Air Adalah Sumber Kehidupan - Jurnal Darul Azis

Air Adalah Sumber Kehidupan

Air Adalah Sumber Kehidupan

Air Adalah Sumber Kehidupan (Sumber gambar Pinterest)

Benar kata plakat-plakat di pinggir sungai itu. Air adalah sumber kehidupan. Tiga hari yang lalu aku benar-benar membuktikannya, pada tubuhku sendiri. Aku nyaris jatuh sakit tersebab kurang minum air putih. Penyebabnya sepele, aku malas mengambil air putih yang padahal sudah banyak tersedia di dapur. Ditambah lagi kemudian, ketika makan, aku jarang memesan air putih sebagai minuman, melainkan es jeruk atau es teh.

Akibatnya, pagi itu ketika bangun dari tidur kepalaku kliyengan. Badanku panas dingin.

Aku pernah terserang radang. Itu terjadi kira-kira empat tahun yang lalu. Sampai membuatku terbaring berhar-hari. Bahkan karena tak kunjung sembuh, aku akhirnya pergi ke dokter. Sesuatu yang baru kulakukan untuk pertama kalinya di sepanjang hidupku. Oleh dokter aku dinasihati agar banyak minum air putih. 

Ya. Air putih. Air bening. 

Dan benar, setelah minum banyak air putih dan beristirahat cukup, aku sembuh.

Menemukan pola

Rasa sakit yang kuderita kemarin langsung bisa kudiagnosis tanpa harus pergi ke dokter ataupun gugling di internet. Sebab aku merasa telah mengenal tubuhku sendiri. Lagi pula, ini karena polanya nyaris sama dengan yang kualami dulu. Kurang istirahat dan kurang minum air putih.

Maka kemarin, aku cepat-cepat mencegah rasa sakitku agak tidak semakin parah; dengan minum banyak air putih. Hampir dua liter kalau nggak salah. Dan akibatnya tentu kau tahu, aku harus bolak-balik ke kamar mandi. Tapi itu lebih baik ketimbang harus masuk rumah sakit karena aku tak punya kartu BPJS dan payah kalau disuruh menelan pil. Haha 

Tak cukup dengan itu, aku juga menghajar tubuhku dengan buah. Aku membeli apel dan pepaya. Dan karena lidah masih cukup bersahabat, apel dan papaya itu pun kumakan dengan lahap. Habis tak tersisa. (Iya, aku memang doyan!)

Selanjutnya, waktunya istirahat. Aku mengalokasikan waktu lebih banyak untuk merebahkan diri, dengan tenang.

Eh, sebelum itu aku kerokan dulu ding. Ini seperti sudah menjadi syarat mutlak. Tidak bisa tidak. Kalau mau sembuh, dalam kamusku, ya harus kerokan. Kerokannya disiasati pada malam hari, sebelum tidur. Karena lagi-lagi aku percaya satu hal ini : sakit itu datangnya pagi hari dan perginya pun pada pagi hari pula. Karena tak suka dikerokin orang, kecuali emak, maka aku kemarin kerokan sendiri. Dada saya hajar. Tengkuk juga. Mirip seperti habis dicakar macan.

Dan jreng……………..paginya saya sembuh.

Pengalaman terserang radang akhirnya membuatku menemukan pola bagaimana penyakit itu datang dan pergi. Ia juga menyadarkanku pentingnya memahami pola. Ya. kurasa semua hal di dunia ini memang sudah ada polanya. Ya gitu-gitu aja. Dan orang-orang yang telah berhasil memahami pola, biasanya, akan memiliki tingkat sensitifitas yang tinggi terhadap dirinya, lingkungannya, dan bahkan dunianya. Sehingga dengan demikian, ia akan tahu apa yang harus dilakukan ketika sesuatu hal terjadi. Bahkan bisa tahu sebelum hal itu terjadi. Bukan karena sakti, melainkan karena telah mengenal polanya.

Berdamai Dengan Matematika dan Pertanyaan "Minumnya Apa?"

Karena alasan itu pulalah, kini aku mulai berdamai lagi dengan Matematika. Sesuatu hal yang selama lebih dari tujuh tahun belakangan ini sangat kubenci. Matematika mengajarkan ilmu dasar tentang bagaimana memahami pola. Tidak bisa tidak, aku harus kembali menggelutinya.

Tak hanya itu, kini aku juga berjanji pada diriku sendiri, untuk kemudian ketika aku makan di luar, aku harus tegas meminta air putih sebagai minumannya. Bukan yang lain.

Paling-paling risikonya bakalan dikatain pelit, ngirit, atau apalah! Atau kalau tidak, paling ya cuma dicemberutin sama pedagangnya. Dan itu rasanya sakit. Tapi tidak berdarah! Haha

Bodo' amat lah!
Please write your comments