Predikat ganda yang hingga saat ini lekat dengan Kota Yogyakarta membuat kota ini semakin menarik perhatian banyak orang. Kedatangan mereka ada yang hanya dalam hitungan hari, namun ada pula yang menetap sampai bertahun-tahun lamanya. Tingginya antusias para pendatang tersebut telah menjadikan kota Yogyakarta dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi dibandingkan dengan empat kabupaten lainnya. Berdasarkan data BPS Provinsi DIY tahun 2012, kepadatan penduduk kota Yogyakarta mencapai 12.123 jiwa/km dengan luas wilayah kota Yogyakarta yang hanya 32,50 Km2. Dengan demikian jumlah penduduk kota Yogyakarta mencapai 393.998 jiwa di tahun 2012. Peningkatan drastis terjadi di tahun 2013, yakni dihuni oleh 428.282 jiwa dengan kepadatan rata-rata 13.177 jiwa/Km² (Data SIAK per tanggal 28 Februari 2013).
Tingginya tingkat kepadatan penduduk di kota Yogyakarta tentu diikuti dengan tuntutan terpenuhinya kebutuhan dasar manusia sebagai sarana penunjang aktivitas sehari-hari, tidak terkecuali adalah air bersih. Air bersih merupakan salah satu kebutuhan utama manusia demi memenuhi standar hidup yang sehat. Ketersediaan air yang sehat, terjangkau, dan berkelanjutan merupakan hal penting yang harus diperhatikan baik oleh masyarakat maupun pemerintah kota Yogyakarta. Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk tersebut maka permintaan terhadap air bersih pun semakin tinggi pula, sehingga dituntut adanya manajemen air perkotaan yang baik agar dapat menyediakan kebutuhan masyarakat terhadap air bersih.
Sebagai destinasi wisata, di kota Yogyakarta juga banyak berdiri usaha perhotelan dari bintang satu sampai dengan bintang lima. Usaha perhotelan ini memegang peranan penting terhadap iklim pariwisata di DIY, yakni sebagai tempat menginap wisatawan, baik yang berasal dari dalam negeri maupun mancanegara. Dengan demikian usaha perhotelan menjadi bisnis pariwisata yang sangat menjanjikan keuntungan bagi para pelakunya.
Namun akhir-akhir ini banyak kalangan yang mempermasalahkan keberadaan hotel-hotel di Kota Yogyakarta yang semakin banyak dan diperkirakan akan terus bertambah karena proses perizinan pendiriannya dinilai begitu mudah. Salah satu hal mendasar yang melatarbelakangi respon tersebut adalah dampak pengeboran sumur yang dilakukan oleh pengusaha perhotelan yang dapat memengaruhi debit air di sekitar lokasi hotel berdiri yang kebanyakan adalah pemukiman warga. Kita tentu masih ingat, aksi salah satu warga yang mandi dengan tanah di depan salah satu hotel di Kota Yogyakarta beberapa bulan yang lalu.
Demikianlah, hotel-hotel di kota Yogyakarta semuanya telah menggunakan sumur bor untuk memenuhi kebutuhan air, kedalamannya pun seringkali tidak terkontrol dan bahkan melebihi kedalaman sumur masyarakat di sekitar hotel sehingga menyebabkan sumur warga menjadi berkurang debit airnya karena terserap oleh sumur bor milik usaha perhotelan.
Menanggapi protes yang sangat keras tersebut barulah kemudian Walikota Yogyakarta mengeluarkan moratorium pendirian hotel sampai dengan tahun 2015 pada akhir 2013 lalu -meskipun demikian untuk proposal yang masuk dan telah melengkapi persyaratan administratif, pendirian hotel akan terus berlangsung.
Tak cukup sampai di situ, moratorium pendirian hotel kemudian disusul oleh kebijakan lain yang dikeluarkan pada awal tahun 2014 lalu, pemerintah Kota Yogyakarta mengeluarkan regulasi yang mengatur tentang pemakaian air bagi usaha perhotelan melalui Peraturan Walikota Nomor 3 Tahun 2014 tentang Penyediaan Air Baku Usaha Perhotelan di Kota Yogyakarta. Dalam peraturan tersebut setiap usaha perhotelan yang terjangkau (Ingat : yang terjangkau loh ya) oleh jaringan PDAM diwajibkan untuk menyediakan air baku yang bersumber dari PDAM. Meskipun di samping itu, usaha perhotelan juga masih diperbolehkan untuk mempergunakan sumber air tanah untuk tambahan penyediaan air baku dalam kegiatan usahanya. Bagi hotel yang sudah berdiri sebelum peraturan tersebut diterbitkan, diberikan waktu selambat-lambatnya dua tahun (2016) untuk penyesuaian ketentuan-ketentuan yang termuat dalam peraturan tersebut.
