Jangan Mau Dibohongi Pakai Nama-nama dan Gelar - Jurnal Darul Azis

Jangan Mau Dibohongi Pakai Nama-nama dan Gelar

Jangan Mau Dibohongi Pakai Nama-nama dan Gelar

Sebagai penggemar masakan padang, saya sering kali skeptis dengan rumah makan padang yang menyertakan kata 'asli' pada etalase warungnya. Sebab bagi saya, keaslian masakan padang itu ditunjukkan oleh rasa, bukan nama atau stempel penegasan semacam itu. Tanpa menyertakan kasa 'asli' pun, jika memang pemiliknya asli orang Padang dan atau cara masaknya masih Padang banget, maka orang akan segera paham bahwa itu memang rumah makan padang asli, sejak suapan pertama, atau bahkan sejak langkah pertama seseorang memasuki rumah makan tersebut. 

Tidak hanya skeptis pada kata 'asli', kata yang lain juga sering kali membuat saya urung makan di sana. Misalnya kata 'sederhana' dan 'murah'. 

Secara khusus saya justru lebih suka dengan apa yang dilakukan oleh Pak Narto. Pemilik warung makan masakan padang di depan hotel Tentrem itu dengan jelas menyertakan kata 'Padang Jawa' pada etalase warungya karena memang rasa masakannya bercitarasa Jawa, walau citarasa Padang tetap tidak hilang darinya. 

Tidak hanya pada rumah makan padang, hal yang sama juga berlaku bagi warung bakso, soto, ataupun sate yang menyertakan kata 'asli Wonogiri', 'asli Lamongan' atau 'asli Madura'. Semakin mereka menonjolkan itu, saya justru akan semakin ragu.

******
Kejujuran
Ilustrasi viLEE'S NITE RADIO

Saya meyakini, nama, gelar, citra, sekarang ini tidak selalu merepresentasikan karakter asli si empunya. Justru yang benar-benar merepresentasikan adalah rasa dan pengalaman kita saat berinteraksi dengannya. Sehingga sebenarnya seseorang tak perlu terlalu menonjolkan nama, gelar, atau stempel penegasan, semata-mata demi meyakinkan orang lain bahwa si empunya sudah pasti sesuai dengan yang namanya. Sebaliknya, dengan rasa, karakter, dan cara berinteraksilah semua itu seharusnya ditunjukkan.

Dalam kehidupan sehari-hari, hal semacam itu pasti juga sering kita temukan. Ada orang yang selalu menonjolkan gelarnya sebagai seorang terpelajar, tapi perilaku sehari-harinya tidak mencerminkan itu. Jarang membaca buku misalnya. 

Ada orang yang menamakan dirinya sebagai seorang sarjana anu, tapi ketika ditanya atau diberi tugas tentang anu ia sama sekali tidak paham bagaimana cara menganu. 

Ada orang yang dengan bangganya menyebut gelar adat, namun tindak-tanduknya dalam kehidupan sehari-hari justru jauh dengan nilai-nilai adat dan budayanya. 

Ada yang mendaku diri sebagai seorang wakil rakyat, tapi selama bertugas ia sama sekali tak pernah mewakili rakyatnya. 

Ada yang mendaku sebagai seorang pemimpin, tapi ia tak pernah memberikan contoh yang baik bagi orang yang dipimpin. 

Ada organisasi yang mengklaim sebagai kumpulan orang-orang muda, tapi isinya justru orang-orang tua yang terus merasa muda dan tidak mau digantikan oleh orang muda. 

Ada sekumpulan mahasiswa yang menamakan diri sebagai himpunan mahasiswa A, tapi karakternya sama sekali tidak mencerminkan bahwa mereka adalah mahasiswa A. Dan masih banyak lagi. 

Ada banyak orang yang terjebak pada pengidentitasan diri melalui nama gelar, dan stempel, yang mirisnya itu semua dirinya sendirilah yang memberikannya. 

Maka dari itu, saya sering kali kagum dengan orang-orang yang berani 'menanggalkan' nama, gelar, atau segala sesuatu yang melekat pada dirinya karena bagi mereka semua itu tidak lebih penting dari apa yang selama mereka lakukan. Seperti gelar habib, guru, kiai, budayawan, sastrawan, penyair, ustadz, dan lain sebagainya. Mereka, karena kerendahan hati dan kemerdekaan dirinya, hanya ingin dipanggil sebagaimana panggilan teman, sebagaimana nama pemberian orangtuanya, atau sebagai manusia saja. 

Namun demikian sebetulnya saya lebih kagum lagi dengan orang-orang yang menganggap nama yang melekat pada dirinya sebagai sebuah tanggungjawab,  sehingga tindak-tanduk, rasa, karakter, dan cara mereka bergaul, selaras dengan nama yang disandangnya. Terkait hal ini, saya jadi ingat pada Juluk Adok, salah satu falsafah hidup masyarakat Lampung sebagaimana termaktub dalam kitab Kuntara Raja Niti. Secara sederhana Juluk Adok bisa dimaknai begini : seseorang harus berkepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya.

Demikianlah, sebuah nama akan lebih bermakna dan indah jika dimaknai sebagai sebuah tanggungjawab. Bukan doa. 

Dan mengingat tidak semua orang sadar dengan hal tersebut, maka bagi orang-orang dhaif seperti saya ini jauh lebih baik untuk selalu memelihara sikap skeptis terhadap mereka yang rajin menamakan diri sebagai anu, asli anu, forum anu, pembela anu, teman anu, dan anu-anu lainnya. Karena sekarang ini banyak sekali orang-orang yang menamakan diri sebagai anu dan anu, sesuai dengan kepentingannya. 

Mungkin semua itu karena sekarang, untuk sekadar memberi nama orang-orang tidak merasa harus menyembelih kambing, sapi, kerbau ataupun membuat jenang merah. Jadi ya gitu deh : nama dan gelar jadi demikian murah.

Au ah! 

Please write your comments