Media Sosial dan Jurnalisme Warga - Jurnal Darul Azis

Media Sosial dan Jurnalisme Warga

Media Sosial dan Jurnalisme Warga


 
Beberapa hari yang lalu, netizen Indonesia kembali heboh, menyusul aksi berani seorang pengendara sepeda, Elanto Wijoyono bersama beberapa warga,  yang mencegat konvoi motor gede (moge) di perempatan Jalan Lingkar Utara, Condongcatur, Sleman. 

Aksi tersebut dilakukan karena konvoi moge dinilai melanggar rambu-rambu lalu lintas, arogan, dan cenderung mengabaikan hak-hak pengendara lain. 

Tak pelak, tanpa perlu waktu yang lama, foto aksi berani tersebut menyebar ke media sosial dengan berbagai komentar-komentar -yang kebanyakan berupa dukungan- dari para penyebarnya.

Dari sini saya memberanikan diri untuk berasumsi bahwa media sosial telah mampu mengubah kepekaan sosial para penggunanya; yakni membuat gerakan sosial melalui media sosial. 

Kemauan untuk menyebarkan informasi yang dirasa aktual, penting, dan menarik untuk diketahui publik melalui media sosialnya masing-masing adalah bukti adanya gerakan sosial ini. 

Pengguna media sosial tanpa sadar telah berubah menjadi produsen dan pemasar informasi secara viral dengan berbagai caranya yang aktif, reaktif, dan kreatif.

Bagaimana tidak, saat ini hampir sebagaian besar masyarakat telah memiliki hp berkamera, sehingga dapat dengan memotret peristiwa yang terjadi di sekitarnya lalu menyebarkannya ke media sosial. 

Dengan dukungan foto, video, dan sedikit tulisan, masyarakat sudah dapat dengan mudah memproduksi informasi. Tanpa harus bisa menulis berita sesuai kaidah jurnalistik, asalkan benar dan dapat dipercaya.

Informasi yang disampaikan pun cenderung singkat dan lugas. Biasanya informasi-informasi tersebut diposting di grup-grup media sosial berdaya interaksi tinggi. 

Sehingga mudah mengundang respon banyak orang. Dalam hal ini kita bisa ambil contoh grup facebook Info Cegatan Jogja, yang juga acap kali menjadi rujukan informasi bagi media-media online terkait peristiwa terkini yang terjadi di Jogja.

Selanjutnya, publiklah yang kemudian akan menilai apakah informasi tersebut perlu disebar ulang atau tidak. 

Dari sini pulalah kemudian opini publik akan terbentuk oleh lalu lintas topik pembicaraan di media sosial. 

Barulah kemudian media online dan media cetak yang akan menindaklanjuti, mengemasnya menjadi sebuah berita yang lebih mendalam lagi. 

Mungkin Zuckerberg, Chad Meredith Hurley, Jack Dorsey, Andrew Darwis, Jan Koum dan Brian Acton, Kevin Systrom dan Mike Kriege, dan Lee-Hae-Jin pun sama sekali tak menyangka media sosial hasil besutannya telah menjadi alat yang efektif bagi warga Indonesia untuk memproduksi dan mendistribusikan informasi. 

Masyarakat kita telah menjelma menjadi jurnalis, meski hanya melalui media sosialnya masing-masing. Tanpa pamrih dan tendensi apa pun kecuali menginformasikan peristiwa dengan sebenar-benarnya. 

Tak berorientasi profit, bahkan tak jarang jurnalisme dari warga ini justru mengandung gerakan sosial dan kemanusiaan, karena di dalamnya ada upaya tolong menolong misalnya. 

Sederhana memang, namun Penulis yakin, hal-hal semacam inilah yang kelak akan membuat Indonesia semakin lebih baik lagi, di usianya yang semakin dewasa ini. 

Sebab biar bagaimana pun juga, meminjam keyakinan Rusdi Mathari, jurnalistik bukanlah monopoli wartawan semata. Warga memiliki hak atasnya.

Dirgahayu Republik Indonesia.

(Artikel pendek ini sebelumnya telah dimuat di kolom Pojok Digital Skh. Kedaulatan Rakyat pada 18 Agustus 2015. Postingan di blog ini sudah dengan sedikit polesan)

Please write your comments