Sementara bagi setiap orang pribadi atau badan yang akan mendirikan usaha perhotelan baru di Kota Yogyakarta harus melampirkan surat pernyataan kesanggupan bermaterai untuk berlangganan PDAM dan gambar rencana instalasi penyediaan sumber air dalam dokumen lingkungan. Ketentuan lain juga diperuntukkan bagi setiap orang pribadi atau badan yang akan mengajukan izin gangguan atau perpanjangan/registrasi ulang izin gangguan untuk usaha perhotelan harus melampirkan surat keterangan sebagai pelanggan PDAM.
Dalam implementasinya, pemerintah Kota Yogyakarta telah menunjuk tiga institusi untuk menjalankan fungsi pembinaan dan pengawasan. Fungsi pembinaan akan dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup (BLH) dan PDAM. Sedangkan fungsi pengawasan akan dilakukan oleh Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Fungsi pengawasan oleh Dinas Perizinan meliputi penjatuhan sanksi administratif bagi usaha perhotelan yang tidak melakukan kewajibannya, yaitu menyediakan air baku yang bersumber dari PDAM. Sanksi tersebut dilaksanakan dalam dua tahapan, yakni peringatan tertulis sebanyak tiga kali dengan tenggang waktu masing-masing enak hari kerja, dan sanksi pencabutan izin jika dokumen persyaratan yang dilampirkan dalam permohonan izin terbukti tidak benar dan terjadi pelanggaran terhadap ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencabutan izin tersebut dilakukan oleh Kepala Dinas Perizinan dengan mengeluarkan Surat Keputusan Pencabutan Izin Gangguan.
Implementasi kebijakan ini selain berdampak langsung terhadap usaha perhotelan di kota Yogyakarta, juga menjadi tantangan PDAM Tirta Marta untuk dapat memberikan pelayanan pemenuhan kebutuhan air baku bagi usaha perhotelan di Kota Yogyakarta. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik DIY tahun 2012, jumlah usaha perhotelan berbintang sebanyak 32 hotel. Jumlah ini meningkat di tahun 2013 dengan jumlah total 42 hotel berbintang dan diperkirakan akan terus bertambah, mengingat sejak diundangkannya Peraturan Wali Kota Yogyakarta Nomor 77 Tahun 2013 tentang Pengendalian Pembangunan Hotel masih ada sekitar 106 permohonan pembangunan hotel baru yang diajukan di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta.
Tingginya tingkat kepadatan penduduk di kota Yogyakarta tentu diikuti dengan tuntutan terpenuhinya kebutuhan dasar manusia sebagai sarana penunjang aktivitas sehari-hari, tidak terkecuali adalah air bersih. Air bersih merupakan salah satu kebutuhan utama manusia demi memenuhi standar hidup yang sehat. Ketersediaan air yang sehat, terjangkau, dan berkelanjutan merupakan hal penting yang harus diperhatikan baik oleh masyarakat maupun pemerintah kota Yogyakarta. Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk tersebut maka permintaan terhadap air bersih pun semakin tinggi pula, sehingga dituntut adanya manajemen air perkotaan yang baik agar dapat menyediakan kebutuhan masyarakat terhadap air bersih.
Sebagai destinasi wisata, di kota Yogyakarta juga banyak berdiri usaha perhotelan dari bintang satu sampai dengan bintang lima. Usaha perhotelan ini memegang peranan penting terhadap iklim pariwisata di DIY, yakni sebagai tempat menginap wisatawan, baik yang berasal dari dalam negeri maupun mancanegara. Dengan demikian usaha perhotelan menjadi bisnis pariwisata yang sangat menjanjikan keuntungan bagi para pelakunya.
Namun akhir-akhir ini banyak kalangan yang mempermasalahkan keberadaan hotel-hotel di Kota Yogyakarta yang semakin banyak dan diperkirakan akan terus bertambah karena proses perizinan pendiriannya dinilai begitu mudah. Salah satu hal mendasar yang melatarbelakangi respon tersebut adalah dampak pengeboran sumur yang dilakukan oleh pengusaha perhotelan yang dapat memengaruhi debit air di sekitar lokasi hotel berdiri yang kebanyakan adalah pemukiman warga. Kita tentu masih ingat, aksi salah satu warga yang mandi dengan tanah di depan salah satu hotel di Kota Yogyakarta beberapa bulan yang lalu.
Demikianlah, hotel-hotel di kota Yogyakarta semuanya telah menggunakan sumur bor untuk memenuhi kebutuhan air, kedalamannya pun seringkali tidak terkontrol dan bahkan melebihi kedalaman sumur masyarakat di sekitar hotel sehingga menyebabkan sumur warga menjadi berkurang debit airnya karena terserap oleh sumur bor milik usaha perhotelan.
Menanggapi protes yang sangat keras tersebut barulah kemudian Walikota Yogyakarta mengeluarkan moratorium pendirian hotel sampai dengan tahun 2015 pada akhir 2013 lalu -meskipun demikian untuk proposal yang masuk dan telah melengkapi persyaratan administratif, pendirian hotel akan terus berlangsung.
Tak cukup sampai di situ, moratorium pendirian hotel kemudian disusul oleh kebijakan lain yang dikeluarkan pada awal tahun 2014 lalu, pemerintah Kota Yogyakarta mengeluarkan regulasi yang mengatur tentang pemakaian air bagi usaha perhotelan melalui Peraturan Walikota Nomor 3 Tahun 2014 tentang Penyediaan Air Baku Usaha Perhotelan di Kota Yogyakarta. Dalam peraturan tersebut setiap usaha perhotelan yang terjangkau (Ingat : yang terjangkau loh ya) oleh jaringan PDAM diwajibkan untuk menyediakan air baku yang bersumber dari PDAM. Meskipun di samping itu, usaha perhotelan juga masih diperbolehkan untuk mempergunakan sumber air tanah untuk tambahan penyediaan air baku dalam kegiatan usahanya. Bagi hotel yang sudah berdiri sebelum peraturan tersebut diterbitkan, diberikan waktu selambat-lambatnya dua tahun (2016) untuk penyesuaian ketentuan-ketentuan yang termuat dalam peraturan tersebut.
Sementara bagi setiap orang pribadi atau badan yang akan mendirikan usaha perhotelan baru di Kota Yogyakarta harus melampirkan surat pernyataan kesanggupan bermaterai untuk berlangganan PDAM dan gambar rencana instalasi penyediaan sumber air dalam dokumen lingkungan. Ketentuan lain juga diperuntukkan bagi setiap orang pribadi atau badan yang akan mengajukan izin gangguan atau perpanjangan/registrasi ulang izin gangguan untuk usaha perhotelan harus melampirkan surat keterangan sebagai pelanggan PDAM.
Dalam implementasinya, pemerintah Kota Yogyakarta telah menunjuk tiga institusi untuk menjalankan fungsi pembinaan dan pengawasan. Fungsi pembinaan akan dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup (BLH) dan PDAM. Sedangkan fungsi pengawasan akan dilakukan oleh Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Fungsi pengawasan oleh Dinas Perizinan meliputi penjatuhan sanksi administratif bagi usaha perhotelan yang tidak melakukan kewajibannya, yaitu menyediakan air baku yang bersumber dari PDAM. Sanksi tersebut dilaksanakan dalam dua tahapan, yakni peringatan tertulis sebanyak tiga kali dengan tenggang waktu masing-masing enak hari kerja, dan sanksi pencabutan izin jika dokumen persyaratan yang dilampirkan dalam permohonan izin terbukti tidak benar dan terjadi pelanggaran terhadap ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencabutan izin tersebut dilakukan oleh Kepala Dinas Perizinan dengan mengeluarkan Surat Keputusan Pencabutan Izin Gangguan.
