Kata Sikap (30/04) Selama hampir lima tahun di Jogja, baru siang ini tadi saya merasakan nikmatnya berada di tengah kemacetan. Saya tak tahu persis dari mana asal mula rasa nikmat itu muncul. Padahal jelas-jelas cuaca tadi begitu terik dan saya tidak mengenakan jaket, walau sebenarnya ada di tas.
Apakah saya sedang mendapatkan mukjizat dari Alloh Subhanahuwata'ala? Wallahu A'lam Bishawwab
Tapi saya ingat betul kronologisnya.
Jalan Selokan Mataram arah Babarsari yang sempit itu, tadi benar-benar padat oleh kendaraan, baik roda dua, tiga maupun empat. Juga beberapa sepeda yang turut menyertainya. Seperti biasa, kalau sudah seperti itu pemandangan ala-ala Djakarta pun tampak jelas di depan mata. Bunyi klakson, orang kesusu, orang selap-selip, orang kesenggol, dan orang menggerutu bisa kita saksikan secara live tanpa sensor.
Ada yang kemudian menyerobot jalur di kanannya, hingga menambah tingkat kemacetan. Ada yang nyari jalan pintas, walaupun ujung-ujungnya ya tetap sama saja; jalan pintas yang sempit pun jadi tak kalah macet. Ada yang naik ke trotoar karena setelah dilihat-lihat sepertinya enggak ada anak kecil yang bakalan nyegat.
Tapi ada juga yang sabar dan nyantai kayak di pantai karena mungkin sudah makan atau tidak sedang menghindari kata telat. Macam-macamlah pokoknya. Anda yang pernah atau bahkan sering berjibaku dengan kemacetan pasti paham soal ini.
Nah, pada saat itulah saya seperti mendapatkan hidayah sirathal mustaqim, melalui sebuah bisikan lamat-lamat karena kalah dengan suara kendaraan. Meski demikian saya cukup meyakini kebenarannya sampai saya berani menuliskannya di sini.
Kemacetan itu, kata si hidayah pada saya, kalo benar-benar dihayati bakalan nikmat sekali loh. Coba kamu amati perilaku orang-orang yang terjebak macet itu, lucu-lucu gimana gitu kan? Mirip sebuah pertunjukan besar yang tidak ada ekting dan skenario di dalamnya. Semua pyur alami. Selain lucu, jelas ada banyak sekali pesan moral yang bisa kamu ambil.
Saya pun mengangguk-angguk. Membenarkan lalu bergumam, "iya juga ya,".
Karena itu, sambung hidayah, agar kamu terus bisa menikmati pertunjukan itu, latihlah pikiranmu untuk selalu selo. Jangan ruwet. Tambah macet nanti jadinya. Kecuali kalau kamu mau ikut menjadi pemain di pertunjukan itu, ujarnya tandas.
Saya terus menyimak bisikan itu, sampai tanpa terasa saya sudah hampir sampai di kos dengan hati yang riang gembira.
Kemacetan Jogja/Ilustrasi |
Jalan Selokan Mataram arah Babarsari yang sempit itu, tadi benar-benar padat oleh kendaraan, baik roda dua, tiga maupun empat. Juga beberapa sepeda yang turut menyertainya. Seperti biasa, kalau sudah seperti itu pemandangan ala-ala Djakarta pun tampak jelas di depan mata. Bunyi klakson, orang kesusu, orang selap-selip, orang kesenggol, dan orang menggerutu bisa kita saksikan secara live tanpa sensor.
Ada yang kemudian menyerobot jalur di kanannya, hingga menambah tingkat kemacetan. Ada yang nyari jalan pintas, walaupun ujung-ujungnya ya tetap sama saja; jalan pintas yang sempit pun jadi tak kalah macet. Ada yang naik ke trotoar karena setelah dilihat-lihat sepertinya enggak ada anak kecil yang bakalan nyegat.
Tapi ada juga yang sabar dan nyantai kayak di pantai karena mungkin sudah makan atau tidak sedang menghindari kata telat. Macam-macamlah pokoknya. Anda yang pernah atau bahkan sering berjibaku dengan kemacetan pasti paham soal ini.
Nah, pada saat itulah saya seperti mendapatkan hidayah sirathal mustaqim, melalui sebuah bisikan lamat-lamat karena kalah dengan suara kendaraan. Meski demikian saya cukup meyakini kebenarannya sampai saya berani menuliskannya di sini.
Kemacetan itu, kata si hidayah pada saya, kalo benar-benar dihayati bakalan nikmat sekali loh. Coba kamu amati perilaku orang-orang yang terjebak macet itu, lucu-lucu gimana gitu kan? Mirip sebuah pertunjukan besar yang tidak ada ekting dan skenario di dalamnya. Semua pyur alami. Selain lucu, jelas ada banyak sekali pesan moral yang bisa kamu ambil.
Saya pun mengangguk-angguk. Membenarkan lalu bergumam, "iya juga ya,".
Karena itu, sambung hidayah, agar kamu terus bisa menikmati pertunjukan itu, latihlah pikiranmu untuk selalu selo. Jangan ruwet. Tambah macet nanti jadinya. Kecuali kalau kamu mau ikut menjadi pemain di pertunjukan itu, ujarnya tandas.
Saya terus menyimak bisikan itu, sampai tanpa terasa saya sudah hampir sampai di kos dengan hati yang riang gembira.