Bahasa Ruang Publik, Tugu Jogja, dan Diplomasi Gado-Gado - Jurnal Darul Azis

Bahasa Ruang Publik, Tugu Jogja, dan Diplomasi Gado-Gado

Bahasa Ruang Publik, Tugu Jogja, dan Diplomasi Gado-Gado

Ilustrasi/Bahasa ruang publik kita

Senin yang sibuk, pukul 11 siang. 

Hari itu Gambril dan Gombral telah sepakat akan motoran keliling Jogja. Sebagai orang selo, hari Senin atau hari Minggu bagi mereka tentu sama saja. Mereka tak pernah membenci hari Senin yang sering dianggap sarat dengan hal-hal yang membebani dan menuntut tenaga lebih. Pun tak pernah menggemari hari Sabtu atau Minggu sebab pada hari itu adalah hari libur –yang sering kali terasa lebih singkat dari hari lainnya.

Ya...bagi mereka, semua hari sama panjangnya. Sama menyenangkannya. 

Mungkin pekerjaan jualah yang turut membentuk sikap selo mereka. Gambril adalah seorang pemandu wisata lepas di Jogja yang memang sering bekerja saat hari libur dan libur saat hari kerja. Sementara Gombral, ia adalah seorang yang kepada semua orang mengaku sebagai penulis lepas, meski tulisannya tak pernah dimuat di media mana pun. Apalagi diterbitkan menjadi sebuah buku. Dan ia memang selalu terlihat selo setiap harinya.
Gambril, entah karena apa hari itu begitu menikmati perjalanannya dengan Gombral si kanca kenthel-nya. Selama ini ia tak pernah menikmati perjalanan yang ia lakukan bersama para pelancong yang dipandunya, baik yang dari luar negeri maupun dalam negeri. Sebab menemani para peloncong, selama ini hanya ia lakukan dalam batas berbagi informasi tempat wisata, atau lebih jujurnya lagi hanya dalam batas pertukaran uang dan jasa.
Sedangkan Gombral, berada di boncengan motor Gambril membuat matanya  dapat dengan leluasa mengamati setiap sudut Kota Jogja yang dilaluinya. Yang paling mudah tertangkap matanya tentu adalah papan iklan raksasa, poster, dan spanduk yang memang menjadi penghias kota wisata itu. Sebagaimana Gambril, Gombral juga semakin sibuk dengan pengamatannya. Keduanya sibuk dengan dirinya masing-masing.

