Mengapa Orang-orang Nekad Membeli Baju Lebaran Walau Harus Berjubel di Pusat Perbelanjaan di Masa Pandemi Corona? - Jurnal Darul Azis

Mengapa Orang-orang Nekad Membeli Baju Lebaran Walau Harus Berjubel di Pusat Perbelanjaan di Masa Pandemi Corona?

Mengapa Orang-orang Nekad Membeli Baju Lebaran Walau Harus Berjubel di Pusat Perbelanjaan di Masa Pandemi Corona?

Mengapa orang-orang tetap nekad membeli baju lebaran walau harus berjubel di pasar/mal di tengah pandemi Corona?


Pada posting kali ini, saya akan mencoba memberikan gambaran penyebabnya. As usual, saya akan melihat dan menggambarkan fenomena tersebut dengan kaca mata sosial saya.

Ketika saya melontarkan pertanyaan tadi kepada diri sendiri, saya kemudian malah bertanya lagi, memangnya tradisi memakai baju baru itu sejak kapan sih? Tak sulit menemukan jawabannya. Ternyata, tradisi mengenakan baju baru di hari raya sudah ada sejak zaman Rasullullah SAW. Kita bisa merujuk pada kisah cucu Rasulullah Hasan dan Husain yang bersedih karena belum memiliki baju baru saat lebaran akan tiba. Untunglah, mendahului teknologi Lazada, Shopee, Bukalapak, dan Tokopedia, dengan secepat kilat malaikat Ridwan ngasih paket baju lebaran untuk cucu Rasulullah itu.

Memang mengenakan baju baru saat lebaran bukan sebuah kewajiban. Tapi toh itu merupakan anjuran. Anjuran tersebut kemudian dilaksanakan secara rutin, bertahun-tahun bahkan berabad-abad, hingga terbentuk menjadi tradisi. Sampai di sini belum ada masalah, hingga kemudian pandangan umat Islam terhadap baju baru di hari lebaran mulai bergeser (atau digeser?). Maksud saya, baju baru kemudian tidak hanya dipandang dalam kerangka fungsionalnya, tapi juga tentang gengsi sosialnya. Kehendak ingin tampil sama atau bahkan lebih dari yang lain, kemudian turut mewarnai perayaan hari lebaran, wkwkwk.

Jadi, meski tidak menyetujui perilaku orang-orang yang masih nekad berjubel di pusat perbelanjaan di masa pandemi sekadar untuk membeli baju lebaran, saya bisa sedikit memahami mengapa mereka bisa seperti itu. Mereka bertindak seperti itu karena menerapkan "anjuran agama" yang telah mentradisi. Mereka seperti itu karena memenuhi hasrat gengsi sosialnya. Atau kalau mau pakai perspektif lain, mereka rela seperti itu, disebabkan betapa kuatnya doktrin "baju baru di hari lebaran" hingga menekan mereka untuk menerobos bahaya. How pity they are! Sudahlah tertekan secara sosial, terancam bahaya kena virus pula.

Sementara kita, yang kemudian menganggap tindakan mereka bodoh dan menentang maut, itu karena kita agak lebih rasional dan memiliki tingkat ketakutan yang lebih tinggi, serta memiliki tekanan sosial yang rendah.

3 comments