Kabar Dari Desa, Peristiwa (Panjang) itu Terulang Kembali - Jurnal Darul Azis

Kabar Dari Desa, Peristiwa (Panjang) itu Terulang Kembali

Kabar Dari Desa, Peristiwa (Panjang) itu Terulang Kembali

  
Sumber Gambar

   Siang tadi saya menelpon orang rumah. Lama sudah saya tidak ngobrol dengan mereka, saya kangen. Karena saya nelponnya di jam-jam istirahat, telpon pun langsung diangkat. Tapi bukan orangtua saya yang mengangkat, melainkan Bang Kandar, saudara kesembilan saya. Katanya, bapak dan emak sedang tidak ada di rumah, bapak masih di sawah, emak netangga (main ke rumah tetangga)

  Seperti biasa, saya mengawali pembicaraan dengan pertanyaan-pertanyaan klasik macam 'apa kabar?', 'lagi ngapain?', dan 'di sana sudah hujan atau belum?'. Barulah kemudian kami membicarakan banyak hal, : tentang keluarga, tetangga, nomor togel, tentang siapa saja yang sudah meninggal, hingga tentang keamanan desa dari gangguan maling dan begal. Maklum, di desa saya masih musim paceklik. Musim paling ganas, 'panas', dan paling menggelisahkan di desa saya. Banyak maling dan begal beraksi di musim ini. Jangankan motor, ayam, ikan, dan sepeda pun bisa hilang --tentu kalau lagi apes bener.

     Hal ini mungkin dipengaruhi oleh kondisi ekonomi yang kian menghimpit. Bagaimana tidak, saat ini harga 1 kg karet hanya mampu menembus angka Rp3000 saja. Padahal, mayoritas orang-orang di desa saya menggantungkan hidupnya dari sana, hasil kebun karet. Dalam sehari, satu hektar kebun karet hanya mampu menghasilkan 15-25 kg getah karet beku. Sangat tidak cukup untuk memenuhi tuntutan kebutuhan, keinginan dan gaya hidup masyarakat di sana yang sudah sedemikian majunya. 

     Untunglah, hujan sudah mulai turun dalam beberapa hari ini. Masyarakat di sana, masih kata Abang saya, juga sudah mulai turun ke sawah. Membuat uritan. Musim tanam padi akan segera dimulai dengan penuh kepercayaan diri dan harapan. Sawah-sawah akan kembali ramai, terutama oleh suara sepeda motor dan traktor. 
(Saya masih ingat, dulu ketika harga karet melambung tinggi, sawah menjadi semacan anak tiri. Apalagi sawah-sawah di sana hanyalah sawah tadah hujan, tahulah kita bagaimana nasibnya. Selain sangat bergantung dari air hujan, sawah-sawah itu juga bergantung pada perhatian pemiliknya yang saat itu lebih fokus mengurus kebun karetnya. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang menyulap sawahnya menjadi kebun karet)

      Selain bersiap menanam padi, para petani di desa saya agaknya mulai sadar, mereka tidak bisa hanya menggantungkan hidupnya dari pohon karet yang kini sudah hilang pamor itu. Kini, mereka beramai-ramai menanam singkong di sisa-sisa lahan yang ada. Sebab harga singkong mencapai Rp1500 per kilogramnya. Dengan harga segitu, jika setiap kali panen (6-9 bulan sekali) mereka bisa menghasilkan 20-35 ton singkong per satu hektar lahan (syarat dan ketentuan berlaku), maka hasil dari menanam singkong jelas akan lebih menggiurkan ketimbang nderes karet.

   Alhasil kini, batang singkong menjadi sangat bernilai. Hingga ada yang menjual (dan artinya mereka yang ingin menanam singkong harus membeli) dengan harga mencapai Rp 15000 rupiah per ikat (berisi 50 batang pohon singkong sepanjang kira-kira 125 cm. Saya bertanya, siapa saja yang sudah mulai menanam singkong? Abang saya menyebutkan nama-nama orang-orang 'bermodal' di kampung saya.

     Mendengar itu, saya jadi ingat masa kecil saya, ketika masih kelas tiga SD. Peristiwa (panjang) seperti itu, seingat saya, pernah terjadi dan pernah saya saksikan.
     
     


Please write your comments