari tadi aku hanya berpikir, ‘Ya Tuhan aku begitu mencintai perempuan ini. Bagaimana ini Tuhan?’. Dan Tuhan tidak menjawab.” 

Mendengar dia berkata seperti itu, entah mengapa aku langsung merinding. Tanganku menjadi dingin. Aku berhenti menulis dan meletakkan hapeku.

“Aku ingin kita rutin bertemu di sini, seperti dulu. Aku sangat membenci perselingkuhan tapi sekarang aku sedang melakukan itu denganmu.” 

Dia tidak berani memegang tanganku, padahal aku menantikannya. Aku tidak melihat ada cincin pernikahan yang melingkar di jarinya. 

“Ini salah.” hatiku memberontak, “tapi, ini sangat indah dan luar biasa.” sisi hatiku yang lain membela.

Suasana hening. Aku tenggelam dalam kecamuk hatiku.

Kami sudah lelah menyangkal. Kami terlalu saling mencintai. Setelah merenung bertahun-tahun tanpa kabar, hari ini kami kembali mengungkapkannya. Melalui tatapan mata. 

Hujan turun tiba-tiba turun begitu derasnya, dari sudut mata kami. Kami menangis bersama, tanpa kata. 
Please write your comments