Tak Ada Kata Mahal untuk Produk Lokal - Jurnal Darul Azis

Tak Ada Kata Mahal untuk Produk Lokal

Tak Ada Kata Mahal untuk Produk Lokal


“Nggih tasih laris Mas. Sak niki kan zamane malah pada seneng kerajinan kayu karo bambu. Barang-barang sangka plastik kan sak niki malah dikurangi.”
Demikian pengakuan seorang pedagang Pasar Beringharjo, Ibu Rum, yang menjadi informan penelitian saya ketika saya bertanya tentang kinerja penjualan produk-produk kerajinan di kiosnya. Menurut kesaksiannya, produk-produk kerajinan yang ia jual, hingga saat ini masih banyak diminati pembeli. Kerajinan bambu dan kayu yang ia jual merupakan produk lokal, dibuat oleh pengrajin DIY (Sleman, Bantul, dan Gunungkidul), Jawa Tengah (Magelang, Cilacap, Wonosobo), dan Jawa Timur (Pacitan) yang sudah pemasok tetap kiosnya.

Pengakuan Ibu Rum semakin menguatkan keyakinan saya terhadap produk-produk lokal, di tengah makin ketatnya persaingan dengan produk-produk impor. Pedagang lain di Pasar Beringharjo yang menjadi informan saya juga mengatakan hal senada. Produk-produk lokal, khususnya kerajinan kayu, bambu, dan gerabah, masih banyak diminati masyarakat, terlebih wisatawan yang berkunjung ke Jogja.

Intensitas yang tinggi dalam berinteraksi dengan pedagang Pasar Beringharjo sejak setahun belakangan, kemudian membuat saya semakin tertarik terhadap produk-produk lokal, khususnya kerajinan kayu, bambu, dan gerabah. Baik untuk menjadi pengguna, maupun menjadi pemasar. 

Kegemaran tersebut kini  setidaknya telah mewujud dalam perubahan alat makan saya. Kini, piring makan saya di kosan adalah piring kayu. Begitu juga sendoknya. Sebagai peralatan minum, saya menggunakan kendi kecil dan gelas dari tanah liat. Sementara itu, gantungan baju saya berasal dari bambu cendani. Gantungan baju tersebut dibuat oleh tetangga ibu kos saya dan sudah saya beli sejak dua tahun lalu.

Alat makan sehari-hari di kosan (dok.pri)
Tak hanya mewujud dalam kebutuhan praktis sehari-hari, kesukaan saya pada produk-produk lokal kemudian juga saya terapkan untuk hal-hal yang lebih bernilai ekonomi. Sejak 1,5 tahun yang lalu, saya memasarkan produk-produk lokal karya pengrajin Jogja di kedua toko online saya, Beringharjo Online dan Istana Buku Yogyakarta

Ketika saya mengunjungi pameran produk lokal “UKM Great Sale” di alun-alun Sewandanan Pakualaman pada Jumat (28/02) lalu, mata saya pun langsung tertuju pada produk-produk kerajinan kayu. Dari kejauhan, sebuah stan yang memamerkan alat-alat makan dari kayu telah tertangkap oleh mata saya. Stan tersebut merupakan milik Bapak Eko Pujianto, pengrajin asal Patuk, Gunungkidul.

UKM Great Sale diselenggarakan oleh Diskop UMKM DIY (dok. pri)

Produk-produk yang dipamerkan oleh Eko Bubut, demikian nama brand usaha tersebut, menampilkan piring, sendok, mangkuk, gelas, dan garpu dari kayu jati.

Produk kerajinan Eko Bubut (dok. pri)

Terang saja saya langsung tertarik, mengingat barangnya benar-benar berkualitas. Permukaannya begitu halus, mengilap, dan motif kayunya sangat artsy.

Piring hasil kerajinan Eko Bubut (dok. pri)

Sembil melihat-lihat barang, saya juga mengobrol banyak dengan Mbak Isma. Ia adalah staf marketing Eko Bubut yang ramah dan murah senyum. Menurut pengakuannya, produk-produk Eko Bubut dibuat secara full menggunakan teknik bubut, tanpa menggunakan lem kayu. Hal tersebut memberikan jaminan produknya akan lebih awet, karena terhindar dari risiko lem lepas. Tentu saja, aspek kesehatan di sini juga menjadi keunggulan tersendiri. Dengan tanpa menggunakan lem, produk ini nyaris tanpa tersentuh bahan kimia.

Berbincang dengan Mbak Isma, staf marketing Eko Bubut (dok. Rahmat)
Bahan produk kerajinan Eko Bubut hanya menggunakan kayu jati. Kayu jati merupakan kayu yang tidak hanya berkualitas tinggi, namun juga menjadi komoditas unggulan di Kabupaten Gunungkidul dan daerah tetangga, yakni Wonogiri. Industri kerajinan ini secara tidak langsung telah memberikan nilai tambah bagi hasil panen kayu jati di kedua wilayah tersebut.

