Oleh : Seorang Mahasiswa Semester Akhir, Sebut Saja yang Punya Blog ini.
Beberapa hari lalu, di sela-sela ke(sok)sibukan saya sebagai seorang mahasiswa semester akhir, tak tahu mengapa saya merasa perlu nyelakkewaktu untuk nonton sebuah film yang cukup fenomenal di kalangan mahasiswa belakangan ini, khususnya mereka yang sedang dibuat galau oleh sejilidan kertas bernama skripsi. Yang kata para alumnus, membutuhkan perjuangan yang dahsyat, berdarah-darah, memeras keringat membanting uang, dan hati yang lapang selapang hatinya jomblo akut yang tak kunjung dapat pacar.
Saya merasa ini merupakan sebuah terobosan logis dan cerdas, karena saya ingin memperkaya referensi dan hidayah agar blog skripsi saya semakin berbobot isinya. Nonton film yang sepertinya akan menampar pipi kanan kiri, saya tak mau sendiri dong. Maka saya pengaruhilah dua orang teman saya, sebut saja namanya Edward dan Cholis (tentu nama tadi adalah nama sebenarnya, perihal bagaimana status kesekripsian mereka, sungguh saya tak sampai hati jika harus mengatakannya di sini).
Sesampainya di bioskop, dengan sangat pedenya kami memesan tiket, menanti waktu tayang di lobi, sambil sesekali selpi, dan kemudian masuk ke ruang teater bersama-sama penonton yang kami duga juga merupakan korban ocehan dan coretan sadis dosen pembimbing, korban pertanyaan “kapan wisuda?” plus pertanyaan “kapan punya pacar?” –jika yang ia adalah mahasiswa semester akhir, plus jomblo pula.
Sungguh, malam itu, kami bersama kira-kira tiga puluhan penonton lain selayak fans setia jamaah pengajian yang sedang menantikan ustadz idola dari ibukota. Dari raut wajah para penonton malam itu, terlihat jelas bahwa mereka sudah menata hati dan mengosongkan pikiran sejak pertama kali duduk di kursi. Seolah bersiap-siap kalau-kalau ada sebentuk pelajaran dan semacam solusi yang bisa diperoleh selepas menonton film yang kami ekspektasikan sangat mewakili isi hati kami itu. Pelajaran dan solusi apa pun itu. Asalkan bisa mendongkrak akselerasi penggarapan skripsi tentunya.
Tentang detail film itu, saya tidak akan menceritakannya di sini. Selain karena malas ngetik banyak-banyak, tentu agar tetap berada di jalur yang benar (sesuai judul catatan). Dan juga agar Anda menontonnya sendiri tanpa harus menunggu bajakannya keluar. Ingat, ini filmnya orang kita loh, bukan filmnya orang luar. Hehe. Tapi sungguh, tulisan ini tidak saya maksudnya untuk ngereview film. Karena biar bagaimana pun juga, saya tetap harus mengutamakan yutuban skripsi saya ketimbang ngereview film. Paham? (Terus yang ini apa?)
Saya tidak mencatat, atau lebih tepatnya lupa berapa jam durasi film itu. Karena terlalu sibuk mencatat beberapa pelajaran penting dari film yang diadaptasi dari Novel Sam Maulana itu. Dari catatan yang tak lebih rapi dari tulisan tangan dokter di era tahun 70-an itu, akhirnya terkumpullah lima mutiara yang kini terpampang indah di depan mata Anda.
1. Asmara Dahulu, Wisuda Kemudian.
Anda yang saat ini sedang ngegarap skripsi, coba tengoklah kembali halaman depan proposal skripsi Anda. Kalau tidak salah ada tulisan “Diajukan guna memenuhi sebagian syarat untuk mendapatkan gelar bla bla bla”. Mas, Mbak, buat apa gelar tetek bengek itu didapat sementara gelar jomblo masih melekat? Buat apa? Begitu Sam Maulana berpesan. Di masa kuliahnya, Sam Maulana berjuang habis-habisan untuk mendapatkan hati gadis impiannya ; pake jadi secret admirer-lah, ngepoin akun pesbuklah, modus bikin kelompok PKMlah. Buat apa Sam melakukan semua itu? Karena (mungkin) Sam sadar bahwa perkara wisuda bukanlah perkara mendapatkan gelar akademik thok, tetapi juga perkara meraih gelar Anda sebagai manusia yang tidak mau disebut tuna-asmara.
Anda tak bisa membayangkan bukan bagaimana rasanya wisuda tanpa seorang pasangan, sementara yang lain dengan sangat bahagianya berselfi ria dengan pasangannya masing-masing. Anda pun bisa merasa dengan bangganya memperkenalkan calon menantu kepada orangtua Anda (kalau gak putus di pinggir jalan loh ya). Masa’ iya Anda mau ngerental pasangan wisuda buat ngusir rasa ngenes gengsi Anda. Duit lagi. Iya kan? Padahal menurut sebuah survey, seorang wisudawan jomblo memiliki beban traktiran yang relatif lebih tinggi, terutama kepada bekas gebetannya -meskipun akhirnya zonk. Sementara jika Anda punya pacar, paling-paling hanya butuh mentraktir pacar, temannya pacar, sahabatnya pacar,tetangga kosnya pacar, mantan pacarnya temennya pacar, dan mereka semua itu juga membawa pacar.
