Melambatkan Waktu dan Memperpanjang Usia di Yogya - Jurnal Darul Azis

Melambatkan Waktu dan Memperpanjang Usia di Yogya

Melambatkan Waktu dan Memperpanjang Usia di Yogya

Tak seperti acara Bincang-bincang Sastra sebelum-sebelumnya, malam itu  (27/01/2017) ruang seminar TBY penuh sesak oleh manusia. Acara Bincang-Bincang Sastra digelar sebulan sekali. Biasanya di akhir bulan, pada malam Minggu. Namun seperti yang sering saya saksikan dan juga dikatakan sendiri pengunjungnya tak akan begitu banyak, kecuali kalau pas ada tokoh sastra dengan banyak pengagum yang hadir sebagai pembicara. 

Melambatkan Waktu di Jogja
Tukang Becak di Jogja [Sumber gambar: Pakde Azemi]

Dulu acara ini juga pernah dibanjiri oleh tamu, lantaran yang berbicara di depan adalah Emha Ainun Najib, membahas buku Suta Naya Dadap Waru karya Iman Budhi Santosa. Ruang seminar TBY yang tak terlalu luas itu pun benar-benar penuh. Bahkan banyak yang harus duduk di luar ruangan demi bisa mendengarkan perbincangan para tokoh sastra itu.

Begitu juga dengan BBS edisi 148 Januari 2018 kali ini. Kiranya dua pembicara yang hadir itulah magnetnya; Agus Noor dan Gunawan Maryanto. Keduanya memang merupakan tokoh sasta yang sudah sangat dikenal luas oleh publik. Agus Noor dengan cerpen, prosa, puisi, pementasan drama, dan acara Sentilan Sentilunnya di Metro TV. Sedangkan Gunawan Maryanto dengan puisi-puisi, cerpen, dan pementrasan dramanya bersama teater Garasi. 

Sebagaimana rencana, acara bincang-bincang sastra malam itu dipandu oleh penyair muda Jogja, Latief S. Nugraha. Sebagai pengantar, Latief mengatakan Jogja hari ini sudah banyak kehilangan romantisme seperti terekam, misalnya, pada novel karya Ashadi Siregar "Cintaku di Kampus Biru".

Ada banyak yang berubah dari Jogja. Seperti semakin sepinya penumpang bus-bus kopata, hotel-hotel berdiri megah, menjamur di sana-sini, dan kontras dengan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Kemacetan terjadi di mana-mana. Udara juga terasa sangat panas dan sesak, dan tempat-tempat hiburan semakin menjamur di sana-sini.

Perubahan-perubahan itu berjalan begitu cepat, sehingga menghilangkan kepuitisan dan mengundang keprosaisan Jogja. Karena itu, menurutnya, hal itu perlu digali kembali dari dua tokoh sastra yang sekaligus menjadi saksi perjalanan romantisme, kepuitisan, dan keprosaisan Jogja di masa-masa tahun 80 hingga 90-an, Agus Noor dan Gunawan Maryanto.

Selesai menyampaikan ular-ular, Latief mengundang Gunawan Maryanto dan Agus Noor ke depan. Perbincangan pun menjadi tak pelak menjadi semakin semarak.

Gunawan Maryanto berbicara lebih dulu. Ia tampak berusaha merunut kepuitisan Jogja sejak dari masa-masa awal berdiri. Menurutnya, Jogja memang pada dasarnya sudah sangat puitis sejak dulu. Ini bisa dilihat, misalnya, dari lahirnya karya sastra Babad Giyanti, Babad Diponegoro, dan lain sebagainya.

Ia pun kemudian menghubungkan kepuitisan Jogja di masa lalu dengan kondisi politik yang terjadi pada masa itu. Seperti misalnya ketika Mataram harus berhadapan dengan hegemoni pemerintah kolonial Belanda. Rupanya hal itulah yang kemudian memancing lahirnya karya sastra dari para pujangga kala itu.
"Ketegangan-ketegangan dihadapi oleh masyarakat dan orang-orang keraton, kemudian mendorong lahirnya serat-serat atau babad oleh para pujangga." Ujar Gunawan. Kondisi yang demikian itu terus berlanjut, sampai bangsa Indonesia merdeka dan DIY menyatakan diri untuk bergabung dengan Indonesia. 
Pascabergabungnya DIY dengan Indonesia, kondisi sosial dan budaya terus berkembang. Jogja menjadi semakin terkenal, sehingga banyak masyarakat dan pelajar yang berbondong-bondong hijrah ke kota ini. Lambat laun, romantisme Jogja semakin terasa tatkala di masa pemerintahan Orde Baru, Jogja juga tak luput dari pusat perhatian pemerintah pusat, baik dalam hal ‘’pengawasan’’ maupun represifitas. Kondisi tersebut menjadi pemicu kuat lahirnya karya sastra-karya sastra yang mendalam dan sarat dengan perlawanan.
Baca juga: Alasan-alasan Mengapa Jogja Terasa Berat Untuk Ditinggalkan
Namun meski Gunawan Maryanto percaya bahwa suasana Jogja di masa kepenyairannya memang romantis dan puitis, itu bukanlah bahan tunggal bagi para penyair atau teaterawan dalam berkarya. Karena menurutnya, menggali realitas-realitas yang terjadi pada saat itu, justru menjadi hal yang sangat penting dilakukan untuk menghasilkan karya-karya yang lebih bernyawa.
“Kita memang kehilangan banyak hal dari Jogja, tapi di saat yang sama kita juga mendapatkan banyak hal-hal baru yang bisa kita adaptasi menjadi sebuah karya sastra maupun seni.” Pungkasnya. 
Giliran Agus Noor yang berbicara. Ia membuka dengan prolog yang sangat menyentil. Menurutnya, Jogja hari ini sudah tidak mampu lagi memberikan harapan yang membahagiakan untuk masa depan, bagi dirinya yang kini seorang Jakarta. Dan mungkin bagi para turis dari luar, karena indikator kota yang membahagiakan ialah ketika ia mampu memberikan kenangan dan harapan di masa mendatang.
“Dulu saya berpikir, dengan hiruk pikuk Jakarta, ke Jogja bisa menjadi obat bagi saya. Tapi ternyata sama saja.” Ujarnya.
Yang masih dimiliki Jogja sekarang ini, menurutnya, hanyalah seberkas kenangan tentang masa-masa ia berproses di Jogja. Selebihnya, Jogja nyaris tidak beda dengan kota-kota metropolitan lain macam Jakarta. Bahkan dengan mengutip syair Emha tentang kota seribu masjid, ia menyebut Jogja kini serupa dengan kota seribu hotel.