Implementasi kebijakan ini selain berdampak langsung terhadap usaha perhotelan di kota Yogyakarta, juga menjadi tantangan PDAM Tirta Marta untuk dapat memberikan pelayanan pemenuhan kebutuhan air baku bagi usaha perhotelan di Kota Yogyakarta. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik DIY tahun 2012, jumlah usaha perhotelan berbintang sebanyak 32 hotel. Jumlah ini meningkat di tahun 2013 dengan jumlah total 42 hotel berbintang dan diperkirakan akan terus bertambah, mengingat sejak diundangkannya Peraturan Wali Kota Yogyakarta Nomor 77 Tahun 2013 tentang Pengendalian Pembangunan Hotel masih ada sekitar 106 permohonan pembangunan hotel baru yang diajukan di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta.
Sementara itu, dalam evaluasi jaringan perpipaan pada bulan Februari lalu, Direktur PDAM Tirtamarta, Dwi Agus Triwidodo, mengatakan tingkat kebocoran air di PDAM Tirtaamarta terhitung masih tinggi, yakni 29 persen, meski angka tersebut terhitung menurun 1 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai 30 persen. Menurutnya, meski angka tersebut terkesan kecil, tapi untuk menekan hingga satu persen itu sudah sangat bagus karena membutuhkan upaya yang cukup berat. (KR, 23/2/2015).
Prematur
Prematur
Ditilik dari tingginya tingkat permasalahan (kebocoran pipa) yang dihadapi oleh PDAM saat ini, maka kebijakan Walikota Yogyakarta yang mewajibkan agar hotel-hotel berlangganan air PDAM dapat dinilai sebagai kebijakan yang prematur, kurang terencana, serta tidak terkordinasi dengan pihak-pihak terkait, khususnya PDAM Tirtamarta dan pengusaha perhotelan di Kota Yogyakarta. Seharusnya, jika memang kebijakan ini matang dalam proses perumusannya, tidak sampai muncul pernyataan kebingungan dari para pengusaha perhotelan. Sebagaimana pengakuan Sekretaris Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY, Deddy Pranawa Eryana, menurutnya ia sama sekali belum pernah diajak komunikasi oleh Pemkot. Padahal katanya, sebelum Perwal disahkan, para pelaku perhotelan atau PHRI seharusnya dimintai masukan.
"Kami belum tahu, apakah akan menerima atau menolak karena tidak pernah dikomunikasikan," tandasnya sebagaimana disiarkan KRdotcom pada 16 Maret 2014 lalu.
Namun tak lama kemudian, tepatnya pada tanggal 21 Maret 2014, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia DIY menyatakan siap memenuhi kebijakan Pemerintah Kota Jogja tentang kewajiban berlanggan air di PDAM dan meminta perusahaan air minum itu menjamin pemenuhan air bersih untuk perhotelan.
“Kebijakan yang dituangkan dalam peraturan wali kota itu cukup baik, dan kami menerimanya. Hanya saja, yang menjadi kekhawatiran kami adalah apakah air dari PDAM memenuhi kebutuhan usaha perhotelan atau tidak,” kata Sekretaris Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY Deddy Pranawa Eryana seperti dirilis AntaraJogja.com.
Pertanyaan yang kemudian benar-benar mengganggu penulis adalah, bagaimana pemenuhan air bersih untuk usaha perhotelan bisa dijamin, sementara infrastrukturnya masih banyak yang harus diperbaiki dan dipersiapkan? Masalah kebelumsiapan itu –untuk tidak dikatakan tidak siap- itu bahkan diakui oleh Wakil Walikota Yogyakarta sendiri, Imam Priyono yang juga mantan Direktur PDAM Tirtamarta itu, sebagaimana dirilis AntaraJogja.com.
(Mengenai kebelumsiapan itu, penulis juga telah melakukan wawancara singkat dengan salah satu pegawai PDAM Tirtamarta, dan demikianlah adanya, PDAM sebenarnya sama sekali belum siap untuk melaksanakan kebijakan itu)
Jika dikaitkan dengan waktunya, kebijakan ini dikeluarkan setelah semakin banyaknya aksi penolakan pendirian hotel-hotel baru di Kota Yogyakarta oleh berbagai kalangan, terutama masyarakat (untuk masalah ini, saya jarang sekali mendengar suara dari para akademisi, entahlah). Hingga kemudian Walikota Yogyakarta mengeluarkan dua peraturan penting, yakni moratorium pendirian hotel dan peraturan tentang penyediaan air baku oleh PDAM Tirtamarta bagi usaha perhotelan di Kota Yogyakarta, yang kemudian seolah menjadi “penyumpal” suara keras masyarakat yang selama ini menolak pendirian hotel-hotel baru di Kota Yogyakarta. Hasilnya, memang cukup signifikan, dari pengamatan penulis, saat ini aksi penolakan tersebut sudah cukup reda dan jarang lagi terdengar, sementara pembangunan hotel-hotel baru dan gedung-gedung mewah terus berjalan, dan kita tidak tahu apakah mereka itu telah termasuk sebagai (calon) pelanggan PDAM atau bukan, jika iya bagaimanakah proses pengawasannya? Apakah sudah dilakukan dengan baik oleh pihak terkait –jika didasarkan pada Perwal-; apakah PDAM sendiri sudah mulai merumuskan strategi untuk itu, kalau memang sudah, bagaimana strateginya dan kapan akan dimulai? Informasi-informasi semacam itu tidak pernah (di)sampai(kan) kepada masyarakat secara jelas.
