Mbah Nen Wafat - Jurnal Darul Azis

Mbah Nen Wafat

Mbah Nen Wafat


Simbah

Dulu, ketika aku masih kecil, ada pekerjaan yang hampir setiap sore kulakukan. Pekerjaan itu tak jauh-jauh dari perintah emak untuk membantu pekerjaan dapur. Membeli cabai, micin, garam, dan minyak tanah di warung. Itulah daftar pekerjaannya.

Di antara sekian banyak warung, ada satu warung yang paling sering kukunjungi untuk membeli barang-barang tadi. Warung itu milik seorang janda tua yang rumahnya hanya berjarak satu perempatan dari rumah kami. Sekitar seratus meter.

Janda tua itu bernama Mbah Nen. Aku sering berbelanja padanya. Seingatku, barang dagangannya tidak pernah banyak. Hanya ala kadarnya. Emak menyuruhku belanja di warungnya lantaran harganya terbilang lebih murah dibanding warung lain. Oh iya, di kampung kami Mbah Nen juga dikenal sebagai pedagang kecambah dan bunga-bunga untuk keperluan sajen.

Mbah Nen seorang perempuan tua yang gigih. Selama ini aku tak pernah melihat wajah suaminya karena memang telah lebih dulu meninggal dunia. Selama ini, yang kulihat adalah perjuangannya untuk terus bertahan hidup. Dia seorang pekerja keras yang luar biasa dan itulah alasan mengapa ia terlihat begitu istimewa dan mulia sebagai seorang manusia. Terus berjuang, semampu-mampunya. Segaduk-gaduknya.

Sore tadi, aku mendengar ia telah mangkat ke kampung halamannya. Meninggalkan dunia ini beserta isi-isinya. Dengan tenang dan damai. Tugasnya di dunia sudah selesai.

Sebagai bekas pelanggan warung mungilnya, aku bersaksi Mbah Nen adalah orang baik. Maka sudah selayaknya ia juga akan mendapatkan tempat yang baik pula di kehidupan selanjutnya. Sudah selayaknya ia juga mendapatkan doa-doa terbaik dari para tetangga di kampung kami dan juga mungkin orang-orang yang membaca tulisan ini.

Yogyakarta, Jumat, 14 September 2018
Please write your comments