Islam Melokal dan Islam Mengorisinal - Jurnal Darul Azis

Islam Melokal dan Islam Mengorisinal

Islam Melokal dan Islam Mengorisinal


Di hadapan Tuhan semua manusia derajatnya/Ilustrasi via Infostormer.Com

Ada hal menarik sekaligus berbeda ketika saya donor darah di UPTD RS. Dr. Sardjito beberapa waktu lalu. Meski cukup sensitif, saya merasa perlu menuliskannya di sini dengan harapan dapat dipahami sebagai suatu khasanah pemikiran oleh para pembaca.

Ketika saya menanti giliran untuk proses pengambilan darah, tampak beberapa laki-laki bercelana cingkrang, berjenggot, serta tak lupa, ada kopyah yang menutupi kepalanya memasuki ruang UTPD RS. Dr. Sardjito –selama ini orang yang berpenampilan seperti itu kerap kali dipandang sebelah mata oleh sebagian (besar) orang, baik orang Islam sendiri maupun orang di luar Islam. Saya juga sempat tercengang menyadari kedatangan mereka yang “beramai-ramai” itu. Namun untungnya, pikiran saya tak sampai pada kelompok FPI maupun ISIS yang kerap bikin ulah dan mencemarkan nama baik Islam itu. Ini lantaran kedatangan mereka ternyata untuk mendonorkan darah –saya ketahui jawaban itu langsung terlontar dengan penuh kelembutan ketika sang resepsionis menyapa dan menanyakan keperluan mereka.

Setelah mengisi formulir, mereka  lantas menanti giliran dengan sabar, berbincang-bincang, dan sesekali terlihat senyum mereka yang sangat meneduhkan. Saya mengamatinya dengan cukup seksama untuk beberapa saat hingga akhirnya saya dipanggil duluan oleh petugas donor darah untuk pengambilan darah. Untungnya, tak lama kemudian  salah satu di antara mereka menyusul dan saya berkesempatan untuk berada di satu ruang dan kesempatan yang sama (pengambilan darah) dengannya.


Dua Golongan Orang Islam
Peristiwa itu pada akhirnya  mengingatkan saya pada perbedaan pandangan berkepanjangan yang sampai saat ini malah cenderung memanas. Mereka yang berislam secara fanatis, mengecam golongan lain yang berislam secara moderat. Pun sebaliknya, mereka yang berislam secara moderat, tak jarang juga mengolok-olok –kadang ada juga yang mengecam dengan nyinyir- golongan lain yang berislam secara fanatis. Tak hanya itu, untuk kasus di Indonesia, konflik antara orang Islam dengan orang di luar Islam juga masih sering terjadi. Namun untuk kasus yang terakhir, kita bahas lain waktu saja. Tulisan ini akan berfokus pada perdebatan-perdebatan panjang antar umat Islam itu sendiri.

Atas fenomena yang demikian itu, agaknya semakin ke sini, semakin banyak saja orang yang lupa bahwa di Indonesia, sebenarnya hanya ada dua golongan orang islam : Islam melokal dan Islam mengorisinal.  Nama-nama atau golongan yang lain di luar itu, sebenarnya tak lebih dari organisasi, kelompok majelis ilmu, kelompok ngaji bareng, dan kelompok bermain dan diskusi.

Tujuan kedua golongan orang Islam tersebut pun sebenarnya juga sama-sama baik dan benar –tentu dalam konteks kebebalan saya. Sehingga kita perlu bermimpi ada kemanunggalan paham antar keduanya, agar tidak lagi saling ngrasani, apalagi saling membenci dan menyalahkan. Tentu secara totalitas pula, bukan sepaham ketika di depan saja, ketika di belakang mereka kembali ke kondisi semula. Tak lain agar upaya-upaya yang ditempuh tidak lantas menjadi kesia-siaan belaka.

Apa sebenarnya tujuan dua golongan orang islam tersebut di atas? Hanya satu : untuk menjadikan (manusia) Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (universal). Itu saja. Mohon dicatat dengan seksama agar tidak lagi menimbulkan salah tafsir dari pembaca.

Bagi golongan orang Islam melokal, cara mereka memahami Islam sarat dengan nilai-nilai lokal. Mereka berupaya menjadi orang Islam yang toleran, memahami orang di luar Islam juga sebagai saudara, makhluk Allah yang juga berhak untuk diperlakukan sebagaimana layaknya manusia. Golongan ini memiliki pemahaman bahwa untuk menjadi orang Islam yang baik hendaknya dicapai melalui proses menjadi manusia terlebih dahulu, baru menjadi orang Islam –demikian jika hendak diungkapkan dengan istilah yang kasar. Fanatisme yang berlebih sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang entah benar-benar Islam atau bukan itu, menurut mereka, karena disebabkan oleh ketidakpahamannya tentang bagaimana menjadi manusia yang baik –untuk kemudian menjadi manusia Islam yang baik.