Untuk itulah, melalui tulisan ini, perlulah kiranya kita kembali mengingatkan pemimpin kita di pemerintahan Kota Yogyakarta untuk bersedia (kembali) memberi perhatian lebih pada masalah ini, agar prasangka-prasangka kami atas panjenengan tidak semakin buruk adanya. Barangkali, kami akan lebih bermurah maaf jika memang panjenengan mengakui kalau kebijakan yang kemarin panjenengan keluarkan itu memang terlalu grusa-grusu dan asal jadi, sehingga tidak terkaji dengan baik, dengan syarat panjenengan berkomitmen untuk –sekali lagi- memberi perhatian lebih pada masalah ini. Kalau memang ada hotel yang sudah harus berlangganan air PDAM, hambok mulai direalisasikan, diawasi, kalau ada yang melanggar, ya jangan segan-segan untuk menindak tegas sesuai peraturan yang ada (SP1, SP2, SP3, Pencabutan izin). Kami hanya perlu kejelasan itu. Dalam hal pengawasan, sebenarnya masyarakat sekitar hotel akan dapat turut mengawasi, kalau sumur mereka asatnya kebangetan, berarti hotel-hotel itu memakai airnya juga kebangetan -dan air dari PDAM tidak ada.
Akhirnya, melalui tulisan ini pula, kami ingin mempertanyakan (kembali), bagaimana kabar kebijakan panjenengan mengenai kewajiban hotel-hotel di Kota Yogyakarta agar berlangganan air dari PDAM? Kalau memang kebijakan ini berkiblat pada keberhasilan PDAM Badung Bali yang maju pesat karena didukung oleh aturan bahwa seluruh hotel di wilayah tersebut berlangganan air melalui PDAM sebagaimana yang panjenengan sampaikan kepada Antara, sudahkah ada upaya studi banding mengenai itu? Kalau memang kebijakan ini nantinya juga akan menggandeng pemerintahan tetangga, sebagaimana yang juga pernah panjenengan sampaiken, apakah sudah ada pembicaraan dengan mereka? Sungguh, kami menantikan kabar kelanjutan kebijakan itu, sebelum air-air di sumur kami (yang berada di sekitar bangunan hotel dan gedung-gedung mewah lainnya) kering, sebelum Kota Yogyakarta yang kini punya brand resmi “Istimewa” itu mengalami krisis air yang masif.
Dan juga kepada masyarakat yang ada di Kota Yogyakarta khususnya, sudah saatnya kita keluar dari euforia “keistimewaan” Yogyakarta, karena kita kalau selamanya begitu, kita tidak akan bisa melihat dengan jelas “ketidakistimewaan” yang juga melekat erat di pundak Kota Yogya.
