www.belantaraindonesia.org |
Dalam penyelenggaraan pendidikan formal, kurikulum memiliki peran strategis dan menjadi penentu tercapainya tujuan pendidikan. Oleh karena itu, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan agar dalam proses penyusunan kurikulum, harus memerhatikan beberapa hal mendasar yang memuat tujuan akhir pembentukan kepribadian peserta didik.
Hal-hal mendasar tersebut di antaranya adalah peningkatan iman dan takwa; peningkatan akhlak mulia; peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; keragaman potensi daerah dan lingkungan; tuntutan pembangunan daerah dan nasional; tuntutan dunia kerja; perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; agama; dinamika perkembangan global; dan persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. (Pasal 36 ayat 3)
Merujuk pada undang-undang ini, Penulis menilai, bahwa sebenarnya kerangka dasar kurikulum pendidikan kita, baik Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP) maupun kurikulum 2013 (K13) telah sesuai dengan beberapa hal fundamental di atas, bahkan keduanya cenderung saling terkait. Hanya saja dalam pelaksanannya, terutama untuk K13, pemerintah terkesan buru-buru dan “kejar target” sehingga memunculkan persoalan-persoalan baru di lapangan –yang seharusnya tidak perlu terjadi jika dipersiapkan dengan matang.
Persoalan paling mencolok terlihat pada ketidaksiapan tenaga pendidik untuk melaksanakan kurikulum ini. Padahal tenaga pendidik adalah ujung tombak pelaksanaan kurikulum. Minimnya sosialisasi dari pemerintah mengakibatkan tenaga pendidik dan bahkan kepala sekolah pun merasa kebingungan bagaimana sebenarnya menerapkan K13 di sekolah. Ditambah lagi soal lain, implementasi K13 ternyata tak diiringi dengan kesiapan buku-buku pelajaran, kejelasan sistem penilaian, serta tidak meratanya penataran guru dan pelatihan kepala sekolah.
Menghadapi persoalan yang terus mengemuka, menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Indonesia yang baru, Anies Rasyid Baswedan, akhirnya memutuskan untuk menganulir K13 pada akhir tahun 2014 lalu. Keputusan ini berdasarkan rekomendasi tim evaluasi K13 dan berbagai masukan dari para stakeholder.
Pemberlakuan K13 yang sudah terlanjur itu, kini hanya diperuntukkan bagi 6.221 sekolah di 295 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, selebihnya kembali ke Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Penganuliran ini bukan tidak menyisakan masalah, bagi sekolah-sekolah yang sudah merasa siap menerapkan K13, kini pontang-panting untuk kembali ke kurikulum lama, mengadakan buku-buku KTSP, dana, dan sistem pembelajaran yang diterapkan.
Guru sebagai kunci
Sukmadanata, sebagaimana dikutip Nur Ahid (2006) mengatakan, kurikulum pendidikan terdiri atas tiga unsur pokok, yaitu aktor, artifak, dan pelaksanaan. Aktor adalah orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan kurikulum. Artifak adalah isi dan rancangan kurikulum. Sedangkan pelaksanaan adalah proses interaksi antara aktor yang melibatkan artifak. Kurikulum dalam suatu sistem pendidikan, diejawantahkan melalui interaksi antara pendidik dengan peserta didik dalam upaya membantu peserta didik menguasai tujuan-tujuan pendidikan.
Dengan demikian, di sini kita dapat menempatkan guru sebagai aktor terpenting dalam merespon perubahan-perubahan dalam dunia pendidikan, termasuk di antaranya adalah kurikulum. Posisi guru sebagai fasilitator, motivator, dan ujung tombak pelaksanaan kurikulum sangatlah vital. Konsekuensinya, pemerintah harus menaruh perhatian yang lebih besar terhadap guru, terutama menyangkut peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru. Dengan begitu, kualitas peserta didik diharapkan dapat meningkat sejalan dengan peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru.