Memanen Padi/Ilustrasi |
Dua malam yang lewat, saya menelpon orang rumah. Gejolak rindu setelah sekian lama tidak telpon-telponan saya tuntasnya malam itu hingga larut. Selama berada di Jogja, saya memang lebih sering menelpon mereka pada malam hari, setidaknya agar tidur saya jadi lebih nyenyak setelahnya. Sekarang Anda tahu betapa egoisnya saya bukan?
Kami ngobrol cukup lama, karena banyaknya bahan obrolan yang tersimpan dan terasa ingin terus dilontarkan. Namun pembicaraan soal siapa saja yang sudah meninggal dunia malam itu tidak muncul. Padahal biasanya topik selalu mencuat dalam setiap aksi telpon-telponan kami. Saya tak tahu kenapa.
Malam itu, malahan topik obrolan yang paling dominan hingga kemudian membekas di hati saya adalah soal Pertiwi. Siapa dia? Berikut ini ceritanya.
Pesta panen padi di kampung saya musim ini agaknya kurang begitu memuaskan para petani. Selain karena ketidakteraturan cuaca hingga mengakibatkan pertumbuhan padi menjadi kurang bagus, ada faktor lain yang juga turut memengaruhi kualitas dan kuantitas hasil panen padi. Para petani di kampung saya menarik kesimpulan, mereka memang salah langkah sejak di awal penanaman. Menurut mereka, jenis bibit padi yang mereka tanam ternyata sama sekali tidak cocok dengan sawah di sana. Sehingga membuat proses pertumbuhan padi menjadi kurang baik yang buntutnya juga berimbas pada sedikitnya buah padi yang dihasilkan. Sudah itu kurang bernas lagi. Mereka pun kapok pok. Enggak-enggak bakalan lagi nanam padi dengan jenis yang sama. Begitu juga dengan emak dan bapak saya.
Pemilihan jenis padi secara serempak ini bukanlah tanpa sebab. Ini bermula dari niat baik pemerintah yang memberikan bantuan bibit padi bagi para petani di kampung saya. Setiap petani mendapatkan jatah bibit padi secara cuma-cuma. Tentu saja mereka senang, karena kata sebagian orang jenis padi yang diberikan pemerintah itu telah terbukti bagus dan bernas. Berasnya antep berat dan nasinya pun pulen. Maka musim ini semua petani di kampung saya pun serempak menanam jenis padi yang sama. Padi Pertiwi. Mendengar namanya, saya yang kala itu diberitahu emak pun juga langsung membayangkan hamparan tanaman padi dengan buah yang lebat, berisi, dan menyenangkan hati, serta cocok buat selpi bagi saya yang sudah lama tak pulang kampung ini.
Tapi setelah obrolan malam itu, saya sekonyong-konyong jadi ingat penggalan lagu Ibu Pertiwi.
........................................
Hutan gunung sawah lautan
Simpanan kekayaan
Kini ibu sedang lara
Merintih dan berdoa
: Seperti para petani di kampung saya.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan menyalahkan pemerintah, apalagi Rangga. Setidaknya pemerintah sudah punya iktikad baik, memberikan bantuan bibit padi secara gratis kepada para petani. Ini menandakan bahwa pemerintah setidaknya telah menunjukkan keberpihakannya pada petani.
Namun hal itu lantas mengingatkan saya pada sebuah peribahasa Jawa. Bener nanging ora pener. Benar tapi tidak tepat. Itulah gambaran yang tepat soal bantuan bibit tadi. Pemerintah telah melakukan tindakan yang benar, dengan memberikan bantuan bibit padi kepada petani di kampung saya. Tapi tidak tepat, karena setiap lahan memiliki tingkat kecenderungan dan kecocokan yang berbeda-beda terhadap jenis padi tertentu. Barangkali akan berbeda hasilnya, jika niat baik tersebut diwujudkan melalui -misalnya- pendampingan pembuatan bibit unggul untuk para petani dengan jenis padi yang selama ini telah terbukti cocok dengan sawah-sawah di kampung saya. Penyeragaman memang adakalanya terlihat baik dan indah. Namun itu tidak bisa diterapkan untuk semua hal. Terlebih jika sudah menyangkut hukum alam (sunatullah).
Oh iya, seingat saya, dulu sebelum muncul banyak jenis padi hasil rekayasa teknologi pertanian, ada dua jenis padi yang lazim ditanam para petani di kampung saya, yakni padi 64 dan 36. Pemilihan terhadap kedua jenis padi ini didasarkan pada musim tanamnya, jika musim rendeng (musim hujan) maka padi yang akan ditanam adalah padi 64, sementara padi 36 hanya akan ditanam pada musim apit (menjelang musim kemarau).
Padi 64 ini sangat cocok dengan hampir semua area persawahan kampung saya. Akar dan batangnya kuat. Jeraminya juga sangat disukai sapi. Yang lebih menyenangkan lagi adalah berasnya, pulen sekali. Bahkan saking pulennya, para bujangan di kampung saya sering kali mengibaratkan padi 64 ini seperti seorang gadis cantik yang kalau melihatnya langsung muncul keinginan untuk menikahi. Seperti kalau ngelihat Raisa atau Dian Sastro lah.
Adapun padi 36, memang akan sangat cocok jika ditanam pada musim apit. Ia lebih tahan terhadap cuaca panas, jika kemudian tidak turun hujan dalam waktu yang cukup lama. Menurut yang sudah-sudah, menanam padi 36 di musim ini akan memperbesar kemungkinan panen dibanding jenis padi lain. Namun sayangnya, ada beberapa hal dari padi ini yang tidak disukai para petani. Batangnya pendek-pendek, bulir padinya kecil-kecil, dan berasnya cenderung tidak pulen, bahkan boleh dibilang pero atau ambyar. Karena itu, tak jarang beras hasil panenan pun akhirnya dijual ke pabrik penggilingan. Lalu uangnya dipakai untuk membeli beras jenis 64 atau ciliwung atau jenis lain yang penting lebih pulen dan enak dimakan. Sekarang, padi jenis 36 ini nyaris tak pernah ditanam oleh para petani di kampung saya seiring dengan semakin banyaknya bibit padi unggul yang dijual di pasaran dan selalu menarik untuk dicoba-coba didukung kesaksian-kesaksian yang mengemuka itu.
Setahu saya memang begitulah para petani di kampung saya, termasuk juga bapak. Selalu ingin mencoba menanam jenis padi baru. Kalau hasilnya jelek ya udah, ganti yang lain. Dan kalau bagus ya lanjut -walau kadang masih juga mencoba jenis padi lain dengan harapan dapat mendapatkan hasil yang lebih bagus lagi.
Hal itulah yang kemudian membuat jenis padi yang ditanam para petani di kampung saya jadi lebih variatif meski berada dalam satu area persawahan. Dan percobaan-percobaan itu, punya risiko yang sangat tinggi. Apalagi bagi sawah tadah hujan macam di kampung saya ini. Belum lagi jika ditambah dengan (katanya) dampak el-nino dan ketidakpastian musim serta semakin dilupakannya ilmu petung. Risiko jadi semakin tinggi.
Di satu sisi, hal itu memang membuat mental para petani menjadi lebih berpengalaman, pandai bersiasat, spekulatif, dan siap menerima segala risiko. Tapi saya takut, kelak muncul rasa putus asa secara massal di benak mereka karena terlalu sering menelan pil pahit bernama gagal panen.