Azis |
Teruntuk Mas-mas Begal
Yang Bersembunyi di Balik Kesunyian Malam
Halo mas, apa kabar? Sudah dengar belum kalau dalam beberapa hari ini kalian ramai diberitakan oleh hampir semua media massa dan stasiun tipi nasional? Katanya, aksi kalian semakin merajalela dan meresahkan. Saya haqqul-yaqin, sampean cukup apdet. Karena syarat utama untuk menjadi orang-orang seperti sampeanadalah jangan pernah ketinggalan informasi, sekecil apapun itu, apalagi yang menyangkut dengan diri sampean.
Karena aksi sampean yang menyedot perhatian itulah, kini Polisi jadi punya kerjaan tambahan mas, menggelar razia malam-malam misalnya. Masyarakat pun demikian, harus ekstra hati-hati dan jeli memilih jalan (agar tak melewati jalan yang sepi), nama Tuhan jadi sering-sering disebut sebagai penangkal dari marabahaya bernama Begal, baik sebelum, saat, dan sesudah berkendara. Karena sampeanpula, ada juga pengendara yang kemudian malah ditangkap polisi karena membawa senjata tajam yang niatnya hanya akan dijadikan sebagai alat pelindung diri kalau-kalau tiba-tiba sampeanmenghadangnya di jalan. Hihi, jangan ketawa mas!
Eh, ngomong-ngomong, sampean-sampean ini masih ingat saya kan? Saya Azis mas, dulu kita sering bertemu kok, di jalan, di tempat-tempat nongkrong, di Puskesmas, di ladang, di pos ojek, di tempat praktik tukang tambal ban, dan di depan sekolah-sekolah. Begitulah, pokoknya kita dulu pernah menjadi sebagian satu sama lain. Mudah-mudahan sampeaningat saya, sebagaimana saya yang selalu mengingat sampean-sampean hingga sekarang. Karena kita kan bukan wakil rakyat ya mas ya, kita bukan presiden kan ya mas ya, kita bukan ketua partai pulitik kan ya mas ya? Jadi, tidak ada alasan untuk tidak saling mengingat. Hehe
Oh iya, isi surat saya ini nanti, akan saya bagi ke dalam beberapa bagian, dengan sasaran yang juga berbeda-beda tentu. Mumpung saya masih diberi kesempatan menulis surat mas, jadi sekalian aja deh. Nggak apa-apa kan? Tidak ada tujuan apa-apa kok, selain biar lebih mudah saya menulisnya.
Pertama, buat mas Begal yang beroperasi di kampung-kampung dan daerah pelosok. Wah, sama dengan saya nih. Saya juga orang desa kok mas, berasal dari daerah pelosok juga. Hanya saja sekarang, saya sedang mengasah otak dan kemampuan di kota untuk dibawa pulang ke desa kelak, cita-citanya sih biar bisa mbangun desa mas. Karena asal saya itulah mas, saya menjadi sangat paham, di sana banyak sekali tempat sepi. Di tambah lagi, lampu penerangan jalan pun tak ada, padahal jalannya rusak serusak-rusaknya (sejak negara ini merdeka), pemerintah saling lempar kewenangan kalau ditanya jalan itu harus dibangun siapa, dan lagi, polisi pun jarang berpatroli. Wah, siapa coba yang tak tergiur menjadi perebut paksa motor orang yang lewat sendirian. Hihihihi. Apalagi, untuk menjualnya pun sangat mudah? Siapa pembelinya? Ya masyarakat itu sendiri, yang nggak punya cukup uang untuk membeli motor baru- yang sebenarnya kian dimurahkanitu.
Karenanya, saya juga tahu mas, di sana banyak sekali pengangguran, pemuda yang tak sekolah, dan petani yang merugi setiap tahunnya. Saya pernah mengalami semuanya malahan. Kini, hidup di desa-desa dan daerah pelosok, juga tak kalah mahal dengan hidup di kota. Lapangan kerja juga sulit didapat, mau jadi pebisnis pasarnya sangat terbatas, orang-orang berpendidikan tinggi masih langka (karena lebih memilih hidup di kota), apalagi pemuka agama, terbatas pula (sekali lagi, mereka lebih memilih hidup di kota), orang-orang kaya juga banyak yang pelit (dalam arti luas), dan, para pejabat negara jarang ada yang mau maen-maen ke desa (sebab kemungkinan diliput media massa sangat kecil).