Hingga kemudian terdengar suara klakson bertalu-talu menghakimi mereka berdua sebab terlalu lamban berkendara.  
“Hati-hati tha Mbril, jangan mbleyer-mbleyer,” hardik Gombral spontan.
“Sudah hati-hati ini... aku enggak mbeleyer-mbleyer. Memang dasarnya orang-orang tadi aja yang buru-buru,” Gambril membela diri.
Urip kok isine mung kesusu wae. Gombral menggerutu. “Apa rumangsane kesusu ki ra kepenak?
“Lha yo kepenak, rumangsamu!”  Gambril langsung menyahut.
“Heh....kuwi ki guyonan Jawa Timur je. Iki  Yoja Dab, Yoja!” Kritik Gombral kemudian.
Ho’oh ding...ya sudah kita njogja aja kalau gitu,”
Lalu keduanya diam. Untuk beberapa saat mereka kembali sibuk sendiri-sendiri sebagaimana sebelumnya.
“Mbril,” Gombral memulai percakapan. Kenapa ya, iklan-iklan itu kebanyakan kok pakai bahasa Inggris?
 Gambril tersenyum ringan mendengar pertanyaan naif dari temannya. Ia paham itu merupakan pemantik untuk sebuah obrolan serius. Gombral memang selalu begitu.
“Ya biar efektif Mbral,” jawab Gambril singkat. 
“Maksudnya?”
“Ya sebagai kota wisata, di sini kan banyak bule. Tentu harus banyak bahasa Inggrisnya dong. Biar bule-bule itu ngerti,”
“Oh begitu,” jawab Gombral singkat.
“Iya.”
“Lha memangnya iklan-iklan itu diperuntukkan bagi bule-bule itu pa?”
“Wah... kalau soal itu kamu ya jangan tanya sama aku. Tanya saja sama yang mbuat iklan.”
“Lah.. kamu ini gimana, masa’ gitu aja enggak ngerti? Lagi pula, aku maunya nanya sama kamu kok, malah nyuruh nanya ke mbuat iklan. Ra dhong!”
Ya wis, tak coba njawab. Sebenarnya sih ya nggak juga Mbral menurutku. Iklan-iklan itu pasti lebih diperuntukkan bagi orang-orang kita aja.”
“Kalau gitu kenapa harus pakai bahasa Inggris Mbril?”
Gambril merasa Gombral sudah mulai mengajaknya untuk beradu argumen walau kerap kali ia tak pernah melayaninya dengan serius. Tapi Gombral memang seolah tak pernah peduli dengan hal itu.
“Mbral, bahasa Inggris itu penting untuk dimasyarakatkan. Sekarang kita ini kan hidup di zaman globalisasi. Jadi mau tak mau harus menguasai bahasa asing. Atau minimal tahulah dikit-dikit.” Jelasnya memberi sedikit pengertian kepada sang penulis nasionalis-eyedeis itu.
“Owalah.. gitu toh,”
Gambril diam. Menunggu reaksi Gombral selanjutnya. Namun hingga beberapa lama kemudian, komentar lanjutan yang dinantikannya tak kunjung dilontarkan.
“Mbral, kok diam?”
“Eh.. iya iya,”
“Malah nglamun og piye,”
“Enggak, itu loh tadi ada mbak-mbak senyum karo aku. Pandangan matanya kayak ngajak kenalan gitu. Masa’  dicueki, kan sayang.”
“Tak kira lagi kentut, makanya njut anteng. Lha ameh mandek pa, kenalan?” Ujar Gambril seraya memelankan motornya
“Ora..ora! Wis ayo lanjut wae.” Gombral buru-buru mencegah.
Heh...kacangan!”
Ya ben.....Aku lagi mikir sesuatu yang lebih penting iki,” selimurnya kemudian.
“Mikir apa je? Gayamu!”
“Menurutku ya, itu tidak wangun Mbril. Penggunaan bahasa asing di ruang publik rasa-rasanya semakin liar, mengalahkan bahasa Indonesia sendiri. Ini baru di Jogja loh, bagaimana dengan kota lain seperti Jakarta, Bali, atau Surabaya?”
Mendengar itu Gambril tergeming. Berpikir sejenak.
“Bahasa kita itu bukan bahasa internasional Mbral. Sedangkan bahasa Inggris kan bahasa internasional, jadi lebih gampang dipahami banyak orang. Ini nanti pasti ujung-ujungnya kamu mau bilang kalau bahasa Indonesia kita ini sebenarnya berpeluang untuk menginternasional kan?”
Jane ini bukan soal menginternasional atau enggaknya bahasa kita. Tapi ini soal identitas. Soal jati diri. Soal sikap dan mental. Soal penghargaan terhadap diri sendiri. Soal kebanggaan menggunakan bahasa sendiri.”
“Wah.....kok jadi banyak banget soalnya Mbral, harus kujawab semua?”
Rak... aku tak lanjut ngomong sik. Jadi tak rasa sikap kita terhadap bahasa Indonesia itu sangat rendahan. Kelihatan dari penggunaan bahasa di ruang publik kita,“
“Maksudmu yang gimana?”
