Jalan-jalan ke Magelang, sulit rasanya untuk tidak memasukkan nama Ketep Pass sebagai salah satu destinasi wisata yang harus dikunjungi. Wisata alam andalan Magelang di bukit Sawangan ini berada di ketinggian 1200 meter dari atas permukaan laut, sehingga menyajikan pemandangan khas alam pegunungan yang indah dan memesona. Dua gunung ternama di Jawa Tengah yakni gunung Merapi dan Merbabu, tampak terlihat jelas dari sana karena memang lokasi Ketep Pass sendiri yang berada tepat di pertengahan antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.
Gunung Merbabu dan Merapi dipotret dari Ketep Pass Magelang |
"Gunung Merapi dan Gunung Merbabu hidup berdampingan dengan begitu dekatnya, ditambah lagi dengan keberadaan masyarakat di lereng pegunungan, menunjukkan betapa harmonisnya hubungan mereka."
Pada hari Senin pertengahan bulan Maret lalu, saya bersama teman piknik saya Tetra Falensia mengunjungi tempat yang konon juga merupakan laboratorium gunung api ini. Sebelumnya kami minta maaf jika terkesan kurang ajar, karena di saat semua orang mulai sibuk dengan berbagai aktivitas di tempat kerja, kami justru pergi piknik ke luar kota. Ini semata-mata kami lakukan karena alasan efektivitas dan efisensi. Efektif, karena pada hari Senin hampir semua tempat wisata cenderung sepi dan itu sangat menguntungkan karena kami bisa lebih puas menikmati keindahan panorama alam yang tersaji. Dan efisien, karena biasanya di luar hari libur harga tiket masuk, parkir, dan makanan menjadi lebih murah dibanding ketika hari libur.
Kami berangkat dari Jogja sekira pukul 11.15 WIB dengan rute Jalan Magelang-Muntilan-Ketep. Sebenarnya untuk sampai ke Ketep Pass, hanya diperlukan waktu sekitar 1,5 jam dari Jogja dengan kecepatan rata-rata 60 km/jam. Namun karena saat itu saya naik motornya cukup santai maka perjalanan pun terhitung agak lama. Selama dalam perjalanan, kami juga sempat berhenti dua kali. Pertama di Masjid Jami' Al-Ikhlas -yang juga merupakan sekolah tahfidz qur'an- untuk menunaikan shalat Dzuhur dan yang kedua di sebuah pondok pesantren cum sekolah menengah tingkat atas, karena saat itu hujan turun dengan begitu derasnya sementara kami tidak membawa mantel. Kami berteduh sampai sekitar setengah jam lamanya.
Pintu masuk arah Ketep Pass |
Akses menuju Ketep Pass terbilang cukup mudah dan lancar. Hanya saja begitu mendekati lokasi, kita harus melalui jalanan menanjak dan dalam kondisi rusak. Saat itu tampak beberapa titik ruas jalan sedang diperbaiki. Ini artinya, sekarang ini kemungkinan jalannya sudah bagus.
Sekitar pukul 14.00 kami sudah memasuki area Ketep Pass. Namun kami tidak langsung berhenti di sana. Bermodalkan rasa ingin tahu yang teramat besar, kami melanjutkan perjalanan ke atas melintasi area perkebunan dan pertanian penduduk setempat.
Sambil berharap ada tempat wisata lain yang bisa kami kunjungi pada saat itu juga. Namun bukannya tempat wisata yang kami dapatkan, justru bau pupuk kandang dan sayuran busuklah yang menyeruak ke indera penciuman kami. Mau tak mau kami pun harus menikmatinya, toh dasarnya kami ini juga orang kampung yang juga akrab dengan bau-bau semacam itu.
Sambil berharap ada tempat wisata lain yang bisa kami kunjungi pada saat itu juga. Namun bukannya tempat wisata yang kami dapatkan, justru bau pupuk kandang dan sayuran busuklah yang menyeruak ke indera penciuman kami. Mau tak mau kami pun harus menikmatinya, toh dasarnya kami ini juga orang kampung yang juga akrab dengan bau-bau semacam itu.
Saat itu kami juga berharap dapat menemukan perkebunan stroberi yang sedang berbuah, namun meski sudah berjalan menyusuri area perkebunan, kami tak kunjung menemukan buah stroberi barang satu pun. Ya...karena memang belum musimnya, apa mau dikata. Hingga akhirnya kami pun turun dan kembali ke Ketep Pass untuk kemudian menghabiskan waktu sore di sana, setelah membayar tiket masuk seharga Rp 7.000/orang dan Rp 3.000 untuk parkir motor.