Kalau boleh memilih, saya yakin, sebenarnya sampean juga tak mau kan jadi begal? Apa coba enaknya jadi begal? Harus berperang dengan ratusan ekor nyamuk saat menanti mangsa lewat, tak bebas bergerak di muka umum karena sedang membawa senjata, harus pandai berakting menjadi manusia Yang Sangat Kejam, bahkan kepada wanita dan anak-anak sekalipun, harus tega membunuh kalau si mangsa berusaha melawan (meski harus dengan cara yang paling keji), dan kalau lagi apes bener, sampean-sampean bisa ketangkep massa (bukan polisi loh ya!), dibakar, dipukulin, digebukin pake patok kuburan, dan akhirnya dikubur tanpa diperlakukan sebagaimana seharusnya sampean punya agama. (Sampean-sampean juga pasti paham betul bahwa menjadi begal, adalah pekerjaan paling mematikan yang tidak dapat diasuransikan).
Ya begitulah mas, mereka yang marah itu, kalau boleh memilih, sebenarnya juga tak ingin kok melampiaskan kemarahannya kepada sampean. Tapi ya mau gimana lagi, kepada siapa lagi mereka melampiaskan kemarahannya? Wakil rakyat? Bupati? Gubernur? Presiden? Tuhan? Kan ya tidak mungkin to, nglunjak nian kalau sampai berani seperti itu.
Jadi, terpaksa sampeanlah yang kemudian harus jadi sasaran. Mereka menjelma sebagai algojo, tahu karena apa? Karena mereka sudah tidak percaya mas kalau masih ada hukum di negara kita –mungkin karena terlalu sering melihat hukum seolah dipermainkan oleh Yang Di Atas Kursi Pemerintahan. Dan akhirnya, hal tersebut menyulut kemarahan yang lebih besar lagi bagi sampean hingga kemudian terjadilah perang saudara : antara mas Begal dengan masyarakat.
Yang kedua, buat mas-mas Begal yang beroperasi di daerah perkotaan. Saya juga cukup paham mas, gimana rasanya hidup di daerah perkotaan itu. Ada banyak sekali orang-orang yang termarginalkan. Bisa jadi, tanpa sampean sadari, sampean juga termasuk di dalamnya, hanya saja sampean tak merasa. Maaf mas, saya tak bermaksud merendahkan sampean-sampean semua.
Sampean mungkin geram dengan gaya hidup orang kota, suka membuang-buang waktu dan uang hingga pulang sampai larut malam, pulang sendiri-sendiri lagi. Sudah itu, naik motornya nggak pake baca doa lagi.
Sampean mungkin juga gemes, ternyata orang yang hidup di daerah perkotaan itu banyak yang ngeyel sukanya. Kan sudah dibilang, pake motor itu banyak mudharatnya, memperbesar potensi kecelakaan lalu lintas. Mas heran kan, kok ya banyak banget orang yang nggak mau denger titah Yang Dipertuan Ahok : “Mengendarai motor di kota itu bisa membuat kemacetan semakin parah. Pake mobil dong, terus lewat jalan busyway –yang dibangun dengan entah uang siapa-, asal mau bayar aja, kan dengan begitu kas pemerintah nambah.”
Jadi orang miskin kok ya ngeyel terus hobinya. Begitu kan mas?
Terakhir, buat mas-mas Begal yang masih berstatus pelajar atau mahasiswa yang beroperasi di daerah pedesaan dan perkotaan. Karena saya juga telah mengalaminya, saya pun jadi cukup paham, sekolah, sampai sekarang, belum menjadi tempat yang asyik, nikmat, dan nyaman buat belajar dan bermain. Guru-gurunya kurang kreatif, kolot, dan menganggap siswanya sebagai anak-anak bodoh yang harus segera dipintarkan, sebab kalau tidak, mereka tidak akan berguna.
Peraturan sekolah –berikut penegakannya- dari dulu cuma kena tanggung. Tegas nggak, lemah juga nggak. Sehingga sekolah tidak bisa dijadikan tempat untuk berkekspresi, mengasah bakat, memahat cita-cita dan menspesialisasikan diri siswanya.
Hingga akhirnya, bagi sampean-sampean yang sudah saya sebutkan tadi, menjadi begal adalah pilihan terakhir yang harus sampean pilih, meskipun sebenarnya tak ingin sampean pilih.
Tapi mas, saya merasa perlu berterimakasih kepada sampean-sampean sekalian. Karena kalian, kami jadi ingat kembali Tuhan kami, minimal saat berkendara. Kami jadi lebih berhati-hati saat keluar rumah di malam hari, kami jadi tak memilih sendiri ketika memang ada teman yang bisa menemani. Para Polisi, juga ditambah pahalanya karena harus bekerja lebih ekstra. Tipi-tipi, juga jadi punya bahan berita. Para jamaah sosmed, juga jadi punya topik untuk membuat status –minimal kini mereka tidak mengeluh lagi. Dan, saya, secara pribadi, jadi punya bahan untuk postingan blog saya. Demikian, sekali lagi, terimakasih banyak mas Begal.
Hati-hati di jalan mas! Semoga Tuhan melindungi orang-orang yang akan kau begal, begitu pun denganmu!
Best Regard
Darul Azis