Sudah tanggal 05 Februari, tapi kok masih sepi-sepi saja ya? Padahal biasanya, di tanggal-tanggal segini sudah padat tuh fatwa halal haram merayakan atau sekedar mengucapkan selamat Hari Kasih Sayang yang konon diidentikkan dengan bulan Februari itu. Apa mungkin, karena perhatian kita telah terkuras habis oleh pertunjukan komedi ra mutu KPK vs Polri? Ya ya ya, bisa jadi bisa jadi !
Mumpung masih sepi, saya mau ambil start duluan ah kalau gitu. Dengan harapan, ini dapat memberi pencerahan secerah-cerahnya, agar kita tidak terkotak-kotak lagi, agar tidak terbelah lagi dan agar kita bisa bersatu lagi. Ya, meskipun polemik seputar Hari Kasih Sayang ini bukanlah hal baru, namun menurut saya layak untuk kita obrolin setiap tahunnya. Lumayan kan, ketimbang nggak ada kerjaan.
*************
Beberapa waktu lalu, dengan sangat isengnya saya searching foto-foto terbaik dunia di sepanjang tahun 2014. Sebab di penghujung tahun 2014 lalu, setelah saya amati, nampaknya media massa Indonesia kelupaan mengkaleidoskopi foto-foto terbaik di sepanjang tahun 2014. Padahal ini sungguh penting bagi perkembangan peradaban manusia di dunia yang kian modern ini.
Foto, ya, foto, saat ini menjadi dokumen yang sangat berharga, ia hadir sebagai pengingat masa lalu yang pernah kita lalui bersama sebelum akhirnya putus. Foto, iya foto lah, yang kelak akan bercerita dengan sangat jujur kepada anak cucu kita (dengan catatan tidak diedit dengan potosop, korel, dll loh ya !). Dan alhamdulillah, saya berhasil mendarat di salah satu website yang memuat lengkap foto-fot beresolusi tinggi dan memang, saya akui, sangat layak foto-foto tersebut mendapatkan predikat terbaik, dua di antaranya dari Indonesia.
Dari sekian banyak foto yang telah diberi label terbaik di tahun 2014 itu, saya menangkap tema besar yang tersirat di dalamnya : Kemanusiaan. Sebagaimana Hari Kasih Sayang, masalah kemanusiaan ini harus sering kita angkat ke permukaan, sebelum kita mengangkat tema ke-setan-an, ke-jin-an, ke-binatang-an, ke-malaikat-an, ke-tuhan-an dan ke-an- ke-an lainnya. Mengapa? Karena sungguh, ini merupakan terapi dasar yang harus kita lakukan untuk menjadi manusia seutuhnya, rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi seluruh alam.
Loh, memangnya sekarang kita belum sepenuhnya menjadi manusia? Belum, sangat belum. Terus, mau sampai kapan? Sampai mati. Loh, kok? Iya, karena belajar menjadi manusia sama halnya dengan proses menuntut ilmu, dijalani sampai mati. Salah satu cara agar saya menjadi manusia yang seutuhnya? Baca terus tulisan ini. Titik.
(Dalam hati : tanya sekali lagi saya lembar ke empang Lu!)
(Dalam hati juga : orang banyak nanya kok bukannya dikasih tahu malah mau dilemar ke empang? *pensive)
Beberapa minggu sebelum saya searching foto-foto tadi, saya juga sempat menulis beberapa artikel ngawur tentang perdagangan manusia, tentang mimpi KPK bersahabat dengan Polri, tentang Kurikulum Pendidikan yang memanusiakan, tentang hukuman mati bagi pengedar narkoba, tentang kebiasaan manusia kontemporer (belum sempat saya publikasikan), dan beberapa tulisan ngawur lainnya -yang sungguh sangat tidak saya anjurkan untuk kalian baca kalau kalian tak mau jadi sedikit gila.
Selain itu, belakangan ini saya juga sangat intens mengikuti berita seputar strategi pemerintah DIY dalammenanggulangi keberadaan Gepeng. Setelah sebelumnya menerbitkan Perda yang melarang masyarakat Jogja memberi uang di jalanan kepada Gepeng, diketahui, setelah itu Pemda DIY berencana akan memberdayakan mereka dengan memberi bantuan tempat tinggal yang lebih layak, pelatihan, dan pembinaan, dan rencananya pembangunan rumah tinggal tersebut akan berlokasi di wilayah Nglanggeran, Patuk, Gunung Kidul.
Sebenarnya masih banyak sekali fenomena-fenomena yang belakangan ini cukup menguras pehatian saya hingga saya lupa merhatiin kamu, mulai dari penghinaan atas nabi besar Muhammad Sallallahi ‘Alaihi Wassallam, tentang Bripda Taufik, tentang korban kekejaman ISIS, tentang duka korban bencana tanah longsor Banjarnegara, tentang mahasiswa semester tua yang makin terancam DO, tersandera skripsi, dan terbayang-bayang jadi pengangguran, dan tak lupa juga tentang sarjana-sarjana yang kini sudah sukses menjadi pengangguran terbuka –setidaknya begitu harian Kompas memberitakan.
Berangkat dari fenomena-fenomena itulah, saya akhirnya berpikir, agaknya kita perlu merayakan Hari Kasih Sayang sebagai momentum untuk merevolusi rasa kemanusiaan kita –ingat, saya tidak menyebut hari Palentin loh ya. Tulisan ini membahas tentang Hari Kasih Sayang, bukan Hari Palentin.
Tujuannya apa, tak lain untuk merefleksikan sejauh mana rasa kasih sayang kita terhadap sesama dalam satu tahun ke belakang dan mau dibawa ke mana rasa kasih sayang kita terhadap sesama untuk satu tahun ke depan. Ini sangat penting, mengingat masalah-masalah di atas yang saya sebutkan tadi, pada dasarnya juga akan bermuara pada satu hal penting, yakni masih rendahnya rasa kasih sayang kita terhadap sesama.
(La wong kita ini kan sama-sama makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, masa’ kok ya tega-teganya membunuh atas nama agama, atau pun atas nama kehormatanmu yang sebenarnya amat hina di hadapan-Nya itu.
La wongnabi/utusan Tuhan di masing-masing agama kita saja bahkan sangat menyayangi musuhnya, la kok kita yang sama–sama umat seagama kok ya sampai bunuh-bunuhan, ludah-ludahan, tusuk-tusukan, tikung-tikungan, injak-injakan, bagaimana dengan yang berlainan agama?
La wong Tuhan saja sangat menyayangi semua makhluknya kok, termasuk yang menafsirkan wujudnya dengan cara yang berbeda, yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya, la kok kita yang beda sedikit saja sudah mencak-mencak tak karuan, menghujat habis-habisan, dan tega membunuh dengan sangat kejam.
La wong nabi/utusan agama kita saja sangat menyayangi orang-orang lemah kok, la kok kita malah dengan gagahnya menginjak-injak orang lemah dengan tujuan agar kita semakin kuat.
La wong cuma masalah beda suku, ras, dan pendapat saja kok ya sampai bacok-bacokan, sampai bakar-bakaran rumah, dan lagi-lagi, bunuh-bunuhan.
La wong gara-gara warisan saja kok ya sampai hati memutus tali persaudaraan di antara keluarga. Ah, rasanya masih sangat la wong la wong yang bisa saya sebutkan di sini, tapi itu sajalah. Banyak banyak nanti malah ndak kebaca, selebihnya silakan mikir sendiri !)
Andai saja Gus Dur masih hidup, mungkin Beliau akan langsung mendukung gerakan ini. Saya yakin itu. Namun untuk di Jogja, nampaknya kita juga tidak susah-susah untuk menemukan sosok-sosok pejuang kemanusiaan itu, meski keberadaannya seringkali di belakang panggung. Di Jogja, kita dapat belajar dari para seniman, sastrawan, budayawan, agamawan, pustakawan, wartawan, dan wan-wan lainnya yang sangat saya yakini sudah cukup matang rasa kemanusiaannya ketimbang kita yang masih bejat ini.
