Membaca Pikiran Laki-laki Melalui Lagu-lagu Terpopulernya Tulus - Jurnal Darul Azis

Membaca Pikiran Laki-laki Melalui Lagu-lagu Terpopulernya Tulus

Membaca Pikiran Laki-laki Melalui Lagu-lagu Terpopulernya Tulus

Album Tulus
Dok. Pop Bela
Iseng ngecek cenel yutubnya Tulus dan menemukan 7 deretan video dengan jumlah tayangan terbanyak. Kalau dibaca dari bawah (jumlah tayangan terendah), video-video itu menggambarkan sebuah kisah percintaan yang menyedihkan.

Tulus Lagu
Dok. Pri
Kisah percintaan ini relevan dengan yang dialami orang-orang. Kisah ini juga menggambarkan tentang kebiasaan sebagian (besar?) laki-laki dalam memperlakukan perempuan.
Untuk mempermudah penulisan, di sini kita pakai nama Tulus saja sebagai tokoh laki-laki dan tokoh perempuan kita sebut Si Kekasih.
Di awal-awal, seperti halnya laki-laki yang tak ingin mati penasaran, Tulus berjuang mendapatkan tempat di hati Si Kekasih.
Ia, setiap hari, bersetia hati menunggu di depan pintu untuk mencerahkan hari-hari pujaan hatinya. Itu tak dilakukannya dua/tiga hari, dua/tiga bulan, dan bahkan dua/tiga. Tulus melakukannya sampai delapan tahun sodara, alias sewindu lamanya.
Dalam kamus laki-laki, sebenarnya perjuangan Tulus ini terlalu memakan waktu. Kenaifan Tulus membuat perjuangannya terlampau lama dalam ukuran laki-laki normal, yang biasanya paling lama hanya butuh waktu satu tahun untuk mendapatkan hati seorang perempuan. Tapi namanya juga pemula, kelak kalian akan tahu bagaimana Tulus yang sebenarnya. Ia, toh tetap seperti laki-laki kebanyakan.
Naas bagi Tulus di awal-awal kisah ini. Si pujaan hati itu ternyata malah terbujuk oleh seseorang laki-laki yang pesonanya bagai pangeran Mateen, anaknya Sultan Mbrunei Darussalam.
Bayangkan! Sudah menunggu selama sewindu, jebul ambyar. Ha nek ngunu mending ditinggal nggawe candi wae, bisa dadi objek wisata! Sib Nasib.....
Tapi mungkin ini kesalahan Tulus juga. Laki-laki og cuma nunggu. Wayahe kan juga inisiatif. Dan ini mungkin harus dialami Tulus, sebagai pelajaran atas kepemulaannya.
Perjuangan cinta harus diiringi kesabaran yang luar biasa. Kesabaran akan memancing perhatian Yang Maha Kuasa sehingga memberikan welas asihnya.
Dan ternyata benar.
Gusti Mboten Sare. Laki-laki yang pesonanya bagai Pengeran Mateen anaknya Sultan Mbrunei itu ternyata fakboy alias bajingan. Si perempuan cuma digantung tanpa diberi kepastian.

Setelah 398 hari, si perempuan akhirnya menyerah dan kembali kepada Tulus. Dia mengira Tulus masih menjadi penunggu pintu rumahnya. Di awal-awal ini Tulus kok jadi kayak anjing ya? 
Rasa kecewa membuat Tulus bermetamorfosis. Tulus wis nggak nunggoni neng ngarep pintu meneh. Semenjak ditinggal gebetannya, dia kemudian jadi pelari.
Kenapa jadi seperti itu? Usut punya usut, ketika patah hati Tulus lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca buku. Sampai kemudian ia membaca buku berjudul "What I Talk About When I Talk About Running" yang ditulis oleh Haruki Murakami.
Setelah selesai membaca itu, Tulus pun kemudian terinspirasi untuk berlari.
Seperti halnya Haruki Murakami yang mendapatkan banyak ilham ketika berlari, Tulus pun demikian. Berlari membuat ia sampai pada perenungan bahwa ia dan tambatan hatinya itu, sejatinya bagai sepasang sepatu.