Gerimis berpadu dengan kabut terus-menerus turun menghiasi bukit Sawangan. Hanya ada beberapa pengunjung yang sepertinya tak kalah selo dengan kami. Deretan warung yang berjajar di tepi bukit Sawangan ini juga tampak banyak yang tutup hingga kami memilih salah satu di antaranya yang masih buka untuk sekadar menikmati kopi dan jagung bakar. Suasana dingin memang sering kali membuat hasrat saya untuk ngopi semakin membuncah.
Gerimis berpadu dengan kabut terus-menerus turun menghiasi bukit Sawangan. Hanya ada beberapa pengunjung yang sepertinya tak kalah selo dengan kami. Deretan warung yang berjajar di tepi bukit Sawangan ini juga tampak banyak yang tutup hingga kami memilih salah satu di antaranya yang masih buka untuk sekadar menikmati kopi dan jagung bakar. Suasana dingin memang sering kali membuat hasrat saya untuk ngopi semakin membuncah.
Warung-warung berjajar rapi mengikuti bentuk bukit Sawangan |
"Di sini total ada empat puluh warung. Kalau hari biasa memang banyak yang tutup Mas. Pada ke kebun, ngurus tanaman sayurnya." Terang salah seorang pedagang kepada saya.
Dari warung yang juga bisa berfungsi sebagai gardu pandang ini, kita bisa menengok aktivitas warga lereng gunung Merapi dan Merbabu dengan lebih jelas. Lalu-lalang kendaraan akan tampak terlihat dengan jelas di jalanan yang mengular.
Oh iya...mengenai warung-warung makan di sini, kesemuanya dikelola oleh masyarakat setempat. Pada setiap tiga warung, terdapat satu panggangan jagung bakar. Pada tahun 2010 lalu, warung-warung ini juga menjadi terdampak letusan Gunung Merapi, hingga kemudian mendapat bantuan dari pemerintah setempat dan sponsor produk kopi.
"Dulu waktu gunung Merapi meletus, aktivitas di sini sempat lumpuh,'' kisah salah seorang pemilik warung. Sore itu kami cukup leluasa untuk bertukar cerita karena sepinya pengunjung, sehingga mereka cukup selo.
Setelah menghabiskan kopi, jagung, dan gorengan hangat yang kami pesan, kami pun beranjak ke atas menuju gardu pandang (view spot) dengan pagar di sisi pinggirnya. Ada beberapa tempat duduk di area ini, baik yang berada di tempat terbuka maupun yang dilengkapi dengan atap serupa gazebo. Di sini, kita bisa melihat betapa gagahnya gunung Merapi dan gunung Merbabu dengan kita berada tepat di tengahnya. Jika cuaca sedang cerah, dapat dipastikan pemandangan keduanya menjadi semakin indah dan sangat fotoable.
Puas menikmati pemandangan kedua gunung gagah tersebut, kami pun berpindah tempat menuju Ketep Volcano Theatre. Kami memasuki gedung laboratorium alam ini secara cuma-cuma karena memang sudah include biaya masuk tadi. Dan di sinilah kita bisa melihat berbagai jenis dokumentasi dan catatan tentang gunung Merapi. Mulai dari yang berupa tulisan, foto, video, hingga diorama gunung Merapi dengan ukuran yang cukup besar. Melalui diorama tersebut, kita bisa mengetahui arah aliran lahar dan wilayah lereng gunung. Dan kita serasa menjadi manusia raksasa yang dapat dengan leluasa mengamati bentuk dan karakter gunung Merapi.
Ketep Volcano Theatre dan sedikit penampakan seorang gadis |
"Di Volcano Theatre ini kita bisa lebih mengenal sosok gunung teraktif di dunia itu. Kekuatan alam dan bukti kebesaran Tuhan terekam dengan jelas."
Beberapa pengunjung yang hari itu juga berbarengan berada di gedung teater gunung api ini berdecak kagum begitu mengenal bagaimana sesungguhnya sosok Merapi itu, sambil beberapa kali mengambil gambar. Pun demikian dengan kami.
Salah satu alat dokumentasi gunung Merapi di Volcano Theatre |
Setelah beberapa lamanya kami berada di sana dan merasa sudah cukup dengan kuliah pergunungapian hari itu, kami pun kemudian keluar dari gedung teater. Di luar rerintik hujan masih turun mendayu-dayu bercampur dengan kabut. Jarum jam sudah bertengger di antara angka 4 dan lima. Setelah menunaikan shalat asar, kami pun bergegas pulang.
Kunjungan kami ke Ketep Pass hari itu terasa sangat memuaskan. Karena selain menikmati keindahan panorama alam bukit Sawangan, kami juga semakin mengenal gunung api macam Merapi. Dalam perjalanan pulang, kami mampir di sebuah warung bakso dan langsung jatuh cinta padanya.