Kiriman (Bubuk Kopi) dari Kampung : Antara Sebuah Kode, Wahyu Tuhan, dan Sensitifitas Mahasiswa Tingkat Akhir - Jurnal Darul Azis

Kiriman (Bubuk Kopi) dari Kampung : Antara Sebuah Kode, Wahyu Tuhan, dan Sensitifitas Mahasiswa Tingkat Akhir

Kiriman (Bubuk Kopi) dari Kampung : Antara Sebuah Kode, Wahyu Tuhan, dan Sensitifitas Mahasiswa Tingkat Akhir

                            Oleh : Empunya Blog

Selama empat tahun tinggal di Jogja, ini kali kelimanya saya menerima kiriman dari kampung halaman, yang cara pengirimannya amat tidak mainstrim di era sekarang ini : dititipkan kepada orang-orang yang kebetulan sedang menuju Jogja. Cara seperti ini dulu amat populer, sebelum kemudian jasa pengiriman paket menggeser popularitasnya. Para santri, pelajar, dan buruh rantau pasti pernah mengalami peristiwa paling menggelisahkan sekaligus menggembirakan itu.
Kiriman pertama saya terima pada tahun 2012, ketika tetangga saya yang kuliah di Jogja sedang pulang kampung. Waktu itu saya dikirimi sekardus duku. Kedua, tahun 2013, ketika ada rombongan studi tour dari bekas sekolah saya dulu, saya dikirimi gula, bubuk kopi, dan kemplang, dan keripik singkong. Ketiga, di tahun 2014, ketika ada rombongan study tour sekolah yang sama, kirimannya tak jauh beda dengan tahun-tahun sebelumnya. Keempat, bulan April kemarin, ketika ada rombongan studi tour sebuah SMP di kampung saya. Isi kiriman mengalami sedikit modifikasi, ada tambahan untir-untir (makanan yang mirip dengan peler enthog). Dan yang termutakhir kemarin ini, ketika seorang tetangga kampung  yang kuliah di Jogja sedang mudik lebaran –sementara saya tidak. Saya dikirimi kue-kue lebaran, yang saya yakini itu bukan sisa, melainkan sengaja dialokasikan untuk saya. (Saya takut kalau bilang “disisakan”, nanti  kualat, kan ya malah repot) 
Selamat lebaran =D.

Jika Anda pernah ngobrol-ngobrol dengan pelajar perantau zaman dulu, pasti Anda akan memperoleh cerita-cerita yang mengharukan dan menyentuh syaraf keromatikan Anda. Tapi bukan yang tentang cinta-cintaan. Melainkan tentang liku-liku hidup perantau. Salah satunya mengenai kiriman dari kampung halaman. Saya sering mendapatkan cerita yang unik dan menggelikan dari mereka. Misalnya soal kegelisahan menunggu kiriman yang baru akan sampai setelah berminggu-minggu lamanya –cerita ini saya dapatkan dari para perantau yang berasal dari ujung barat dan timur negara ini yang sedang mondok di pulau Jawa. Ada lagi cerita tentang kebahagiaan tak terkira mereka, ketika kiriman sudah sampai di tangan, alamak jang, semua rasa jadi satu waktu itu, kata mereka. Itu hanya sebagian kecil cerita. Anda bisa menggalinya sendiri dari orang-orang di sekitar Anda, yang tentu saja pernah merantau. Biasanya, tak lupa mereka juga akan berkata “Kalian sekarang enak, uang kiriman tiap bulan ada, bahkan lebih dari cukup jumlahnya. Minta pagi, siang sudah dikirim, langsung sampai lagi. Kami dulu enggak.”
            Di era dunia dalam genggaman seperti saat sekarang ini, saya sungguh beruntung bisa merasakan romantika macam itu. Ini bukan soal kiriman uang yang hanya akan sampai dalam hitungan detik itu. Bukan. Kalau hanya soal itu, demi Tuhan, saya tidak akan menuliskannya, apalagi kok sampai memblog-kannya. Ini “hanya” soal kebahagiaan saya ketika menerima itu kiriman. Meskipun sebenarnya tulisan ini saya jadikan sebagai ungkapan kebahagiaan itu, tapi sungguh, ternyata tulisan ini tidak sanggup mewakili kebahagiaan saya.
            Dalam setiap jenis barang yang dikirimkan, juga sangat filosofis. Di antaranya ada kopi, cemilan, dan beberapa lembar uang. Mengenai kopi, barangkali Anda bisa membaca bukunya Dee Lestari, tanpa perlu saya jelaskan di sini. Soal camilan, barangkali Anda juga bisa bertanya kepada para pejuang diet yang tak mau berhenti ngemil. Sedangkan soal uang, Anda juga bisa bertanya kepada money-holic yang bertebaran di sekitaran Anda.
           
Kopi Lampung niku kopi aseli (Didi Kempot)


Dan kemarin ini, saya dikirimi kopi sekaleng penuh oleh Emak saya. Ukuran kaleng roti lagi. Padahal biasanya tidak, paling-paling cuma seplastik setengah kiloan. Ini sungguh di luar ekspektasi saya. Sambil mesam-mesem, saya kemudian mikir dan berprasangka, sepertinya ini kode keras dari Emak saya.

            “Minum kopi yang banyak kau Nak, biar betah begadangnya, cepat selesaikan itu skripsi.”  Suara itu tiba-tiba terngiang-ngiang, tepat ketika saya memandangi bubuk kopi di kaleng itu.
            Entahlah, sampai sekarang saya masih bertanya-tanya, apakah itu memang beneran kode dari Emak saya, wahyu Tuhan, atau memang dasar sayanya yang terlalu sensitif. Wallahu a’lam bisshawwab.  
            Yang jelas, saya bisa minum kopi dengan sepenuh nikmat sekarang. Tapi sayang, bikin sendiri melulu. Minumnya pun sendiri. *loh


Ternyata, ada uang di balik kacang. Rupiah di dompet pun tak jadi melemah. Alhamdulillah =D

             

Please write your comments