Namun ia sendiri tidak menyesali perubahan pada wajah Jogja. Perubahan itu pasti. Dan barangkali itulah tantangan bagi para sastrawan, seniman, dan budayawan yang ada di Jogja dalam berkarya. Senada dengan Gunawan Maryanto, apa pun kondisinya, Jogja seharusnya tetap bisa menjadi ruang bersama dalam berkarya.

Membatik
Membatik [Sumber gambar: arjunawedabatik.co.id]

Perbincangan menjadi semakin menarik tatkala sesi tanya jawab. Ang Tek Khun, penulis yang pada saat itu juga hadir dan duduk bersebelahan dengan saya memberikan keluh kesahnya tentang Jogja hari ini.

Menurutnya, secara DNA Jogja tidaklah berubah. DNA Jogja tetaplah puitis dan romantis. Apa yang terjadi di Jogja hari ini sebenarnrya tidak lepas dari campur tangan orang-orang terdahulu yang membuat Jogja begitu romantis dan puitis. Sehingga orang-orang menjadi semakin banyak yang tertarik untuk datang ke Jogja. 
“Mereka yang keluar dari Jogja, rata-rata menjadi orang besar di Jakarta dan di daerah asalnya. Sukses. Ada yang kemudian berinvestasi di Jogja. Menyuruh anak-anaknya sekolah di Jogja, lengkap dengan fasilitas rumah dan mobil. Hal-hal semacam itulah yang membuat Jogja semakin semrawut.” Ujarnya. 
Ia juga berpendapat, Jogja seharusnya bisa menjual kelambanan yang selama ini sudah melekat erat pada budaya masyarakat Jogja. Ia mencontohkan proses membatik, yang membutuhkan waktu sangat lama. Dalam proses membatik, tercermin bahwa kehidupan masyarakat Jogja itu pada dasarnya selow. Woles. Lamban.

Baca juga: Yang Fana Adalah Jogja, Kenangannya Abadi

Masih menurut Khun, saat ini, kelambanan telah kembali menjadi primadona. Ada banyak orang di kota Jogja ini mulai menekuni yoga, urban farming, dan menulis cerita-cerita yang lambat seperti story telling.
“Jogja punya sesuatu yang tidak dimiliki kota-kota lain, yakni kekuatan melambatkan waktu. Ada satu hal penting yang belum disadari, bahwa orang-orang dari luar itu datang ke Jogja sebenarnya karena ingin menikmati waktu. Mereka butuh menetralisir perubahan dan gerak waktu yang berjalan terlalu cepat. Sementara cuma Jogjalah yang masih bisa melakukannya.” Tandasnya. (DA)

4 comments

  1. Saya terkesan dengan Jogja karena membaca esai-esai sastrawan dan seniman semasa Emha, terutama tentang aktifitas berkesenian di jalanan Malioboro. Bahkan dulu sempat mencoba hidup di sana. Namun ternyata sudah banyak berubah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Perubahan di Jogja, memang diakui oleh kebanyakan orang, begitu drastis. Membuat banyak orang mengeluh ini dan itu, tapi toh tetap saja mereka berkunjung. Barangkali untuk merayakan kenangan di masa lampau.

      Delete
  2. sudah hampir setengah tahun aku di Jogja
    dan memang betul kadang kelambanan itu membuat saya nyaman
    apalagi, saya berasal dari kawasan arek yang blak-blakan dan maunya cepat
    ketika lihat orang jogja yang slow but sure, saya banyak belajar tentang kesabaran namun keuletan kuat di dalamnya
    memang dengan banyaknya pendatang jogja banyak berubah
    namun semoga saja budayawannya tetap eksis dan menjadi ciri khas kota ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kondisi sosial budaya masyarakat Jogja, biasanya secara perlahan juga bisa mengubah pandangan dan perilaku seseorang.

      Dulu pas pertama kali di Jogja, aku juga terbilang kagum Mas dengan kehidupan orang Jogja.

      Dan sekarang mungkin aku sudah jadi bagian dari orang Jogja yang dikagumi karena keseloannya itu. Maklum, sudah cukup lama ngindon di
      sini 😂😂😂

      Delete