Sedangkan bagi golongan Islam mengorisinal, cara mereka memahami Islam sarat dengan nilai-nilai orisinal sebagaimana telah mereka tafsirkan dari Al-Qur’an dan Hadist. Mereka berupaya untuk menjadikan Islam berikut penganutnya sebagai (manusia) Islam yang murni, dengan menjalankan apa-apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad. Golongan ini memiliki pemahaman bahwa untuk menjadi (manusia) Islam yang baik, hendaknya dicapai melalui proses pemurnian akidah. Terlalu longgar dan toleran terhadap yang bukan orang dan nilai-nilai di luar Islam, dikhawatirkan oleh mereka akan merusak akidah dan kemurnian Islam.

Alhamdulillahnya, saya termasuk orang bejo, karena pernah menjadi bagian dari keduanya. Saya pernah menjadi manusia Islam melokal dan juga pernah berupaya menjadi manusia Islam yang mengorisinal. Bejonya lagi, ketika berada di antara kedua golongan orang Islam itu, saya justru merasakan dan mendapati sikap rahmatan lil alamin sebagaimana yang diharapkan oleh orang Islam. Di tengah-tengah orang Islam melokal, saya merasa tenteram, dikasihi, disayangi, dihormati, dihargai, dimanusiakan, dan tentu saja diislamkan. Begitu pun di ketika berada di tengah-tengah orang Islam yang mengorisinal, saya bisa merasakan hal yang sama. Di luar dugaan saya, mereka juga sangat toleran, menenteramkan, pengasih, penyayang, humanis, dan tentu saja -sekali lagi- mengislamkan.

Apa yang menjadikan mereka seperti itu? Setelah mengamati dalam kurun waktu yang cukup lama, akhirnya saya memberanikan diri untuk mengambil kesimpulan ini. Mereka menjadi seperti itu tak lain karena mereka memahami Islam dengan segenap totalitasnya. Tidak setengah-setengah. Tidak seayat-seayat. Tidak sehadist-sehadist. Apalagi cuma seguru-seguru. Itulah kunci sebenarnya. Sedangkan bagi mereka (baik yang melokal ataupun yang mengoriginal) yang dalam memahami Islam secara setengah-setengah, jadilah mereka manusia Islam yang tidak rahmatan lil ‘alamin, intoleran, sukanya menyalah-nyalahkan, membid'ah-bid'ahkan, mengkafir-kafirkan, tidak humanis, bengis dan kejam terhadap orang Islam maupun di luar Islam serta perilakunya sering kali malah merusak Islam itu sendiri. Pendeknya, dengan sesama Islam saja mereka bisa saling bunuh, apalagi kok dengan yang di luar Islam. Sampai di sini izinkanlah saya untuk meralat penggolongan orang Islam di Indonesia sebagaimana telah saya sebutkan di muka. Di bumi pertiwi ini, juga mungkin di dunia ini,  hanya ada satu golongan orang Islam, yakni orang Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Orang Islam yang -kalau benar-benar bisa memahami Islam secara penuh- bisa menjadi pengayom, pelindung, penjaga, dan penyayang untuk semua makhluk di muka bumi ini.

Dengan demikian, selanjutnya kita bebas memilih hendak menjadi Islam yang melokal ataupun yang mengoriginal, dengan syarat : tetap berpengangan teguh pada prinsip bahwa (manusia) Islam itu rahmatan lil ‘alamin.  Caranya, saya merasa kok ndak ada cara lain selain dengan memahami Islam secara utuh dan tidak pernah berhenti untuk belajar Islam. Bahkan setelah merasa secerdas dan sesaleh apapun kita.

Kita juga perlu terus mengingat, bahwa Rasulullah  telah mencontohkan untuk seluruh umat manusia di bumi ini tentang bagaimana menjadi rahmatan lil ‘alamin. Beliau tidak mengajarkan kita untuk hanya menjadi rahmatan lil islamin, rahmatan lil kelompokin, rahmatan lil sukuin, ataupun rahmatan lil sepahaman. Tidak. Rasullullah tidak seperti itu. Beliau tidak parsial orangnya. Masak kita mau seperti itu. Nanti bid’ah dong namanya. Sesat dong nanti. Naudzubillah min dzalik.

Yogyakarta, 25 Maret 2015



     


Please write your comments