“Ya itu... baliho-baliho itu misalnya. Kan lak paling banyak menggunakan bahasa Inggris tinimbang bahasa Indonesia. Nama-nama toko pun begitu. Lihaten, toko sepatu sekecil itu aja pake nama bahasa Inggris og piye.” Kata Gombral seraya menunjuk toko sepatu yang dimaksud.
Ha yo gimana lagi, itu yang lebih keren je.”
“Nah... itu. Seperti itulah sikap rendahan kita. Merasa keren kalau sudah pakai bahasa Inggris. Kayaknya kesalahkaprahan kita sudah terlalu akut Mbril. Bahkan lembaga pendidikan tinggi pun sering menjadi pelaku utamanya,” katanya menggebu-gebu.
“Dalam acara seminar misalnya, dengan bangga panitia membuat spanduk yang tulisannya bahasa Inggris semua. Mulai dari nama acara, tema, tempat, hingga nama penyelenggaranya. Untung nama pembicaranya enggak diinggriskan juga. Lucunya lagi, padahal peserta dan pematerinya orang Indonesia semua, Jowo kabueh meneh. Kan lak ra  logis tha Mbril yang kayak gitu itu. Ini pun masih disusul iklan-iklan kampus di Jogja yang juga keminggris. Aku sering lihat itu.”
 Gambril menyimak dengan saksama. Tak ingin menyela sampai kawannya itu selesai berbicara.
“Hingga kemudian, lanjut Gombral, hal serupa turut dilakukan kantor-kantor pemerintahan, orhanisasi-orhanisasi, hingga perusahaan-perusahaan. Padahal idealnya, ini menurutku loh ya, bahasa Inggris itu cukup digunakan seperlunya saja. Bahasa ketiga setelah bahasa Indonesia dan daerah. Jangan malah dijadikan yang utama.”
“Wah... kalau maumu seperti itu berarti ya harus ada aturannya Mbral,” 
“Sebenarnya sudah ada loh Mbril. Kalau aku nggak salah ingat, itu sudah diatur  di undang-undang, nomornya aku lupa tapi kalau tahunnya 2009[1]. Jadi urutan penggunaan bahasa seharusnya itu bahasa Indonesia, bahasa daerah, baru bahasa Inggris. Bukan sebaliknya, bahasa Inggris, baru bahasa Indonesia dan bahasa daerah, dan itulah yang sekarang ini banyak terjadi.”
“Iya juga e nek dipikir-pikir dan diteliti lagi. Nama gedung, apartemen, kantor, pusat perbelanjaan, merk dagang, lembaga pendidikan, organisasi, kebanyakan pada pakai bahasa Inggris,” Gambril membenarkan.
“Ini juga berlaku buatmu Mbril. Kamu ndak usah nyebut dirimu sebagai tour guide. Pemandu wisata gitu aja. Sama-sama dua kata kan? Terus, kalau bisa bule-bule yang kamu pandu itu ya dikit-dikit diajari bahasa Indonesia. Kasih tahu juga pepatah kita pada mereka, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.”
Welah.......aku ya kena toh?”
“Ha iyooo jelas..rumangsamu! 
Seru Gombral. Disusul tawa lepas dari keduanya.
Tanpa terasa kini mereka mereka telah sampai di perempatan jalan Jenderal Sudirman. 
“Eh Mbril... ngomong-ngomong kamu udah pernah foto di Tugu belum?”
“Pernah. Dulu waktu malam tahun baru,”
“Aku juga pernah kalau malam. Kalau siang-siang begini?”
“Wah ya belumlah. Ngapain siang-siang gini foto di Tugu? Kaya' cah edyan!”
“Welah...gimana tha  kamu ini pemandu wisata kok enggak pernah foto di Tugu?”
“Kan aku bilang udah pernah,”
“Maksudku yang siang,”
“Memangnya kamu pernah?”
“Ya belum juga, makanya aku mau ngajak kamu foto di sana,”
“Gyah! Ra sudi!” Jawab Gambril seketika.
 “Ayolah. Sekali-kali,” bujuk Gombral.
“Ora sudi Mbral. Isin aku. Kowe penak, ra nduwe isin. Ra terkenal juga. Lha aku?”
 “Mbril, kita ini orang Jogja. Masa’ foto di Tugu Jogja isin. Terkalahkan sama gengsi. Ndak Jogjais kamu.”
“Ya tapi kan enggak harus foto siang-siang gini Mbral.”
Mbok sekali-kali kamu ini berbuat di luar kebiasaan gitu loh. Ndak cuma gitu-gitu aja. Urip kok monoton. Ra bosen pa?”
Gyah ya gyah. Titik.”
Tak traktir gado-gado Bu Ning wis. “
Hajinguk ik. Ndadak nggawa-nggawa gado-gado Bu Ning mbarang. Ya wis ayo. Ra isin maneh aku.
Gambril memang penggemar berat makanan gado-gado, apalagi gado-gado hasil tangan Bu Ning. Soal seberapa berat ia menggemarinya, tentu bisa terlihat dari perubahan sikap soal foto di Tugu tadi.

