Pertanyaan-Pertanyaan dan Prasangka-Prasangka Itu - Jurnal Darul Azis

Pertanyaan-Pertanyaan dan Prasangka-Prasangka Itu

Pertanyaan-Pertanyaan dan Prasangka-Prasangka Itu

Bertanya-tanya/ Ilustrasi

Belakangan ini di benak saya muncul pertanyaan-pertanyaan remeh-temeh, yang sepertinya  disebabkan oleh sebuah -kalau boleh saya menyebutnya- masalah yang sangat remeh-temeh pula. Pertanyaan-pertanyaan itu terus terang sangat mengganggu saya, terutama ketika saya bertemu dengan jamaah masjid. Hati saya yang nggak terlalu bersih ini pun jadi semakin terkotori dengan syak wasangka kepada jamaah lain. Makanya saya curhatkan di sini, dengan harapan saya bisa lebih plonglah minimal. Perkara banyak yang membaca atau tidak, saya serahkan kepada share social media dan indeks gugel saja.

Baik.. mari kita mulai seperti apa sebenarnya  duduk permasalahannya. 
Ketika berada di tempat wudhu, saya sering melihat calon jama’ah masjid tidak berwudhu di bagian paling ujung sementara ia datang lebih dulu. Mengapa begitu, kok tidak langsung mengambil posisi paling ujung saja? Agar yang datang belakangan bisa nyusul wudhu di sampingnya, tanpa harus melewati dan mengganggu orang yang sedang berwudhu di lorong yang kadang sempit itu. 

Kita berlanjut ketika jamaah sudah memasuki masjid. Kenapa pula tidak langsung diisi shaf yang paling depan? Bukankah hak (sekaligus kewajiban) orang yang datang paling duluan adalah duduk di shaf paling depan? Agar tak perlu lagi ada orang yang mendesal dari belakang, melangkahi orang lain ‘hanya’ gara-gara harus mengisi shaf paling depan yang masih bolong. Agar tak perlu lagi takmir masjid berkoar-mengimbau- demi 'menertibkan' shaf jamaah masjid. 

Anda bisa ikut membayangkan, bagaimana jika untuk mengisi shaf terdepan kita harus melewati orang yang sedang shalat sunnah? Dilewatin salah, tidak dilewatin juga salah. Penyebabnya ya tadi itu, yang datang duluan tidak mau duduk atau shalat di shaf paling depan. Padahal sebagai manusia yang lemah iman dan bermimpi suatu saat bisa naik onta, saya contohnya,  sangat pengin duduk di shaf paling depan. Tapi kadang hati menjerit juga kalo harus melangkahi dan melewati jamaah lain yang sedang khusyuk berdzikir.

Selanjutnya, tentang solat rawatib. Mengapa masih ngotot melaksanakan solat sunnah sementara waktu sudah mendekati iqamah? Padahal pertanda waktu iqamah sudah terpampang dengan jelas di depan, dengan huruf  besar-besar pula. Sungguh disayangkan bukan? Karena begitu iqamah dikumandangkan, solat pun jadi terburu-buru. Atau yang mau jamaah pun ‘terpaksa’ harus menunggu. Duh, apakah shalat rawatib memang sepenting  itu?

Terakhir, ini bukan pertanyaan. Melainkan sebuah saran dan pengingat untuk kita semua. Jika memang merasa ilmu, umur, dan kadar keimanan masih belum memadai, hendaknya tidak berdiri di belakang imam. Sebab siapa tahu, di pertengahan solat sang imam batal dan artinya harus digantikan oleh orang yang di belakangnya. Itulah mengapa, seorang imam itu harus memerhatikan orang yang berada di belakangnya. Kalau bisa yang sudah dikenalnya saja. Seperti yang selalu dilakukan oleh imam masjid Puluhdadi, dekat kos saya. Beliau selalu menunjuk muadzin agar berdiri di belakangnya, atau orang lain yang juga kerap menjadi imam di masjid tersebut.

Udah...gitu aja sih. Oh ya... plis, kalau sampeyan nggak keberatan, mbok ya saya ini didoakan agar terhindar dari penyakit hati semisal nggosipin orang di blog seperti ini. Saya tak tahu apa yang saya lakukan ini benar atau tidak, yang jelas ini hanya upaya saya agar hati ini semakin plong. Juga buat menambah isi blog sih. Karena sumpah, hati yang terjangkiti prasangka itu sungguh menyiksa. Seperti yang saat ini tengah saya rasa. Hikz :(

Please write your comments