“Kayu jati nggak bakalan berjamur Mas. Terus, kayunya juga kuat. Jadi dijamin awet dan orang biasanya mau membayar mahal untuk produk-produk yang berasal dari kayu jati.” Ujar Mbak Isma.

Teknik pembuatan full bubut ini membutuhkan bahan baku yang lebih banyak, karena bahan baku harus lebih besar dari ukuran produk yang akan dibuat. Jika ingin membuat mangkuk berdiameter 15 cm dengan tinggi 8 cm, kayu yang dibutuhkan harus berdiameter minimal 17 cm dan tinggi 10 cm. Ini membuat harga jual produk kerajinan kayu jati agak lebih tinggi.

Ada satu hal menarik ketika kita mengamati kerajinan kayu. Kerajinan kayu tidak dapat menghasilkan motif yang sama, karena kayu memiliki motif berbeda-beda, bahkan dalam satu meter sekalipun, sehingga ketika dibuat menjadi piring misalnya, hasil motifnya pasti akan berbeda. Motif alami itulah yang biasanya disukai orang. Bahkan kini produk-produk plastik, keramik, batu, dan karpet pun banyak yang menyerupai motif kayu alami. Ini tak lain karena keunikan dan kealamian nuansanya, yang selalu menarik bagi setiap orang.
Motif kayu jati pada mangkuk hasil kerajinan Eko Bubut (dok. pri)
Proses pembuatan kerajinan Eko Bubut dilakukan melalui upaya yang paripurna. Menurut pengakuan Mbak Isma, setiap produk di Eko Bubut telah melalui proses pengamplasan dan finishing hingga tiga kali. 

Hal itu sengaja dilakukan karena Eko Bubut sadar, sebagai produk lokal, pihaknya harus benar-benar mengutamakan dan menjaga kualitas. Strategi tersebut selama ini terbukti efektif dalam menghadapi persaingan dengan produk-produk sejenis yang berasal dari negara lain (impor). Bahkan, produknya kini mulai merambah pasar mancanegara, meski di dalam proses tersebut pihaknya masih menggandeng perusahaan ekspor. 

Kebanjiran Pesanan Setelah Ikut Pameran

Pameran produk UMKM sebagaimana yang diselenggarakan oleh Dinas Koperasi dan UMKM DIY menjadi peluang tersendiri bagi UMKM untuk mempromosikan produknya. Seperti diakui Mbak Isma, yang telah beberapa kali ikut pameran. Menurut pengakuannya, pameran dapat menjadi peluang besar bagi pelaku UMKM untuk mempromosikan dan menjual produk.
“Manfaatnya ya besar banget. Sejak ikut pameran, penjualan jadi meningkat. Enggak hanya ketika pameran, tapi setelah pameran banyak yang kemudian menghubungi kami dan memesan produk.” Ujarnya. 
Kerajinan Eko Bubut selama ini sudah kerap mengikuti pameran yang difasilitasi oleh Diskop UMKM DIY. Tak hanya mengikuti pameran di Jogja, Eko Bubut juga terlibat dalam pameran-pameran di ibukota. 
“Kalau pas ikut pameran di Jakarta, omset lima hari bisa sampai 30 juta. Peminat produk seperti di Jakarta banyak sekali, karena memang unik.” tuturnya
Omset penjualan saat mengikuti pameran di Jogja menurut pengakuan Isma tidak sebanyak ketika di Jakarta. Di Jogja, ia biasanya mengantongi uang senilai 3 juta rupiah dalam lima hari pameran. Hal ini disebabkan oleh berbagai hal, seperti perbedaan demografi hingga kemampuan daya beli. Kendati demikian, pameran tetap memberikan peluang lain yakni promosi produk dan kerja sama dengan penjual-penjual lain (reseller).

Jarum jam di tangan saya menunjukkan pukul 15.30 ketika perbincangan kami berakhir. Panggung hiburan masih riuh dengan acara live musik. Pengunjung masih terlihat banyak yang mengelingi satu stan ke stan yang lain untuk melihat-lihat produk UMKM Jogja yang dipamerkan. Para penjaga stan pun terlihat sibuk melayani pengunjung. 

Meski cuaca cukup terik, antusiasme pengisi acara, pengunjung, dan panitia, dan penjaga stan pameran terlihat begitu tinggi. Di depan panggung, terlihat orang-orang berjoget ria saat salah satu lagu Denny Caknan, berjudul Sugeng Ndalu, didendangkan dari atas pentas. Saya sebenarnya ingin ikut bergoyang, tapi rasa malu terlebih dahulu mencegah saya. Hiks :(

***

Sore itu, saya membawa pulang satu buah piring, gelas dan tutupnya, sendok, dan dua buah mangkuk bibir diameter 15 cm, dan mangkuk mie diameter 12 cm. Saya menghabiskan uang sebesar Rp177.000,- untuk barang-barang tersebut. Untuk sebuah ekspresi kecintaan terhadap produk lokal, tentu itu bukan harga yang mahal.




Please write your comments