Di dunia ini ada manusia yang dilahirkan untuk sebuah peran khusus, yakni sebagai perantara pertemuan cinta sepasang manusia lain. Perancang tata letak bangunan di sebuah sekolah di era 80-an contohnya.
Ketika dia merancang tata letak bangunan sekolah tingkat menengah atas oleh kepala sekolah, dia mungkin tak pernah berpikir bahwa idenya membangun kantin di depan kelas akan menjadi tonggak sejarah bertemunya sepasang kekasih muda di sekolah itu.
Jika kisah asmara itu tidak muncul, barangkali buah kerjanya akan mendapatkan hujatan dan mengundang perdebatan, karena dianggap sebagai sebuah kesalahan. Atau, jika kantin itu masih ada hingga kini, barangkali akan menjadi bulan-bulanan netizen negara +62 di media sosial, lalu "diberitakan" oleh Tribunnews dot com dengan judul-judul yang klikbait.
"Kantin di depan kelas dapat mengganggu konsentrasi belajar siswa." demikianlah menurut para pengamat pendidikan.
"Kantin di depan kelas tidak menggambarkan kerapihan." kata para penyuka kerapihan.
"Kantin di depan kelas membuat siswa tidak leluasa merokok." kata para siswa perokok berseloroh, didukung aktivis Boleh Merokok dan para perusahaan rokok.
"Yang seharusnya di depan sekolah itu lapangan olahraga," kata para siswa atlit, diamini oleh salah satu mantan Menteri Olahraga era SBY, Roy Suryo.
"Bukan! Di depan kelas tu harusnya ya taman, biar indah dan adem," para penyuka tanaman membantah.
"Kantin di depan sekolah hanya jadi tempat pacaran siswa, sebaiknya dibongkar saja." tulis admin Aktivis Indonesia Tanpa Pacaran di akun instagramnya.
"Sudah betul itu. Kantin di depan kelas dapat mencegah siswa laki-laki dari merokok secara sembunyi-sembunyi." kata para aktivis antirokok membela perancang tata letak bangunan.
Tapi ternyata perdebatan itu tidak pernah terjadi hinga kini. Kantin di depan kelas tetap abadi sebagai saksi kisah asmara.
Memang demikianlah kisah kasih di sekolah, selalu menarik dan membuat banyak manusia dapat segera melupakan kesalahan dan perdebatan takpenting. Tapi tidak termasuk kisah kasih di sekolah yang tentang siswa yang sudah mencuri waktu dan berdusta pada guru karena akan bertemu pacarnya di sudut sekolah, namun ternyata pacarnya tak kunjung datang yang artinya adalah siswa tersebut sudah ditipu pacarnya, ya.
Kisah kasih di sekolah yang menarik yang kumaksud ialah ketika seorang siswa meminjam buku kekasihnya dan lalu dia menulis sajak cinta di sana. Itu adalah kisah kasih yang literat. Kupastikan, dia pembaca buku yang baik. Menyukai karya sastra.
Jika bukan pembaca buku, mana mungkin dia dapat berpikir bahwa cinta itu soal hati dan bukan soal usia?
Dan sekarang, dia mungkin sudah berpikir lebih luas lagi. Bahwa cinta itu soal hati dan kemampuan ekonomi, bukan soal kesamaan preferensi politik, ideologi, suku, agama, status kewarganegaraan, dan perbedaan jenis kelamin.
Eh gimana-gimana?