Gombral terkekeh, merasa telah mendapat kemenangan. Maka sesampainya di lampu merah Tugu, Gambril segera memarkirkan motornya di dekat pos polisi dan bersiap untuk foto-foto.
“Yang motoin siapa Mbral?”
“Lah...kok bingung. Selpi  dong!”
Masya allah Gusti ....nyuwun ngapura. Allahu akbar. Walawalaquwata (La haula wala quwwata) !” Pekik Gambril sambil berjingkat.
Ngapa e Mbril?”
Wah jan... niat tenan nek iki.”
“Ya jelas. Memang harus gitu. Jadi mau ditraktir gado-gado ndak?”
Ya wis ya wis... ayo. Gek cepet. Eh Mbral...ngomong-ngomong bahasa Indonesianya selfie ki apa?”
“Aku pernah baca di koran, selfie bisa diganti dengan kata swafoto,”
“Ha gene...kamu tadi kok pakai kata selfie? Ra mutu tenan og kowe ki!”
Kuwi mengko maneh bahase. Saiki sing penting ayo foto-foto sik,” sanggah Gombral seraya bergegas mendekat ke area Tugu. Gambril mengekor di belakang dengan langkahnya yang berat.
Sesampainya di Tugu, Gombral segera mengeluarkan hape pintarnya dan segera mengatur posisi untuk berfoto berdua. Tak pelak keduanya pun menjadi pusat perhatian para pengendara. Dalam hati Gambril malu tak terkira sementara Gombral merasakan sebaliknya, ia begitu riang gembira.
“Ini namanya tes mental Mbril. Tes kemaluan.” Kata Gombral selepas sesi foto-foto seolah mengerti perasaan Gambril.
Wis ra kakehan omong, ayo gek mlaku meneh. Sida nraktir gado-gado ra?
Sik tha...tak ngaplod foto sik. Iki mesthi bakal dadi sejarah lan ngundang komentar kanca-kanca fesbuk.”
Karo mlaku kan bisa tha, Mbral. Oh ya....ngunggah, dudu ngaplod,” protes Gambril.
Ya rapapa nek sekadar ucapan. Sing penting aku nulise sesuai karo pangucapane. Ngaplod. Dudu ngupload. Aku kan penulis.”
Yoh...sak karepmu lah. Ayo gek ndang numpak, tak tinggal tenan malahan kowe mengko.”  Ancam Gambril.
Gombral akhirnya nurut. Gambril segera tancap gas dan mengarahkan motornya ke jalan Margo Utomo, menuju arah jalan Taman Siswa. Seraya membayangkan nikmatnya makan gado-gado di warungnya Bu Ning. Dan serta merta wajah seorang perempuan pun muncul dalam bayangannya. Dia Tiwi, mantan kekasihnya yang telah menikah dan punya anak. Dulu mereka sering makan di sana. Berdua.

Sementara di jok belakang, Gombral terlihat sibuk membalas komentar-komentar atas foto yang baru diunggahnya tadi. 


[1] Lihat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Please write your comments