(Mengenai kebelumsiapan itu, penulis juga telah melakukan wawancara singkat dengan salah satu pegawai PDAM Tirtamarta, dan demikianlah adanya, PDAM sebenarnya sama sekali belum siap untuk melaksanakan kebijakan itu)
Jika dikaitkan dengan waktunya, kebijakan ini dikeluarkan setelah semakin banyaknya aksi penolakan pendirian hotel-hotel baru di Kota Yogyakarta oleh berbagai kalangan, terutama masyarakat (untuk masalah ini, saya jarang sekali mendengar suara dari para akademisi, entahlah). Hingga kemudian Walikota Yogyakarta mengeluarkan dua peraturan penting, yakni moratorium pendirian hotel dan peraturan tentang penyediaan air baku oleh PDAM Tirtamarta bagi usaha perhotelan di Kota Yogyakarta, yang kemudian seolah menjadi “penyumpal” suara keras masyarakat yang selama ini menolak pendirian hotel-hotel baru di Kota Yogyakarta. Hasilnya, memang cukup signifikan, dari pengamatan penulis, saat ini aksi penolakan tersebut sudah cukup reda dan jarang lagi terdengar, sementara pembangunan hotel-hotel baru dan gedung-gedung mewah terus berjalan, dan kita tidak tahu apakah mereka itu telah termasuk sebagai (calon) pelanggan PDAM atau bukan, jika iya bagaimanakah proses pengawasannya? Apakah sudah dilakukan dengan baik oleh pihak terkait –jika didasarkan pada Perwal-; apakah PDAM sendiri sudah mulai merumuskan strategi untuk itu, kalau memang sudah, bagaimana strateginya dan kapan akan dimulai? Informasi-informasi semacam itu tidak pernah (di)sampai(kan) kepada masyarakat secara jelas.
Untuk itulah, melalui tulisan ini, perlulah kiranya kita kembali mengingatkan pemimpin kita di pemerintahan Kota Yogyakarta untuk bersedia (kembali) memberi perhatian lebih pada masalah ini, agar prasangka-prasangka kami atas panjenengan tidak semakin buruk adanya. Barangkali, kami akan lebih bermurah maaf jika memang panjenengan mengakui kalau kebijakan yang kemarin panjenengan keluarkan itu memang terlalu grusa-grusu dan asal jadi, sehingga tidak terkaji dengan baik, dengan syarat panjenengan berkomitmen untuk –sekali lagi- memberi perhatian lebih pada masalah ini. Kalau memang ada hotel yang sudah harus berlangganan air PDAM, hambok mulai direalisasikan, diawasi, kalau ada yang melanggar, ya jangan segan-segan untuk menindak tegas sesuai peraturan yang ada (SP1, SP2, SP3, Pencabutan izin). Kami hanya perlu kejelasan itu. Dalam hal pengawasan, sebenarnya masyarakat sekitar hotel akan dapat turut mengawasi, kalau sumur mereka asatnya kebangetan, berarti hotel-hotel itu memakai airnya juga kebangetan -dan air dari PDAM tidak ada.
Akhirnya, melalui tulisan ini pula, kami ingin mempertanyakan (kembali), bagaimana kabar kebijakan panjenengan mengenai kewajiban hotel-hotel di Kota Yogyakarta agar berlangganan air dari PDAM? Kalau memang kebijakan ini berkiblat pada keberhasilan PDAM Badung Bali yang maju pesat karena didukung oleh aturan bahwa seluruh hotel di wilayah tersebut berlangganan air melalui PDAM sebagaimana yang panjenengan sampaikan kepada Antara, sudahkah ada upaya studi banding mengenai itu? Kalau memang kebijakan ini nantinya juga akan menggandeng pemerintahan tetangga, sebagaimana yang juga pernah panjenengan sampaiken, apakah sudah ada pembicaraan dengan mereka? Sungguh, kami menantikan kabar kelanjutan kebijakan itu, sebelum air-air di sumur kami (yang berada di sekitar bangunan hotel dan gedung-gedung mewah lainnya) kering, sebelum Kota Yogyakarta yang kini punya brand resmi “Istimewa” itu mengalami krisis air yang masif.
Dan juga kepada masyarakat yang ada di Kota Yogyakarta khususnya, sudah saatnya kita keluar dari euforia “keistimewaan” Yogyakarta, karena kita kalau selamanya begitu, kita tidak akan bisa melihat dengan jelas “ketidakistimewaan” yang juga melekat erat di pundak Kota Yogya.
Demikian dari kami, semoga Tuhan memberkati kita semua. Aamiin.
Yogyakarta, 14 April 2015.
Azis
Yogyakarta, 14 April 2015.
Azis
Di Desaku sekarang sarana air sudah ada, adanya PDAM sangat membantu warga yg kekurangan air dan airnya kuning
ReplyDeleteAir tangki dari pegunungan bisa jadi alternatif air bersih. Di samping bersih juga terjamin kualitasnya. Misalnya Tirta Jaya. Mungkin itu bisa jadi solusi jika PDAM terhambat. :)
ReplyDeleteTirta Jaya itu di Jogja juga ya Kak?
Delete