Sore tadi, sembari menikmati suasana mendung yang bingung (antara mau hujan atau tidak), saya mendengarkan radio Geronimo.
Seperti biasa normalnya penyiar muda, di seberang sana terdengar dua orang penyiar sedang membuka acara dengan riang. Setelah bercuap-cuap sebentar, lalu mereka melontarkan survey sore untuk para pendengarnya. Topik survey sore kali ini bertemakan susu. Dengan pertanyaan survey berikut :
"Kamu lebih suka susu bubuk atau cair? Apa alasannya?"
Mengapa tema survey kali ini tentang susu? Karena kata Mas dan Mbak penyiar Geronimo (sambil cekika-cekiki), hari ini adalah hari susu internasional. Kamu baru tahu? Sama, saya juga. Saya pun lantas mengecek ulang, apakah benar hari ini adalah hari susu internasional (juga nasional). Ternyata hasilnya sama sekali berbeda, karena hari susu jatuh pada tanggal 1 Juni. Agaknya penyiar Geronimo perlu minum Aqua nih. Ada Aqua?
Tapi sudahlah..saya tak mau mempermasalahkan itu. Sebab jari tangan saya terlanjur gatal untuk mengetikkan sesuatu. Tentang susu-susu-susu itu.
Secara historis dan personal, saya sebenarnya kurang begitu suka minum susu, kecuali ASI. Dulu ketika masih kecil, saya lebih sering (hingga akhirnya menjadikan saya lebih suka) meminum air tajin yang diberi parutan kelapa tua dan sedikit nasi setengah matang. Itulah menu sarapan saya setiap paginya, sebelum berangkat sekolah. Bukan susu kaleng ataupun susu bubuk.
Sekarang, sejak masuknya jaringan listrik dan konversi alat-alat masak secara besar-besaran di kampung saya, saya nyaris tidak pernah meminum air tajin lagi. Karena biar bagaimanapun juga, air tajin dari mejic kom tak akan senikmat air tajin dari priuk yang dimasak dengan menggunakan kayu bakar. Cuman kalau lagi pengen banget, saya nekat meliwet nasi sendiri sih, demi mendapatkan air tajin yang nikmat itu. Hehe
Tidak pernah lagi minum air tajin tidak lantas membuat saya suka minim susu. Dalam sebulan, intensitas minum susu saya paling-paling cuma 2-3 kali. Itu pun kalau kebetulan saya sedang ingin atau diajak makan bubur kacang hijau atau minum jus. Saya juga beranggapan bahwa susu-susu yang dijual di pasaran (baik kaleng, sachet, krim, bubuk) itu terlalu amis dan manis. Dan saya tak menyukai dua hal itu. (Halah... dasar lidah tajin!!!)
Lagi pula, saya kadang justru merasa aneh sendiri ketika hendak minum susu-susu itu. Begini, susu-susu yang dijual di pasaran itu kan kalau bukan susu kambing ya susu sapi. Atau ada juga susu kuda liar. Bayi-bayi kambing dan sapi itu, cuma mau minum susu hanya dalam beberapa bulan saja. Setelah itu mereka tak mau lagi.
Lalu susu-susu itu kemudian diperas, diolah, dijual, lalu diminum (dilelesi) oleh makhluk bernama manusia. Baik yang masih balita maupun yang sudah tua. Mereka gandrung sekali minum susu. Sampai tidak sedikit juga para orangtua yang lebih memilih untuk membelikan anaknya susu kaleng ketimbang memberi ASI. Entah itu karena pengen anaknya jadi pintar kayak iklan di tipi-tipi itu ataupun karena memang sang ibu sudah malas/tak sempat lagi memberikan ASI untuk anaknya. Wallahu A'lam Bissawwab.
Kalau ngomongin susu gini, saya jadi ingat 2 kejadian ini. Pertama, saya pernah dititipin teman untuk membelikan susu sachet di sebuah warung kelontong. Sesampainya di warung, saya berujar :
"Mbak, susu gantungnya dua."