Agama Hindu, Budha, Kristen, Katolik, Islam, dan Konghucu, kesemuanya memiliki ajaran untuk berkasih sayang antar sesama manusia – tak hanya antar sesama umat seagama. Ini yang sering diabaikan banyak orang hingga menjadikannya semakin egois, sukuis, dan fanatis, dan fasis. Selama ini, banyak yang tak terlalu peduli bahwa sebenarnya dengan memelihara rasa kasih sayang dalam diri kita, dapat menyelamatkan kita dari berbagai penyakit hati : iri, sombong, benci, intoleran, dan berbagai penyakit jiwa lainnya.
Tapi agama saya melarang untuk ikut-ikutan merayakan hari kasih sayang itu.
Loh, yang mau ikut-ikutan itu siapa? Kita ini niatnya mau merayakan Hari Kasih Sayang. Memangnya agama mana yang sudah mengajarkan adanya Hari Kasih Sayang? Kristen? Itu kan hari Valentine, bukan hari kasih sayang ! Ya biar ndak terkesan ikut-ikutan agama lain, kita bikin sendiri hari dan teknis pelaksanannya. Kalau masalah waktu dan mekanisme, itu kan sebenarnya masalah teknis, kita bisa menentukan kapan waktu perayaannya dan bagaimana teknis pelaksanannya secara bersama-sama melalui musyawarah mufakat.
Tapi, untuk mengungkapkan rasa sayang kan tidak harus hari itu saja, bisa setiap hari?
Loh, yang cuman mau mengungkapkan rasa sayang hanya untuk satu hari itu siapa? Ini hanya media kita untuk merefleksikan sejauh mana rasa kasih sayang kita terhadap sesama manusia selama ini. Dalam satu tahun ke belakang, dan untuk mengukur mau dibawa ke mana rasa kasih sayang kita terhadap sesama untuk satu tahun ke depan. Ini tujuan utama kita. Di sini kita berbicara momentum, ingat, momentum !
Ah, itu mengada-ngada !
Iya, memang mengada-ada. Karena selama ini memang belum ada. Dari pada kalian berdebat tiap tahun tentang hari Palentin? Dari pada kalian nyesek mau merayakan tapi terhalang dengan ini itu ini itu. Kan lebih baik begini. Kita lebih luas dalam memaknai hari Kasih Sayang, tidak hanya kasih sayang antara dua kekasih –yang oleh anak-anak muda kini diidentikkan dengan hal-hal mesum-. DI sini kita hendak menciptakan hubungan antara manusia yang ideal, damai, dan guyup rukun.
Lalu, sebenarnya apa sih makna kasih sayang antar sesama manusia itu?
Tidak menyombongkan diri atas orang lain, karena pada dasarnya kita lahir di dunia ini dalam keadaan sama : telanjang, nangis, lemah, netek, tak bawa apa-apa. Belajar untuk saling menghargai dan memahami orang lain lah, jangan minta dipahamin terus. Hehe.
Oh iya, mbok ya jangan iri sama orang lain, kita sudah punya jatah masing-masing.
Mbok ya jangan ganggu orang lain, kita sudah punya hak, urusan, dan kewajiban masing-masing.
Mbok ya nggak usah ngomongin aib orang lain, kita sudah punya aib masing-masing. Mbok ya nggak usah menghakimi kesalahan orang lain, kita sudah punya dosa masing-masing.
Mbok ya yang ringan tangan dan belajar untuk saling membantu antar sesama manusia (dalam hal kebaikan loh ya), gemar berbagi (ilmu, senyum, makanan, minuman, cerita yang menyenangkan, mantan, dan lain sebagainya).
Wis lah, nggak usah banyak-banyak, intinya tuh begini : di dunia ini kita sama. Titik.
Biarkan Dia yang memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah, siapa yang harus ditinggikan dan siapa yang harus direndahkan, siapa yang harus mendapatkan balasan yang baik dan siapa yang harus mendapatkan balasan buruk, kita jangan coba-coba untuk mengambil Hak-Nya.
“La wong kalian itu cuma manusia hina saja kok mau macam-macam, tak bunuh sampean!” Ancam Tuhan menggunakan logat Madura.
Jadi, yuk, kita rayakan Hari Kasih Sayang ! Karena dengan berkasih sayang antarsesama lah kita akan dapat dengan mudah memahami agama, kebudayaan, hakikat hidup, hakikat Tuhan, dan hakikat-hakikat yang lainnya. Demikian, salam dari saya, A !*pelukan