Sepatu, dalam penafsiran Tulus, selalu bersama tapi tak bisa bersatu. Tapi hati lembut Tulus tampaknya begitu mendominasi penafsiran. Ia melihat tambatan hatinya sebagai sosok yang tak dapat diajak berlari kencang. Entah ini sebuah naluri kelelakian atau naluri patriarki.
Akibatnya, Tulus terjebak dalam kebimbangan. Bersama tapi tak bisa bersatu. Senang berlari kencang, tapi mengkhawatirkan doi kelelahan Tak mempermasalahkan hujan, tapi takut doi kedinginan. Di sini, Tulus seperti menjadi laki-laki yang tidak percaya pada kekuatan perempuan. Ibu kita R.A Kartini akan menangis jika mengetahui hal ini.
Namun siapa sangka, sikap itu ternyata justru membuat pujaan hatinya menerima Tulus, tentu di samping karena ia telah tertipu sama laki-laki yang pesonanya bagai Pangeran Kesultanan Mbrunei itu, wkwkwkwk.
Sampai kemudian, mereka menjadi sepasang kekasih. Perlindungan dan cinta yang diberikan oleh Tulus kemudian membuat cinta Si Kekasih begitu luar biasa.
Satu dua tiga bulan adalah masa-masa terhangat dalam sebuah hubungan. Tulus dan Si Kekasih juga mengalami itu. Biasalah, namanya juga orang dimabuk cinta.
Dasar laki-laki, baru di atas angin sebentar saja, langsung naik egonya. Di bulan keenam setelah ia jadian, pencapaian mendapatkan hati Si Kekasih rupanya membuat Tulus berpikir berbeda, untuk tak dibilang jumawa. Ia menganggap bahwa mendapatkan si kekasih terlalu mudah.
(Haha, tidak ingat dia rupanya sewindu di depan pintu. Dasar laki-laki!)

Sebagai buntutnya, Tulus kemudian menuntut agar Si Kekasih menuntut sesuatu. Ia tak mau dicintai apa adanya. Tulus melancarkan permintaan itu atas nama masa depan. Dan tentu saja atas nama harga dirinya. Ia ingin jadi jagoan bagi kekasihnya.
Si Kekasih pun menuruti kemauan Tulus. Wong wedok nek kon nuntut yo seneng. Lha wong tanpa disuruh wae biasane wis auto banyak nuntut je. Iki kok malah dikon nuntut.
Padahal aslinya Si Kekasih tuh nggak mau banyak nuntut biar nggak ditinggalkan sama Si Tulus. Laki-laki kan biasanya gitu, ninggalin perempuan dengan alasan perempuannya terlalu banyak nuntut. Di situlah Tulus mendapatkan nilai plus. Ia terlihat memiliki pemikiran yang keren. Dan itu, ternyata membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik.
Kehidupan mereka kini terlihat bahagia. Tulus semakin sukses karirnya. Si kekasih senantiasa mendukung dan menemaninya, dan sesekali menuntut sesuatu. Tulus semakin sibuk memenuhi tuntutan itu. Ia semakin termotivasi.
Seperti halnya orang-orang sukses kebanyakan, Tulus pun kemudian sering diundang jadi pembicara atau pemberi motivasi oleh sekolah dan kampus tempat belajar. Dari kegiatan itu, ia pun mau nggak mau jadi banyak berkontemplasi tentang capaian karirnya.
Di dekatnya, ada kekasih. Di belakangnya, ada orangtua. Di masa lalunya, ada teman-teman lama. Ia sangat berterima kasih untuk itu.
Ia kini merasa hidupnya lebih berwarna. Bukan hanya hitam putih. Orang-orang terbaik yang pernah ada dalam hidupnya telah turut mewarnai hidupnya.

Warna itu berasal dari satu hal: cinta. Yak, setiap ia menjadi pembicara di berbagai forum, ia mengatakan kunci kesuksesannya adalah cinta dari orang-orang di sekelilingnya.
***
Hubungan Tulus dengan Si Kekasih semakin hangat. Keduanya semakin erat. Di mana ada Tulus, di situ ada kekasih. Itu tentu saja membahagiakan, dan didambakan banyak orang. Kalian yang LDR mana bisa kayak gitu?
Tetapi waktu sering kali mampu menunjukkan kuasanya dalam membolak-balik hati manusia. Dan dari sinilah tragedi menyedihkan itu bermula.