Mendengar ujaran saya tadi, sontak wajah mbak-mbak penjaga warung berubah menjadi bersemu merah.
"Itu susu sachet Mas. Bukan susu gantung." Ia meralat kata-kata saya dengan nada bicara agak ketus.
"Lho.. itu susu gantung Mbak. Itu....kan digantung susunya." Jawab saya sembari menunjuk susu sachet yang tergantung di warung tersebut.
Mbak-mbak penjaga warung itu pun diam. Tidak menjawab apa-apa lagi. Namun wajahnya masih bersemu merah dan bibirnya pun mecucu. Tampaknya, ia sebal sekali dengan saya.
Cerita kedua terjadi di sebuah Burjoan (sekarang oleh Indomie diganti menjadi Warmindo). Malam itu saya dan dua orang teman sedang makan di burjoan. Seperti biasa, saya selalu bertindak sebagai juru pesan. Setelah menyebutkan pesanan makanan, saya lanjutkan dengan menyebutkan pesanan minum.
"Es susunya satu A', sama air es dua."
"Mau yang kanan apa kiri?" Aa' burjo balik bertanya kepada saya dengan wajah datar.
Ditanya begitu, tentu membuat saya gelagapan. Saya lantas melihat gantungan susu di dinding, di sana terlihat ada dua jenis susu. Bagian kiri susu coklat, bagian kanan susu putih.
Melihat saya yang tidak bisa langsung menjawab, teman saya langsung nyeletuk
"Susu kenyal yang kiri A'. Gak usah pake gula."
"Susu kentaaaaal.... bukan kenyal."
Saya langsung mengklarifikasi dengan suara yang cukup keras. Hingga perhatian pembeli lain --yang kebanyakan adalah kaum hawa-- langsung tertuju ke arah kami.
Sadar akan hal itu, saya pun langsung siul-siul. Dua teman saya clingukan. Lalu kami pun tertawa terbahak-bahak.
Seperti biasa normalnya penyiar muda, di seberang sana terdengar dua orang penyiar sedang membuka acara dengan riang. Setelah bercuap-cuap sebentar, lalu mereka melontarkan survey sore untuk para pendengarnya. Topik survey sore kali ini bertemakan susu. Dengan pertanyaan survey berikut :
"Kamu lebih suka susu bubuk atau cair? Apa alasannya?"
Mengapa tema survey kali ini tentang susu? Karena kata Mas dan Mbak penyiar Geronimo (sambil cekika-cekiki), hari ini adalah hari susu internasional. Kamu baru tahu? Sama, saya juga. Saya pun lantas mengecek ulang, apakah benar hari ini adalah hari susu internasional (juga nasional). Ternyata hasilnya sama sekali berbeda, karena hari susu jatuh pada tanggal 1 Juni. Agaknya penyiar Geronimo perlu minum Aqua nih. Ada Aqua?
Survey Sore Happy Milk Day Radio Geronimo |
Tapi sudahlah..saya tak mau mempermasalahkan itu. Sebab jari tangan saya terlanjur gatal untuk mengetikkan sesuatu. Tentang susu-susu-susu itu.
Secara historis dan personal, saya sebenarnya kurang begitu suka minum susu, kecuali ASI. Dulu ketika masih kecil, saya lebih sering (hingga akhirnya menjadikan saya lebih suka) meminum air tajin yang diberi parutan kelapa tua dan sedikit nasi setengah matang. Itulah menu sarapan saya setiap paginya, sebelum berangkat sekolah. Bukan susu kaleng ataupun susu bubuk.