Karenanyalah, berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Selesaikanlah urusan asmara Anda terlebih dahulu, barulah wisuda kemudian.
2. Skripsi Adalah Harapan
Apa yang Anda harapkan dari sebendel skripsi, gelar? Pantas saja Anda nggak lulus-lulus. Cobalah banting stir. Perjuangan menulis skripsi tidaklah sebanding jika hanya ditukar dengan gelar. Itu terlalu sampah. Lebih dari itu, upaya menulis skripsi seharusnya Anda jadikan sebagai pertaruhan dan tentu saja cinta. Contohlah Sam, mempertaruhkan skripsi dengan asmaranya. Gagal menuntaskan skripsi, gagal pulalah ia mendapatkan hati Si Cantik Kodok.
3. Solidaritas itu Lebih Penting Dari Skripsi
Skripsi, sebenarnya juga menyangkut prinsip paling fundamental dalam kehidupan antar manusia. Bisa Anda bayangkan tidak betapa perasaan teman-teman Anda yang telat lulus itu ketika melihat Anda diwisuda dengan penuh kebanggaan? Bisa Anda bayangkan? Oke, jika mereka telat lulus karena mereka masih bermasalah dengan skripsi, pernahkan Anda mencoba membantunya, sebagaimana yang dilakukan Ajep dan Sobari? Jika tidak, sungguh Anda termasuk orang-orang yang dzalim, karena berbahagia di atas penderitaan teman.
Prinsipnya begini : Akan lebih indah dan enak kalau keluarnya bareng-bareng, Mbak, Mas. Sumpah!
4. Pemerintah Menghapus Skripsi = Menghilangkan Paksa Romantika Kuliah
Anda setuju dengan rencana Menristek Muhammad Nasir tentang penghapusan tugas menulis skripsi sebagai syarat kelulusan?
Saya sih tidak. Malah itu membuat saya sedikit curiga, Pak Menteri kita yang satu ini dulunya, waktu ngegarap skripsi, pasti apes banget, dapet dosen pembimbing yang sering keluar kota karena urusan proyek ini itu. Mana zaman dulu belum ada imel kan? Makin mumet dan menderitalah beliau. Di tengah keteraniayaannya itulah (mungkin) beliau tanpa sadar berdoa “kalau kelak aku jadi menteri, bakalan tak hapus aja deh tugas nulis skripsi”. Saya juga curiga, waktu itu pula ada malaikat raqib, yang buru-buru mencatat niatan baik beliau. Maka Anda tak perlu heran jika kemudian, ketika beliau sudah duduk di kursi menteri, ingin diwujudkanlah ikrarnya itu.
Banyak yang merasa menulis skripsi itu susah, capek, dan memerlukan sejibun waktu, tenaga, dan tentu saja uang. Tapi di situlah romantikanya menjadi mahasiswa. Kejar-kejaran sama dosen pembimbing, sama narasumber, dan sama teman seangkatan yang gebetable deadline sidang.
Hanya ketika menulis skripsilah Anda akan tahu betapa Anda harus rela menjadi bodoh dan manut kayak kebo dicolok hidungnya dengan dosen pembimbing yang dulu bisa Anda debat di kelas. Anda tidak akan bisa mengulang momen itu di ruangan dosen pembimbing.
Hanya dengan menulis skripsi pulalah Anda akan tahu bahwa di hadapan skripsi, idealisme itu mati. Termasuk idealisme Anda yang ingin membongkarmemperbaiki kebobrokan pemerintah. Karena saat itu pula Anda harus sadar bahwa Anda sedang akan menulis skripsi, bukan mau bunuh diri.
Oh iya, ini sedikit bonus bocoran dari saya, dengan menggarap skripsi, kalau Anda bejo dan cukup mumpuni dalam hal nyepik, Anda akan dengan mudah memperoleh jaringan baru, peluang baru, pekerjaan baru, keluarga baru, dan tentu saja bribikan wawasan baru. Entah itu di lokasi penelitian, di foto kopian, ataupun di kos-kosan teman, kita tidak tahu. Bukankah rahasia Tuhan memanglah sangat misteri semisteri-misterinya. Kita hanya bisa ngarep dan berikhtiar kan?
5. Lulus itu Tak Harus Tepat Waktu, Tapi di Waktu Yang Tepat.
Bagaimanapun juga, ini pelajaran terpenting yang sangat saya ingat, plus saya catat gede-gede. Sam Maulana benar-benar lulus di waktu yang tepat, maksudnya di injury time. Saat di mana jika Anda tidak segera lulus, maka Anda “harus” mengajukan surat pengunduran diri dari kuliah –untuk tidak dibilang De O.
Dengan begitu, lulus di waktu yang tepat, Anda akan tahu betapa nikmatnya ketika Anda berhasil mencapai klimaks kuliah. Bagaimana, tertarik merasakan nikmatnya mencapai klimaks kuliah? Luluslah di waktu yang tepat. Tak harus on time. *dilempar bundelan proposal