Aku pengin wisuda |
Isu tentang mayoritas-minoritas memang selalu asyik untuk diperbincangkan. Tapi kali ini bukan tentang agama, ras, bahasa, pendukung parpol, kelompok ekstrem ataupun semacamnya. Ini hanya soal umur studi mahasiswa.
Demikianlah kenyataan di kos yang kini saya tinggali berkata, mayoritas penghuninya adalah mahasiswa-mahasiswa uzur yang tak kunjung (bisa) menyelesaikan kuliahnya. Sehingga di kos saya itu, mahasiswa semester baru menjadi sebentuk kaum minoritas yang harus dilindungi habitatnya agar tidak punah (baca : minggat), diperhatikan serta disayangi agar tidak malah mencontoh ataupun terpengaruh oleh kaum mayoritas yang tak hanya terlihat sangat dewasa itu –untuk tidak dikatakan tua- melainkan juga memiliki tampang yang sangat seram, jahat, dan aneh-aneh seperti saya.
Melihat kenyataan itu, pernah suatu kali, sambil menyalurkan hobi dan ambisi saya untuk menjadi wartawan amatiran, saya melakukan obrolan ringan mengenai kenapa mereka tak kunjung lulus dan apa yang saat ini mereka rasakan?
Melihat kenyataan itu, pernah suatu kali, sambil menyalurkan hobi dan ambisi saya untuk menjadi wartawan amatiran, saya melakukan obrolan ringan mengenai kenapa mereka tak kunjung lulus dan apa yang saat ini mereka rasakan?
“Jadi mahasiswa semester tua itu tidak enak,” bukanya.
“Di-bully lah, ditanya-tanya kapan luluslah, inilah, itulah! Masih mending jadi jomblo! Paling cuma ditanya kapan punya pacar.” Meski tidak cukup setuju, saya tak mecoba menyangkalnya.
“Saya pernah suatu hari, di depan umum, di depan banyak mahasiswa adik angkatan, ditanyai seorang dosen, dengan suara lantang pula, mungkin maksudnya becanda, dia tanya kapan aku lulus? Kenapa enggak lulus-lulus? Mau nunggu apa lagi? Waktu itu, kenangnya, beneran, saya sangat malu dan mati kutu. Seolah-olah seluruh orang yang ada di situ sedang menghakimi saya.” Ungkap seorang mahasiswa yang sudah tujuh tahun kuliah di sebuah kampus yang baru saja dinegerikan itu kepada saya, dengan mata menerawang dan berkaca-kaca.
“Aku kalau ke kampus, lanjutnya, sekarang tidak punya teman lagi. Teman-teman seangkatan sudah banyak yang lulus. Ah, keparat sekali mereka itu, masuknya bareng, keluarnya enggak mau bareng.” Ia kemudian malah mengecam teman-teman seangkatannya.
“Jadi kalau ke kampus, aku jadi suka curi-curi waktu dan kesempatan, kayak maling aja sudah! Mana dosen pembimbing sukar sekali ditemui, lengkap sudah penderitaan. Itulah kadang yang bikin aku males pergi ke kampus, termasuk untuk bimbingan skripsi sekalipun. Karena ya itu tadi, enggak lagi punya teman, adik-adik kelas udah kayak sinis, dan dosen kalau nanya-nanya kapan aku lulus enggak lagi pake ukuran ada banyak orang atau tidak. Kalau di kantin, aku merasa paling tua. Paling sebel kalau ada adik-adik angkatan yang nanya “Angkatan tahun berapa kaka?”
Sampai di sini, saya sebenarnya cukup prihatin. Namun karena saya pikir jika obrolan wawancara terselubung itu saya lanjutkan justru akan sangat membantu dia dalam mengeluarkan uneg-unegnya, maka saya lanjutkan saya obrolan monoton itu –iya, saya sebenarnya lebih banyak mendengarkan.
“Kemarin, waktu orang tuaku ke sini, dia bilang kalau teman-teman di kampung yang kuliahnya bukan di Jogja sudah banyak yang nanya, kapan aku lulus. Itu terus pertanyaannya. Sekarang anaknya yang tanya, besoknya ibunya, besoknya lagi ayahnya, besoknya lagi omnya. Kayak enggak ada pertanyaan lain saja mereka itu."
“Di kampung, teman-temanmu sudah mau nikah (karena sudah kerja), malahan sudah ada yang (mau) punya anak (karena mereka sudah kerja dan nikah). Kamu di sini masih aja ngubek-ngubek skripsi!” Begitu bapakku membanding-bandingkan aku dengan mereka.
Kujawab saja, “Coba mereka suruh kuliah di sini saja, pasti bakalan sama kayak aku. Kuliah di sini bukannya enggak enak Pa. Terlalu enak malahan,” Ujarnya dengan agak keras, barangkali begitulah percakapannya waktu itu.
“So, jadi mahasiswa semester tua yang enggak lulus-lulus itu enggak enak ya?” Tanyaku memastikan dengan sedikit menggoda.
“Kalau tak percaya, coba saja!” Balasnya ketus, dengan logat daerah asal yang sangat khas.