Kedekatan dengan Si Kekasih pada akhirnya membuat Tulus menemukan kesadaran baru (untuk tidak disebut rasa bosan). Maka dari itu, Tulus kemudian meminta Si Kekasih untuk tidak terlalu sering datang padanya.
Kepada si kekasih, Tulus beralasan ingin punya waktu untuk sendiri. Oleh karena itu, ia tak menghendaki Si Kekasih ada terus di sisinya. Katanya pula, ia ingin tahu seberapa ia membutuhkan kekasihnya.
Dengan kemampuan speak-speaknya yang mumpuni, Tulus meyakinkan Si Kekasih bahwa itu baik bagi mereka, dibandingkan jika mereka pagi-siang-sore-malam selalu bersama. Pola hidup yang seperti itu, kata Tulus, tidak baik karena tidak bisa membuat mereka menghargai sepi.
Karena terdengar logis, filosofis, meyakinkan, dan tidak mengundang prasangka apa-apa, Si Kekasih pun menyetujui usulan Tulus. Si kekasih percaya penuh pada Tulus, jagoannya. Ia bahkan juga membenarkan bahwa Tulus, dan juga manusia lain, butuh waktu untuk sendiri.
Satu-dua pekan semuanya berjalan seperti apa yang dikatakan Tulus. Itu kemudian membuat hubungan mereka menjadi lebih hangat. Pertemuan mereka menjadi lebih berkualitas dan penuh makna.
Tetapi itu berjalan sampai bulan kedua saja. Setelahnya, jalan cerita berkata lain. Ruang sendiri yang mereka ciptakan ternyata mulai menimbulkan percik-percik pertikaian.
Semenjak semakin jarang bertemu atas nama ruang sendiri, komunikasi mereka jadi tidak bagus. Ada banyak hal yang seharusnya dibicarakan, malah tertahan tanpa penyelesaian.
Waktu terus berjalan. Menggilas segala pertanyaan yang tak terjawab. Lambat laun, bukan hanya pendapat yang berbeda, namun menjalar pada visi dan misi hidup mereka. Meski hubungan mereka masih terjalin, namun pandangan mereka sudah tak lagi searah. Saling memunggungi.
Mereka jadi lebih sering berdebat, untuk hal-hal yang sebenarnya sepele. Seperti soal bubur ayam diaduk atau tidak diaduk, Indomie atau Mi Sedaap, Prabowo atau Jokowi, Negara Islam atau NKRI. Dan ujung dari perdebatan itu adalah kata berpisah. Ra mashok memang, tapi memang itulah yang terjadi. Aku juga gregetan, sama kayak kalian.
Jika sebagai penutur kisah ini aku boleh menilai, maka aku akan menilai bahwa di sini sebenarnya Tuluslah yang menghendaki perpisahaan itu.
Tanda-tanda itu telah terlihat semenjak dia mengajukan ruang sendiri. Juga terlihat pada permintaan pada si kekasih agar tidak memaksakan genggaman tangannya. Sebagai laki-laki, aku sangat paham soal hal ini.

Tengoklah pula, dia yang minta izin untuk pergi. Dengan entengnya, dia berkata bahwa yang berubah hanya ia tak lagi jadi milik si kekasih. "Aku tetap teman baikmu!" katanya.
Tulus pun kemudian benar-benar pergi, karena ia merasa berbagai cara telah ditempuh dan hasilnya tetap buntu (padahal ia belum memakai cara halus dan voting di medsos, hmmm). Si kekasih, aku lihat, tak kuasa menahan kepergian Tulus. Dengan hancur hati, ia melepaskan Tulus yang ngotot pamit meninggalkan dirinya.
Dan kalian tahu, pamitnya Tulus itu didukung penuh oleh Wardah. Wardahlah di balik semua itu. Kisah ini kuakhiri dengan tanda titik dari tetes air mata si kekasih.
Please write your comments