Sekarang, sejak masuknya jaringan listrik dan konversi alat-alat masak secara besar-besaran di kampung saya, saya nyaris tidak pernah meminum air tajin lagi. Karena biar bagaimanapun juga, air tajin dari mejic kom tak akan senikmat air tajin dari priuk yang dimasak dengan menggunakan kayu bakar. Cuman kalau lagi pengen banget, saya nekat meliwet nasi sendiri sih, demi mendapatkan air tajin yang nikmat itu. Hehe
Tidak pernah lagi minum air tajin tidak lantas membuat saya suka minim susu. Dalam sebulan, intensitas minum susu saya paling-paling cuma 2-3 kali. Itu pun kalau kebetulan saya sedang ingin atau diajak makan bubur kacang hijau atau minum jus. Saya juga beranggapan bahwa susu-susu yang dijual di pasaran (baik kaleng, sachet, krim, bubuk) itu terlalu amis dan manis. Dan saya tak menyukai dua hal itu. (Halah... dasar lidah tajin!!!)
Lagi pula, saya kadang justru merasa aneh sendiri ketika hendak minum susu-susu itu. Begini, susu-susu yang dijual di pasaran itu kan kalau bukan susu kambing ya susu sapi. Atau ada juga susu kuda liar. Bayi-bayi kambing dan sapi itu, cuma mau minum susu hanya dalam beberapa bulan saja. Setelah itu mereka tak mau lagi.
Lalu susu-susu itu kemudian diperas, diolah, dijual, lalu diminum (dilelesi) oleh makhluk bernama manusia. Baik yang masih balita maupun yang sudah tua. Mereka gandrung sekali minum susu. Sampai tidak sedikit juga para orangtua yang lebih memilih untuk membelikan anaknya susu kaleng ketimbang memberi ASI. Entah itu karena pengen anaknya jadi pintar kayak iklan di tipi-tipi itu ataupun karena memang sang ibu sudah malas/tak sempat lagi memberikan ASI untuk anaknya. Wallahu A'lam Bissawwab.
Kalau ngomongin susu gini, saya jadi ingat 2 kejadian ini. Pertama, saya pernah dititipin teman untuk membelikan susu sachet di sebuah warung kelontong. Sesampainya di warung, saya berujar :
"Mbak, susu gantungnya dua."
Mendengar ujaran saya tadi, sontak wajah mbak-mbak penjaga warung berubah menjadi bersemu merah.
"Itu susu sachet Mas. Bukan susu gantung." Ia meralat kata-kata saya dengan nada bicara agak ketus.
"Lho.. itu susu gantung Mbak. Itu....kan digantung susunya." Jawab saya sembari menunjuk susu sachet yang tergantung di warung tersebut.
Mbak-mbak penjaga warung itu pun diam. Tidak menjawab apa-apa lagi. Namun wajahnya masih bersemu merah dan bibirnya pun mecucu. Tampaknya, ia sebal sekali dengan saya.
Cerita kedua terjadi di sebuah Burjoan (sekarang oleh Indomie diganti menjadi Warmindo). Malam itu saya dan dua orang teman sedang makan di burjoan. Seperti biasa, saya selalu bertindak sebagai juru pesan. Setelah menyebutkan pesanan makanan, saya lanjutkan dengan menyebutkan pesanan minum.
"Es susunya satu A', sama air es dua."
"Mau yang kanan apa kiri?" Aa' burjo balik bertanya kepada saya dengan wajah datar.
Ditanya begitu, tentu membuat saya gelagapan. Saya lantas melihat gantungan susu di dinding, di sana terlihat ada dua jenis susu. Bagian kiri susu coklat, bagian kanan susu putih.
Melihat saya yang tidak bisa langsung menjawab, teman saya langsung nyeletuk
"Susu kenyal yang kiri A'. Gak usah pake gula."
"Susu kentaaaaal.... bukan kenyal."
Saya langsung mengklarifikasi dengan suara yang cukup keras. Hingga perhatian pembeli lain --yang kebanyakan adalah kaum hawa-- langsung tertuju ke arah kami.
Sadar akan hal itu, saya pun langsung siul-siul. Dua teman saya clingukan. Lalu kami pun tertawa terbahak-bahak.