Kompleksitas Kasus Kebakaran Hutan di Indonesia - Jurnal Darul Azis

Kompleksitas Kasus Kebakaran Hutan di Indonesia

Kompleksitas Kasus Kebakaran Hutan di Indonesia


Sumber gambar dari sini

Oleh : Darul Azis

Banyaknya kasus kebakaran hutan yang melanda beberapa daerah di Indonesia  lagi belakangan ini seharusnya sudah tidak dianggap sebagai persoalan sepele. Karena sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu, kasus serupa terus-menerus terjadi. Setiap tahun, ketika musim kemarau tiba, asap selalu memenuhi hutan-hutan di Indonesia. Sudah semestinya, perhatian dan penanganan yang lebih serius segera diupayakan, dari hulu ke hilir mengingat begitu kompleksnya permasalahan terkait ‘event’  tahunan ini.


Kemarau dan El-Nino

Pada Agustus lalu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyampaikan bahwa Gejala alam El-Nino yang diperkirakan terjadi hingga November mendatang berpotensi besar dalam meningkatkan kasus kebakaran hutan di Indonesia. Beberapa daerah yang rawan terhadap bencana kebakaran hutan antara lain Jambi, Sumsel, Pekanbaru, Riau, Rengat, Pelalawan, Kalimantan (BBC, 26/8). Sedangkan untuk wilayah Jawa Tengah, beberapa hutan lereng gunung juga telah terbakar, yakni Gunung Merbabu, Gunung Lawu, Gunung Merapi, dan Gunung Ungaran.  Tak hanya itu, hutan Gunung Papandayan di Garut Jawa Barat pun tak luput dari api, sekitar 200 ha hutan terbakar hangus (Tempo, 10/9).

Terkait hal ini, kita dapat belajar dari hasil publikasi World Resources Institute (2014) yang menerangkan bahwa kebakaran hutan terbesar yang terjadi pada tahun 1982-1983, dikarenakan dampak dari fenomena iklim El-Nino –di samping program pengelolaan hutan di era Presiden Soeharto yang buruk kala itu. Kebakaran hutan pada saat itu tidak dapat dikendalikan sampai musim hujan tiba kembali pada bulan Mei 1983. Sejak saat itu, sekitar 3,2 juta ha habis terbakar; dari areal ini, 2,7 juta ha adalah hutan hujan tropis. Beberapa tahun berikutnya, yakni pada tahun 1991, kebakaran hebat kembali terjadi. Dalam kurun waktu antara tahun 1991-1994, terdapat setidaknya 5,5 juta ha hutan terbakar. Tak berhenti sampai di situ, terhitung dari tahun 1997-1998, terdapat sekitar 9,76 juta ha hutan di Indonesia mengalami kerusakan akibat kebakaran.


Perilaku Oknum di Daerah

Kebakaran hutan menimbulkan dampak yang amat luas, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, kebakaran hutan dapat berdampak pada penurunan derajat kesehatan masyarakat, penurunan kunjungan pariwisata dan terhambatnya transportasi penerbangan. Sedangkan dalam jangka panjang, dapat berdampak pada ancaman krisis bahan pangan dan rusaknya keragaman hayati.

Oleh karena itu, diperlukan adanya penataan dan penegasan pengusahaan hutan dan sumberdaya alam lainnya, membenahi konsep pengelolaan hutan, dan yang tak kalah penting lagi adalah diperlukannya kebijaksanaan dalam pemanfaatan dan program pelestariannya. Keterlibatan berbagai pihak dalam memperbaiki kondisi hutan menjadi penting, termasuk koordinasi antar instansi, partisipasi masyarakat dan kemitraan usaha. (Baiquni, 2002 : 82)

Selain itu, guna mencegah kerusakan hutan yang lebih parah, kita juga perlu mewaspadai adanya konspirasi dan kontrak politik menjelang digelarnya Pilkada pada Desember mendatang ini. Karena dalam banyak kasus, kebakaran hutan di Indonesia diindikasikan sengaja dilakukan dalam rangka pengalihfungsian hutan menjadi lahan perkebunan. Inilah sebabnya, meski berkali-kali kita mempertanyakan pertanggungjawaban kepala daerah atas banyaknya kasus kebakaran di daerahnya, tiada satu jawaban pun didapat. Karena banyak sekali oknum-oknum di daerah yang memang terlibat di dalamnya.

Di bawah kekuasaan pemerintah daerah, pengalihfungsian hutan menjadi lahan perkebunan cenderung tidak terkendali dan hanya berorientasi investasi, tanpa memerhatikan kelangsungan dan pelestarian hutan. Hal ini pula yang menjadikan upaya penegakan hukum atas perusakan hutan menjadi lemah. Karena hukum “tahu sama tahu” sudah terlebih dahulu berlaku.

Oleh sebab itulah --sekali lagi--, penanganan kebakaran hutan menahun di beberapa daerah di Indonesia memerlukan keseriusan dari pemerintah, mengingat masalahnya yang begitu kompleks, baik karena kondisi hutan yang rentan terhadap api (gambut), karena perubahan iklim, maupun karena ulah oknum-oknum perusak hutan dengan segala modus operandinya. Seperti halnya mengurai benang kusut, yang diperlukan hanyalah ketekunan, kesabaran, keseriusan, dan konsentrasi penuh dari si pengurai. Satu hal lagi yang harus kita ingat adalah kita tidak akan bisa hidup tanpa hutan, karena hutan telah diciptakan Tuhan sebagai penopang kehidupan umat manusia. Kita adalah hutan. Hutan adalah kita. Demikian.


Please write your comments